Pram terbangun dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Pagi harinya, Pram mendapati padasan itu telah hilang.
Hanya tanah kosong yang tersisa di tempatnya. Ia mencari ke mana-mana, tapi tidak ada jejak.
Di tengah pencariannya, ia bertemu Karso yang sedang duduk di bawah pohon besar. Anehnya, padasan itu kini berada di dekat Karso. Airnya kembali jernih, memantulkan sinar matahari pagi.
"Pak Karso, kenapa padasan itu ada di sini?" tanya Pram dengan nada cemas.
Karso tersenyum tipis. "Mungkin ia lebih suka berada di tempat yang menghormati niat baik leluhur."
Pram terpaku, merasakan kata-kata itu seperti tamparan keras di wajahnya. Ia menunduk, lalu perlahan berbisik, "Urip iku mung mampir ngombe..."
Pram pulang dengan langkah gontai. Di depan rumahnya, ia melihat sesuatu yang membuat tubuhnya merinding: tulisan di dinding rumahnya, terpahat seakan-akan oleh tangan tak kasat mata:
"Air adalah kehidupan. Kau menjualnya, maka kehidupanmu telah kau gadaikan."
Tulisan itu tidak bisa dihapus, tidak peduli seberapa keras ia mencoba. Sejak saat itu, hidup Pram dipenuhi bayang-bayang penyesalan. Setiap kali ia menutup matanya, padasan tua itu muncul dalam mimpinya, mengingatkannya akan dosa yang tak bisa ia tebus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H