Khofifah Dwi Khasanah_202111189_HES 7G_UAS HAKI
AbstractÂ
Intellectual Property (IP) is a significant issue related to personal ownership, with widespread impacts across various fields, such as economics, politics, social, and culture. Violations of IP, such as piracy and opaque royalty issues, result in harm to many parties, including rights holders, governments, and society. For example, disputes among publishers in Indonesia regarding book copyrights, particularly in the translation and distribution of scholarly works from the Middle East, reflect the growing complexity of IP issues. Trademark piracy also exacerbates the situation.
In the context of Islamic law, IP is a relatively new topic and has not been discussed using a specific term. IP has not received in-depth attention from scholars, and there is a lack of clarity regarding its acceptance within the existing framework of Islamic law. Some argue that IP is a product of the Western capitalist system, which contradicts the principles of authorship in Islam, which emphasize collectivism and the sharing of knowledge for the benefit of the community. This has led to debates about the existence and application of IP in Islamic law.
The lack of clarity in the application of IP within Islamic law presents significant challenges in formulating a legal position that aligns with Islamic principles. Therefore, it is essential to further explore how IP can be adapted within the framework of Sharia law to accommodate the interests of individuals, society, and the Muslim community fairly. This approach is expected to offer more relevant solutions in line with the rapid developments of globalization and the fast-paced digital dynamics.
Keywords: Intellectual Property, violations, copyright, Islamic law, authorship, Western capitalism, collectivism, piracy
AbstrakÂ
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan isu penting yang berkaitan dengan kepemilikan pribadi dan memiliki dampak luas dalam berbagai bidang seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Pelanggaran terhadap HKI, seperti pembajakan karya dan masalah royalti yang tidak transparan, menyebabkan kerugian bagi banyak pihak, termasuk pemegang hak, negara, dan masyarakat. Sebagai contoh, perselisihan antara penerbit di Indonesia mengenai hak cipta buku, terutama dalam penerjemahan dan distribusi karya ulama dari Timur Tengah, mencerminkan kompleksitas masalah HKI yang semakin mendalam. Pembajakan merek dagang juga memperburuk situasi ini.
Dalam konteks hukum Islam, HKI merupakan topik yang relatif baru dan belum dibahas dengan istilah yang khusus. HKI belum mendapatkan perhatian yang mendalam dari para ulama, dengan adanya ketidakjelasan mengenai penerimaan HKI dalam kerangka hukum Islam yang sudah ada. Beberapa pihak berpendapat bahwa HKI adalah produk sistem kapitalisme Barat yang bertentangan dengan prinsip kepengarangan Islam, yang lebih menekankan pada nilai kolektivisme dan berbagi ilmu untuk kemaslahatan umat. Hal ini menciptakan perdebatan mengenai eksistensi dan penerapan HKI dalam hukum Islam.
Ketidakjelasan dalam penerapan HKI dalam hukum Islam menimbulkan tantangan besar dalam merumuskan kedudukan hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji lebih dalam bagaimana HKI dapat diadaptasi dalam kerangka hukum syariah, agar dapat mengakomodasi kepentingan individu, masyarakat, dan umat Islam secara adil. Pendekatan ini diharapkan dapat membawa solusi yang lebih relevan seiring dengan perkembangan globalisasi dan dinamika digital yang semakin pesat.
Kata kunci: Hak Kekayaan Intelektual, pelanggaran, hak cipta, hukum Islam, kepengarangan, kapitalisme Barat, kolektivisme, pembajakan
Latar belakangÂ
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan isu mengenai kepemilikan pribadi yang memiliki dampak luas di berbagai bidang, seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Pelanggaran terhadap HKI telah menjadi masalah serius karena merugikan banyak pihak, termasuk pemegang hak, negara, dan masyarakat. Sebagai contoh, dalam kasus hak cipta buku, sering kali terjadi perselisihan antara penerbit di Indonesia yang bersaing untuk memperoleh hak eksklusif dalam menerjemahkan, mencetak, dan mendistribusikan karya ulama yang diterbitkan oleh penerbit di Timur Tengah. Masalah terkait royalti yang tidak transparan juga kerap menimbulkan perseteruan antara penulis dan penerbit. Di samping itu, pembajakan merek dagang yang terjadi secara terbuka semakin memperburuk situasi.
Dalam hukum Islam, isu Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan topik yang relatif baru dan tidak dibahas dengan istilah khusus. Sebagai konsep yang baru muncul, HKI belum mendapatkan pembahasan yang mendalam atau penetapan hukum yang jelas dari para ulama. Beberapa pihak bahkan masih memperdebatkan eksistensi HKI dalam konteks hukum Islam. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesepakatan mengenai penerimaan HKI dalam kerangka hukum Islam yang sudah ada.
Sebagian kalangan beranggapan bahwa HKI adalah produk dari sistem kapitalisme Barat yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kepengarangan dalam Islam. Dalam Islam, nilai kepengarangan lebih menekankan pada kepentingan kolektif dan berbagi ilmu untuk kemaslahatan umat. Perdebatan ini menunjukkan ketidakjelasan tentang bagaimana seharusnya HKI diterapkan dalam hukum Islam. Oleh karena itu, masih ada tantangan dalam merumuskan kedudukan hukum HKI yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
MasalahÂ
Rumusan masalah dalam artikel ini berkaitan dengan bagaimana posisi dan penerapan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam hukum Islam, mengingat HKI merupakan isu yang relatif baru dan belum dibahas secara mendalam oleh para ulama. Penelitian ini juga akan mengeksplorasi perdebatan tentang eksistensi HKI, terutama dalam kaitannya dengan hak kepengarangan, serta tantangan yang muncul akibat perbedaan pandangan antara nilai-nilai Islam yang menekankan pada kepentingan kolektif dan pembagian ilmu dengan sistem kapitalisme Barat yang mendasari HKI. Selain itu, penelitian ini akan mengkaji dampak pelanggaran HKI di Indonesia, seperti perselisihan royalti dan pembajakan merek dagang, serta bagaimana isu-isu tersebut dapat diselesaikan dalam kerangka hukum Islam yang sesuai.
TeoriÂ
1.Konsep HaKI dalam Islam HaKI dalam Islam mencakup perlindungan atas karya intelektual sebagai bentuk hak pribadi yang sah. Islam mengakui pentingnya hak cipta dan inovasi sebagai bagian dari pemeliharaan amanah untuk umat. Konsep ini berlandaskan pada prinsip keadilan dan penghargaan terhadap hasil karya yang memberikan manfaat bagi umat.
2.Prinsip Syariah dalam Perlindungan HaKI Prinsip syariah dalam konteks HaKI menekankan perlindungan hak individu tanpa menzalimi orang lain atau masyarakat. Hukum Islam mengatur agar hak cipta dan inovasi dihargai sesuai dengan nilai-nilai moral dan sosial yang berlaku. Dalam hal ini, Islam menegaskan pentingnya keseimbangan antara hak pribadi dan kepentingan bersama.
3.Peran HaKI dalam Mendorong Inovasi dan Keadilan Sosial HaKI dalam Islam memiliki peran besar dalam mendorong inovasi yang bermanfaat bagi umat manusia. Inovasi yang dilindungi HaKI harus memberikan nilai sosial yang positif dan berkelanjutan. Islam mengajarkan bahwa hasil ciptaan yang inovatif harus digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan mencegah praktik eksploitasi atau ketidakadilan.
4.Penerapan HaKI dalam Praktek Sosial dan Ekonomi Dalam penerapannya, HaKI diharapkan dapat memperkuat sistem sosial dan ekonomi dengan memastikan perlindungan terhadap hak cipta dan inovasi. Islam mendorong transparansi dalam royalti dan pembagian keuntungan dari karya intelektual. Hal ini bertujuan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dalam mendistribusikan hak kekayaan intelektual.
