Konsep Intellectual Property Right (IPR) berkembang dalam budaya Barat yang kapitalis dan individualistik, di mana nilai materialisme sangat dominan. Dalam budaya ini, berkarya sering kali tidak didorong oleh semangat berbagi ilmu secara ikhlas, seperti yang diajarkan dalam Islam, melainkan lebih pada kepentingan ekonomi individu. Seiring dengan berkembangnya proses kreatif dalam berkarya, hak komersial atas karya baru mulai diakui, terutama setelah era percetakan yang membawa nilai ekonomi. Dalam perkembangan selanjutnya, diskursus tentang Intellectual Property tidak hanya berkaitan dengan perlindungan hak komersial individu, tetapi juga menyentuh aspek ekonomi dan politik global. Negara-negara maju seringkali mengaitkan perlindungan hak kekayaan intelektual dengan iklim investasi, yang menjadi salah satu syarat dalam transaksi internasional mereka.
Dalam konteks Islam, tema-tema mengenai Intellectual Property lebih banyak dikaitkan dengan hubungan kepemilikan dan pengelolaan harta (tasarruful amwal). Hal ini bisa ditemukan dalam al-Qur'an, hadist, serta pendapat para fuqaha. Kekayaan atau kepemilikan intelektual dalam Islam dibahas sebagai bagian dari hukum fiqih muamalah, yang berfokus pada pemanfaatan hak milik orang lain secara sah dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Beberapa ayat dalam al-Qur'an menjadi dasar hukum terkait pemanfaatan hak milik orang lain secara adil dan tidak merugikan. Berikut adalah beberapa ayat yang menjadi dasar hukum pemanfaatan hak milik orang lain:Â
Qs. An-Nisa [4]: 29Â
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu".
Ayat ini membahas kaidah umum terkait pemanfaatan harta dengan cara yang baik. Sebelumnya, ayat-ayat tersebut juga membahas masalah mu'amalah maliah, seperti kewajiban memberikan nafkah kepada anak yatim dan memberikan mahar kepada perempuan.
Janganlah kalian memakan harta sebagian orang lain secara batil, yakni cara yang tidak diperbolehkan oleh syara.15 Terminologi aklun digunakan mengingat secara umum memanfaatkan harta dengan cara memakannya.16 Adapun penisbatan harta pada dhamir jama mukhatab dalam digunakan untuk memberikan kesan kesatuan dan kolektifitas umat sekaligus memberikan sinyal bahwa menghormati hak orang lain berarti menghormati hak sendiri dan pelanggaran terhadap harta orang lain, berarti merupakan bentuk pelanggaran dan kejahatan kemanusiaan.Â
Al-Maraghi menjelaskan prinsip Islam tentang kepemilikan dan pemanfaatan harta sebagai berikut:
1.Setiap harta pribadi mengandung hak orang lain di dalamnya. Oleh karena itu, bagi orang yang diberi lebih, wajib memperhatikan kepentingan umat, karena dalam harta yang dimilikinya terdapat hak bagi fakir miskin.
2.Meskipun setiap harta orang kaya mengandung hak orang kurang mampu, pemanfaatannya tetap harus berdasarkan izin dan kerelaan pemiliknya.
Beberapa mufassir mengartikan ayat ini sebagai peringatan untuk menafkahkan sebagian harta pribadi secara benar (haqq), tidak menyalahgunakan atau membuangnya dengan cara yang haram. Menurut Muhammad Abduh, meskipun pendapat ini benar substansinya, ia kurang menangkap makna yang terkandung dalam kata "bainakum" yang mengindikasikan adanya transaksi (mu'amalah) antara dua pihak atau lebih. Makna dari istilah batil adalah sesuatu yang hilang atau merugikan. Az-Zuhaily memahami bathil sebagai tindakan mengambil harta orang lain tanpa izin atau kompensasi yang sah, termasuk menggunakan harta untuk tujuan yang tidak bermanfaat.
Beberapa mufassir seperti Rasyid Ridha, Az-Zuhaily, dan Al-Maraghi memberikan contoh tindakan mengambil harta orang lain secara bathil, seperti: