Ruang makan terasa hening. Seorang pemuda termenung, menatap layar ponselnya yang memuat berita tentang sebuah desa terpencil. Matanya bergerak cepat membaca setiap kata, sorot matanya berubah serius.
"Bu, Bapak, coba lihat ini," ujarnya, menyerahkan ponsel kepada pria paruh baya yang duduk di seberangnya.
"Berita apa lagi, Nak?" tanya pria itu sambil menerima ponsel tersebut.
"Desa ini kekurangan guru. Sekolahnya hampir roboh. Anak-anak belajar tanpa listrik, aku kasihan pada mereka." jawabnya dengan suara bergetar.
"Kamu mau apa, Ardana?" tanya ibunya, Ratna, sambil menatap putranya dengan kerutan di dahi.
"Bu, aku mau ke sana. Aku mau jadi guru di desa itu," jawabnya tanpa ragu.
Wirata, ayahnya, meletakkan ponsel ke meja dengan wajah penuh kekhawatiran. "Kamu ini baru lulus, Ardana. Hidup di desa terpencil itu tidak mudah. Listrik tidak ada, perjalanan sulit dan belum tentu kamu dapat gaji."
"Pak, itu bukan soal uang. Anak-anak itu butuh pendidikan. Kalau bukan aku, siapa lagi?" Ardana membalas tegas.
"Kamu tidak berpikir panjang, Ardana!" Wirata meninggikan suara, mencoba menahan emosi.
Namun, tekad Ardana tidak tergoyahkan. Hari-hari berikutnya penuh dengan perdebatan. Akhirnya, orang tuanya menyerah meski dengan berat hati.
Langit sore mulai memerah saat Ardana tiba di desa setelah perjalanan panjang. Ia harus melewati penerbangan yang jauh, menyusuri sungai dan melewati jalan berbatu. Ketika sampai, Pak Sembara, kepala dusun, menyambutnya dengan hangat.