PembahasanÂ
Hak kekayaan intelektualÂ
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai isu global telah diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia dengan berbagai terjemahan. Istilah HKI lebih sering digunakan oleh kalangan birokrasi, sesuai dengan nomenklatur instansi pemerintah di bawah Kementerian Hukum dan HAM yang menangani hal ini. Sebagai alternatif, ada juga istilah Hak atas Kekayaan Intelektual yang disingkat HaKI. Di kalangan akademisi, istilah yang lebih mendekati makna dari Intellectual Property Right (IPR) adalah Hak Atas Kepemilikan Intelektual (HAKI). Ahmad M. Ramli berpendapat bahwa istilah ini lebih tepat karena kata "property" dalam Bahasa Indonesia berarti "kepemilikan." Pendapat ini didukung oleh Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang mengusulkan perubahan istilah dari "Hak Kekayaan" menjadi "Hak Kepemilikan" dalam pidato peringatan Hari Kekayaan Intelektual pada 26 April 2011. Menurut SBY, kata "kekayaan" dalam Bahasa Inggris lebih merujuk pada "rich" atau "wealthy," sedangkan "property" lebih tepat diterjemahkan sebagai "milik." Meskipun demikian, istilah HKI tetap lebih populer digunakan daripada Hak Kepemilikan Intelektual.
Secara terminologis, World Intellectual Property Organization (WIPO) mendefinisikan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai hasil ciptaan dari pikiran manusia, seperti penemuan, karya sastra dan seni, serta simbol, nama, dan gambar yang digunakan dalam perdagangan. Definisi ini memberikan penjelasan mengenai batasan dan ruang lingkup HKI, di mana istilah "Intellectual Property" merujuk pada hasil kreativitas yang memberikan perlindungan kepada pemiliknya untuk memperoleh manfaat komersial dari temuan mereka. W.R. Cornish juga menegaskan bahwa hak milik intelektual melindungi penggunaan ide dan informasi yang memiliki nilai komersial atau ekonomi.
Dengan demikian, hak kekayaan intelektual adalah hak yang muncul dari hasil pemikiran yang menghasilkan produk atau proses yang berguna bagi umat manusia. Hak ini diberikan oleh negara kepada individu atas ciptaannya, baik itu yang dilindungi oleh hak cipta maupun yang dilindungi oleh hak kekayaan industri. Ciri utama dari hak kekayaan intelektual adalah pemberian hak eksklusif kepada pemegangnya untuk menggandakan karya cipta tersebut dalam jangka waktu tertentu, yang dapat dilakukan sendiri atau dilisensikan kepada pihak lain.
Sejarah Kemunculan Konsep KHI
Bangsa pertama yang mencantumkan nama pemilik atau penemu suatu temuan adalah bangsa Yunani Kuno dan Romawi, meskipun pada awalnya pencantuman tersebut tidak terkait langsung dengan hak ekonomi yang menyertainya. Keadaan ini berlanjut hingga penemuan mesin cetak pada abad ke-15, yang kemudian membawa perubahan signifikan. Dengan alasan politis, hak untuk menggandakan naskah dikuasai oleh gereja atas pesanan kerajaan-kerajaan Eropa, namun teknologi mesin cetak yang lebih efisien justru mendorong maraknya pembajakan. Untuk mengatasinya, Raja Inggris pada saat itu mengeluarkan Licensing Act 1662 yang mengatur kontrol terhadap barang cetakan. Undang-undang ini memperkenalkan konsep pendaftaran barang cetakan serta kewajiban untuk menyimpan salinan sebagai arsip di Stationer's Company. Regulasi-regulasi selanjutnya, seperti Undang-Undang Anne, Konvensi Berne (1886), dan pada tahun 1911, piagam hak cipta yang merevisi peraturan-peraturan sebelumnya, muncul untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Sebagai tambahan, UNESCO kemudian memperkenalkan Universal Copyright Convention (UCC) sebagai alternatif bagi negara-negara yang tidak sepakat dengan Konvensi Berne namun tetap ingin berpartisipasi dalam perlindungan hak kekayaan intelektual.
Jenis dan Cakupan HKI
Menurut WIPO, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu Hak Kekayaan Industri dan Hak Cipta (Copyright). Hak Kekayaan Industri mencakup hak paten atas penemuan, merek dagang, desain industri, dan indikasi geografis. Sementara itu, hak cipta meliputi karya-karya sastra, seni, dan ilmiah, seperti novel, puisi, film, musik, drama, lukisan, fotografi, serta desain arsitektur.
