Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Bukan Bintang Terluka

25 Mei 2016   23:54 Diperbarui: 26 Mei 2016   17:38 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

‘’Suram dan gelap, abstrak, sulit tuk dijangkau bahkan hanya sekedar tuk memprekdiksikan. Nasib baik itu urung hilang, terbawa takdir buruk yang merasuk. Entah itu ujian atau hukuman, yang kumau hanya satu. Tuhan......cepat ambil nyawaku.’’

%

Awan hitam memnghampar luas, menghias langit ibu kota. Hujan terlampau tuk dilewati. Tak ada celah yang memungkinkan kita tuk menghindar. Keramaian itu memuncak, membuncah mengerumuni satu titik. Hujan deras terhalau begitu saja, demi menyelamatkan dua jiwa yang tengah terkapar tak berdaya.

Sirine-sirine ambulans ataupun polisi memecah suara hujan. Tak kenal pandang bulu mereka bekerja sigap dan tepat. Garis polisipun terbentang sepanjang area kecelakaan.

Ambulans yang membawa dua jiwa itu melintas menerjang hujan. Bak raja jalanan, kendaraan lain otomatis menghindar. Kurang dari seperempat jam, sampailah mereka di tempat tujuan. Penyambutan berlangsung menegang. Mereka-mereka yang berkostum serba putih mengeluarkan ranjang-ranjang beroda tuk menbawa mereka pada sebuah tempat. Tempat yang penuh dengan ketegangan. Kabar buruk atau baikkah yang akan terdengar.

%

‘’Syukurlah akhirnya anda siuman juga’’

‘’Dimanakah aku berada Karin?’’

‘’Anda kini berada di ruang rawat inap Nyonya, sebelumnya, tiga hari yang lalu Nyonya dirawat di UGD, namun keadaan Nyonya yang semakin membaik, dokter mengizinkan anda untuk dirawat di ruang inap saja.’’ Jelas sang asisten, Karin kepada Nyonya besarnya yang tengah terbaring lemah.

Wanita tengah baya yang sedang terkulai tak berdaya itu, mengernyitkan dahinya. Memutar memori otak. Mencari rekaman, apa gerangan yang terjadi tiga hari terakhir ini.

‘’Anda mengalami kecelakaan, Nyonya, apakah Nyonya besar mengingatnya?’’ Karin mencoba membantu mengais-ngais ingatan bos besarnya.

‘’Oh.......iya.......iya Karin, aku ingat. Hari itu hari........entahlah aku lupa hari apa. Aku memang mengalami kecelakaan. Apa semuanya baik-baik saja Karin?’’

‘’Buruk....... sungguh buruk nyonya. Gadis pengendara motor yang Nyonya tabrak kemarin, kini mengalami kebutaan.’’

‘’Lancang kau karin! Beraninya kau mengatakan aku sebagai tersangka.’’ Sang Nyonya menolak mentah-entah pernyataan karin.

‘’Bukan, sungguh saya tak menyimpulkan anda sebagai tersangka, tapi surat ini nyonya.’’ Karin memberikan sepucuk surat resmi dari pihak kepolisian.

Surat itu berisi pernyataan yang menetapkan Nyonya Amira sebagai tersangka. Tes urine yang diadakan pihak kepolisian pasca kecelakaan menunjukkan bahwa Nyonya Amira mengendarai mobil dengan mabuk sehingga tanpa sadar mobil Nyonya Amira melanggar marka jalan. Bukti tersebut juga diperkuat oleh warga-warga dan pengendara lain yang menyaksikan kecelakaan maut tersebut.

Nyonya Amira menata nafasnya sedemikian rupa. Wajahnya dibuat setenang mungkin. Tak hanya berhektar-hektar tanah yang bisa ia beli. Keadilan dan kejujuranpun dapat pula dibeli hanya dengan jentikan jari.

‘’Karin, siapkan cek dan antarkan aku kepada gadis tersebut, usai makan siang!’’ Titah Nyonya Amira.

Yang diperintahpun hanya bisa mengangguk, siap melaksanakan tugas.

Jauh di ruang seberang, di lantai yang berbeda, seorang gadis remaja berbaring. Matanya nanar memandang ke depan. Wajahnya mengguratkan garis-garis kesedihan. Air matanya terkuras habis, meratapi nasibnya yang tragis.

Bintang Annisa Senja, itulah nama gadis korban kecelakaan tiga hari yang lalu. Gadis yang kini tengah kehilanggan sinar bintangnya. Sinar bintangnya redup, tak dapat menghiasi langit dan satu sudut bintangnya terluka. Sehingga ia tak lagi dikatakan manusia semprna. Bintang buta.

‘’AA......Tuhan......kapankah Kau kan memberikan keadilan untukku?’’ Tangis Bintang membuncah kembali. Emosinya meluap. Ia melempar benda apapun yang berada di sekitarnya. Batin dan raganya tertekan. Sakit......sakit yang sulit tuk diungkapkan.

‘’Kreeek!’’Seseorang tengah membuka pintu kamar Bintang. Seketika Bintang diam sekejap. Nafasnya masih terengah-engah.

‘’Dokter.......Suster......!’’ Panggil Bintang.

‘’Sssttt, tenang nak, seharusnya kau istirahat, keadaanmu belum pulih betul!’’ Ucap Nyonya Amira sambil mengelus rambut Bintang lembut.

Karin, sang asisten hanya bisa geleng-geleng kepala. Takjub melihat naluri keibuan nyonya besarnya, yang sekian lama hilang entah kemana.

‘’Siapa pula anda masuk kamar saya tanpa permisi?’’ Protes Bintang sambil bersungut-sungut kesal.

‘’Panggil aku Tante Amira!’’ Nyonya Amira memperkenalkan diri, ia menggapai tangan Bintang menyalaminya.

‘’Nama kau siapa sayang?’’

Tak ada jawaban dari Bintang. Tangannya menunjuk kertas yang berada di atas meja. Kertas yang penuh coret-coretan tak karuan.

‘’Bintang. O........Tapi.....Bintang terluka?.....Maksudnya?’’

‘’Apa tante buta seperti saya? Tak terlihatkah luka dalam yang digoreskan orang picik, yang saya sendiri tak tahu siapa dia. Orang yang telah mengubur cita-cita saya. ‘’ Ujar Bintang .

Deg! Ucapan bintang menusuk. Ungkapan orang picik tak lain dan tak bukan pasti tertuju tuk Nyonya Amira. Nuraninya berkata, ia harus menjadikan Bintang bersinar kembali. Ia harus menyakinkan bahwa Bintang bukanlah bintang yang terluka. Ia harus mengobati luka-luka yang tergoreskan. Impian Bintang untuk berkuliah di Harvard University harus menjadi nyata. Tekad bulat itu bersemi di hati Nyonya Amira.

Demi menebus dosa besarnya, Nyonya Amira membawa Bintang tuk tinggal di rumah megahnya. .Di bawah atap rumah megah mewah nan megah, dua insan saling membagi kasih sayang. Selayak kasih sayang ibu dan anak. Hubungan diatasnya tak ada batas. Keangkuhan Nyonya Amira melebur, rasa sungkan Bintang sedikit hilang.

Fasilitas-fasilitas mulai alat ketik braille, papan huruf braille, sempoa ataupun kalkulator tersedia secara cuma-Cuma. Hal ini cukup membantu Bintang dalam berkomunikasi dan belajar. Apalagi ditambah dengan kursus-kursus yang meningkatkan wawasan dan ketrampilan.

Setahun berlalu, beasiswa menuju Harvard University terbuka kembali. Bintang tak kan menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Tuhan. Dukungan terbesarnya berasal dari dirinya sendiri dan Nyonya Amira tentunya. Keindahan Harvard memang tak terlihat oleh matanya. Namun mata hatinyalah yang menyaksikan dan merasakan keindahannya.

‘’ Jaga dirimu baik-baik nak! Ingat kau bukanlah bintang terluka, tapi kau bintang yang sesungguhnya. Tante melihatnya. Tante melihat sinar-sinar itu berada pada dirimu. Pulanglah saat liburan tiba! Tante akan merindukanmu.’’ Pesan terakhir Nyonya Amira sebelum keberangkatan Bintang menuju Harvard. Pelukan Nyonya Amira terasa hangat. Bintang merasakannya. Wanita itu meluapkan kasihnya kepada Bintang.

Keberuntungan sedang berpihak kepada Bintang. Studinya berjalan lancar. Ujian-ujian terlampaui dengan mudahnya. Beasiswa-beasiswa selalu ia raih. Kebahagiaannya bertambah saat rektor Harvard University memberinya beasiswa yang luar biasa. Bukan sekrdar beasiswa pendidikan. Bintang mendapatkan donor mata di Harvard, Inggris. Keteguhannya akan belajar dan pencapaian cita-cita, meluluhkan hati sang Rektor hingga memutuskan membiayainya dalam operasi cangkok mata.

%

Liburan pertama yang dinantikan. Rindu dengan tanah kelahiran. Apalagi dengan orang tersayang. Berharap pesawat melaju kencang. Membawanya menuju kejutan dan kebahagiaan.

‘’Tante Amira, terima kasih Tante telah menghapus luka Bintang.’’ Batin Bintang saat mendarat di bandara Soekarno-Hatta. Bintang langsung menembus ibu kota dengan sebuah taxi menuju kediaman mewah milik Nyonya Amira.

Seumur-umur Bintang memang tak pernah melihat betapa mewahnya rumah yang pernah ia pijaki itu. Namun melalui kartu nama Tante Amira, Bintang dapat dengan mudah menemukannya.

‘’Permisi.... Tante Amira....!’’Teriak Bintang dari balik pagar besi yang menjulang tinggi. Dipukulnya juga gembok besar yang tergantung pagar besi tuk mencari perhatian sang empunya rumah.

Tampak dari kejauhan seorang pria berseragam berlari kecil menuju pagar.

‘’Ada yang bisa saya bantu Non?’’ Tanyanya dari balik pagar.

‘’Saya ingin bertemu Tante Amira, Pak.’’

‘’Ooooo Nyonya Amira?’’

‘’Iya....Bapak kenal?

‘’Tentu, tapi kenapa kau mrncarinya ke sini?’’

‘’Bukankah ini kediamannya?’’

‘’Betul. tapi Nyonya Amira sedang menjalani hukamannya di balik jeruji besi.’’

‘’Hukuman?’’ Bintang mengernyitkan dahinya berfikir keras.

‘’Nyonya menjadi tersangka kecelakaan yang menyebabkan seorang anak gadis buta beberapa tahun lalu.’’ Jelas Pak Satpam.

‘’Apa??....Kecelakaan?........Buta?’’

Bagai tersambar petir Bintang mendengar kalimat terakhir Pak Satpam. Kakinya terkulai lemas. tak sanggup menopang tubuhnya. Ia lemas dan terjatuh.

‘’Itu A.....ku!!!’’ Ucapnya dalam rintih tangis kecilnya.

‘’Sungguh......luka itu tergores lagi lebih sakit dan pedih dari luka sebelumnya.’’

%

‘’Kegelapan itu kembali datang. Kesendirian masuk tuk menantang. Kasih sayang tak terbeli dengan uang. Kebenaran memang selalu menang, meski tertutup dengan ribuan kibulan. Sepert kata pepatah Jawa Becik ketitik ala ketara.’’

THE END

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun