Malam itu, Pram terbangun oleh suara ketukan keras di pintu rumah.
"Tok! Tok! Tok!"
Ia mengintip dari jendela dan melihat Pak Marwan, seorang tetua desa, berdiri di luar. Wajah lelaki tua itu tampak serius.
"Ada apa malam-malam begini, Pak?" tanya Pram setelah membuka pintu.
Pak Marwan melangkah masuk tanpa dipersilakan. "Aku dengar kau mulai menjual air dari padasan ini," katanya tajam.
"Memang, Pak. Sekarang semua butuh uang. Lagi pula, air ini hasil usahaku sendiri."
Pak Marwan menatapnya lekat. "Padasan itu bukan sekadar gentong air. Itu simbol kemurahan hati ayahmu. Dulu, ia berkata kepadaku, 'Air ini adalah berkah dari Tuhan. Siapa pun yang haus boleh meminumnya tanpa diminta imbalan.' Kau tahu, Pram, dengan menjual air itu, kau menjual berkah yang ditinggalkan ayahmu."
Pram tertawa sinis. "Itu zaman dulu, Pak. Sekarang tagihan listrik, biaya pompa air, semuanya harus dibayar. Tradisi tidak bisa membuat dapur saya ngebul."
Pak Marwan menghela napas panjang. "Kalau kau terus begini, hidupmu tak akan tenang, Pram."
Keesokan harinya, sesuatu yang aneh terjadi.
Air di padasan itu tiba-tiba keruh. Orang-orang yang biasa mampir memilih melewati rumah Pram tanpa berhenti.
Pram bingung. Ia memeriksa saluran air, pompa, hingga gentongnya, tetapi semuanya terlihat normal. Namun, air tetap tidak bisa diminum.
Malam itu, Pram bermimpi. Dalam mimpi, ayahnya muncul. Wajahnya yang dulu ramah kini tampak muram dan penuh kekecewaan.
"Pram! Apa yang kau lakukan? Air ini bukan untuk dijual. Kau mencoreng nama baik keluargamu!"