”Ya, seharusnya mobil di depan. Dia berhenti mendadak,” lelaki yang suami sang nyonya itu akhirnya bersuara.
”Dia itu tabrakan, pasti ada penyebabnya. Motor itu? Kita minta ganti sama pengendara motor itu? Sudah mati kali dia.”
”Apa benar dia mati, Ma?” suara lima belas tahunan terdengar dari kursi belakang.
”Apa peduliku?” tukas nyonya sambil membenahi gelung rambutnya yang jadi sedikit kacau. ”Yang harus dipedulikan justru papamu yang brengsek ini. Kita dibikinnya telat ke resepsi, malah mungkin harus nongkrong di bengkel. Nyebelin.”
”Siapa yang mau celaka seperti ini, Ma? Siapa bisa menolak nasib, apalagi di kota begini. Gak mungkin ayah nyupir lima puluh meter di belakang mobil depan sesuai aturan. Kita akan terus disalip orang, dan pasti lambat sampai di tujuan.”
”Siapa yang suruh lima puluh? Sepuluh meter kan bisa?”
”Gak mungkin. Kita tetap disalip. Bukan cuma mobil, tapi juga bajaj atau motor-motor. Mungkin kita yang akan nabrak motor seperti angkot di depan.”
”Itu karena gayamu kayak anak muda, kayak supir angkot. Nyupir ugal-ugalan. Seperti kalau kamu jalan sendiri atau sama teman-temanmu di mal, ugal-ugalan. Lirik kanan kiri, cowel kanan kiri. Anakmu dua tauk, rambutmu itu penanda tua, tauk!”
”Polisi datang, papa.” Kembali ada suara kecil dari sepuluh tahunan terdengar di jok belakang.
”Kenapa selalu harus melebar kemana-mana sih, Ma?”
”Bukan melebar, tapi memang itu keadaannya, rumah tangga suka kacau karena gayamu, perbuatanmu, yang gak ngerti umur.”