Dalam hukum perundang-undangan di Indonesia, ruang lingkup HKI dijelaskan secara lebih rinci. Hak cipta diberikan sebagai hak eksklusif kepada pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan, memperbanyak, atau memberikan izin terkait dengan karya cipta tanpa mengurangi pembatasan yang diatur oleh peraturan yang berlaku. Karya yang dilindungi hak cipta mencakup berbagai bidang, seperti buku, program komputer, ceramah, lagu, drama, seni rupa, arsitektur, fotografi, sinematografi, dan karya terjemahan. Sementara itu, Hak atas Kekayaan Industri mencakup hak paten, merek, desain produk, informasi rahasia, indikasi geografis, desain tata letak sirkuit terpadu, varitas tanaman, serta kompetisi yang tidak adil. Perbedaan mendasar antara hak cipta dan hak kekayaan industri terletak pada bahwa hak cipta bukan merupakan hak monopoli atas kepemilikan, melainkan hak untuk mencegah orang lain melakukan hal yang sama tanpa izin.
Regulasi yang berkaitan dengan Intelectual Property di Indonesia.
Sebagai anggota WTO yang juga meratifikasi konvensi internasional seperti Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) dan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), Indonesia memiliki kewajiban untuk menetapkan hukum nasional yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam TRIPS. Sebagai tindak lanjut dari kewajiban tersebut, Indonesia telah mengadopsi sejumlah peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang sesuai dengan persyaratan dalam Persetujuan TRIPS. Beberapa peraturan tersebut antara lain:
1.Undang-Undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 (UU Hak Cipta).
2.Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.
3.Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
4.Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.
5.Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
6.Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten (UU Paten).
7.Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Bagaimana Islam Berbicara tentang Hak Cipta
Dalam Islam, istilah hak kekayaan/kepemilikan intelektual tidak dikenal secara langsung, sehingga sulit untuk menemukan padanan yang tepat secara literal. Masalah terminologi ini sering menimbulkan perbedaan persepsi terhadap konsep tertentu. Hal ini juga berlaku ketika model transaksi yang diterapkan di dunia Barat diimpor ke dalam dunia Islam, karena tidak selalu sesuai dengan konteks dan karakteristik muamalah Islam yang berbeda. Apalagi jika impor tersebut dilakukan tanpa memperhatikan perbedaan mendasar antara praktik muamalah di Barat dan di dunia Islam.
Konsep Intellectual Property Right (IPR) berkembang dalam budaya Barat yang kapitalis dan individualistik, di mana nilai materialisme sangat dominan. Dalam budaya ini, berkarya sering kali tidak didorong oleh semangat berbagi ilmu secara ikhlas, seperti yang diajarkan dalam Islam, melainkan lebih pada kepentingan ekonomi individu. Seiring dengan berkembangnya proses kreatif dalam berkarya, hak komersial atas karya baru mulai diakui, terutama setelah era percetakan yang membawa nilai ekonomi. Dalam perkembangan selanjutnya, diskursus tentang Intellectual Property tidak hanya berkaitan dengan perlindungan hak komersial individu, tetapi juga menyentuh aspek ekonomi dan politik global. Negara-negara maju seringkali mengaitkan perlindungan hak kekayaan intelektual dengan iklim investasi, yang menjadi salah satu syarat dalam transaksi internasional mereka.
Dalam konteks Islam, tema-tema mengenai Intellectual Property lebih banyak dikaitkan dengan hubungan kepemilikan dan pengelolaan harta (tasarruful amwal). Hal ini bisa ditemukan dalam al-Qur'an, hadist, serta pendapat para fuqaha. Kekayaan atau kepemilikan intelektual dalam Islam dibahas sebagai bagian dari hukum fiqih muamalah, yang berfokus pada pemanfaatan hak milik orang lain secara sah dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Beberapa ayat dalam al-Qur'an menjadi dasar hukum terkait pemanfaatan hak milik orang lain secara adil dan tidak merugikan. Berikut adalah beberapa ayat yang menjadi dasar hukum pemanfaatan hak milik orang lain:Â
Qs. An-Nisa [4]: 29Â
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu".
Ayat ini membahas kaidah umum terkait pemanfaatan harta dengan cara yang baik. Sebelumnya, ayat-ayat tersebut juga membahas masalah mu'amalah maliah, seperti kewajiban memberikan nafkah kepada anak yatim dan memberikan mahar kepada perempuan.
Janganlah kalian memakan harta sebagian orang lain secara batil, yakni cara yang tidak diperbolehkan oleh syara.15 Terminologi aklun digunakan mengingat secara umum memanfaatkan harta dengan cara memakannya.16 Adapun penisbatan harta pada dhamir jama mukhatab dalam digunakan untuk memberikan kesan kesatuan dan kolektifitas umat sekaligus memberikan sinyal bahwa menghormati hak orang lain berarti menghormati hak sendiri dan pelanggaran terhadap harta orang lain, berarti merupakan bentuk pelanggaran dan kejahatan kemanusiaan.Â
Al-Maraghi menjelaskan prinsip Islam tentang kepemilikan dan pemanfaatan harta sebagai berikut:
1.Setiap harta pribadi mengandung hak orang lain di dalamnya. Oleh karena itu, bagi orang yang diberi lebih, wajib memperhatikan kepentingan umat, karena dalam harta yang dimilikinya terdapat hak bagi fakir miskin.
2.Meskipun setiap harta orang kaya mengandung hak orang kurang mampu, pemanfaatannya tetap harus berdasarkan izin dan kerelaan pemiliknya.
Beberapa mufassir mengartikan ayat ini sebagai peringatan untuk menafkahkan sebagian harta pribadi secara benar (haqq), tidak menyalahgunakan atau membuangnya dengan cara yang haram. Menurut Muhammad Abduh, meskipun pendapat ini benar substansinya, ia kurang menangkap makna yang terkandung dalam kata "bainakum" yang mengindikasikan adanya transaksi (mu'amalah) antara dua pihak atau lebih. Makna dari istilah batil adalah sesuatu yang hilang atau merugikan. Az-Zuhaily memahami bathil sebagai tindakan mengambil harta orang lain tanpa izin atau kompensasi yang sah, termasuk menggunakan harta untuk tujuan yang tidak bermanfaat.
Beberapa mufassir seperti Rasyid Ridha, Az-Zuhaily, dan Al-Maraghi memberikan contoh tindakan mengambil harta orang lain secara bathil, seperti:
1.Riba dan judi, karena kedua transaksi ini mendapatkan harta tanpa usaha yang sah.
2.Suap, yang mengarah pada kezaliman.
3.Memberikan sedekah kepada orang yang mampu bekerja, yang mengandung unsur penghinaan, serta menerima sedekah oleh orang yang seharusnya mampu bekerja.
4.Pencurian dan ghasab (perampasan), yang melanggar hak kepemilikan orang lain, baik secara fisik (harta) maupun manfaat (jasa). Rasyid Ridha juga menyoroti ghasab manfaat sebagai tindakan merugikan orang lain, seperti tidak memberikan kompensasi untuk pekerjaan yang dilakukan orang lain.
5.Mempekerjakan orang tanpa memberikan upah yang layak.
6.Mengambil harta anak yatim secara zalim.
7.Mengambil imbalan dari transaksi yang diharamkan, seperti prostitusi atau praktik perdukunan.
8.Mengambil upah dari ibadah, seperti puasa dan shalat.
9.Transaksi yang mengandung penipuan, pemalsuan, atau korupsi.
Secara sederhana, An-Naisabury mengklasifikasikan tindakan mengambil harta orang lain secara bathil ke dalam dua kategori, yaitu mengambil dengan cara zalim seperti ghasab, pencurian, dan pengkhianatan terhadap pemilik harta, serta mengambil dengan cara yang bersifat permainan, seperti perjudian atau jenis permainan serupa. Pada bagian larangan mengambil harta orang lain inilah, QS. An-Nisa [5]: 29 sangat relevan, karena berhubungan dengan pelangga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H