OLEH: Khoeri Abdul Muid
Matahari memancarkan panas teriknya siang itu. Karso, seorang lelaki paruh baya, memikul sekarung singkong dari ladang. Langkahnya berat, tubuhnya basah oleh keringat. Di tengah perjalanan pulang, matanya menangkap sebuah padasan tua di depan rumah yang teduh. Padasan itu tampak seperti oase di tengah perjalanan melelahkan.
"Alhamdulillah, masih ada padasan," gumam Karso sambil menurunkan karungnya. Ia mencuci muka, membasuh tangan, lalu meneguk air dingin dari pancuran. Segarnya air itu seperti menghidupkan kembali semangatnya.
Saat ia sedang menikmati tetes terakhir, suara keras menggelegar dari pintu rumah.
"Heh! Jangan seenaknya minum air di situ!"
Karso menoleh. Seorang lelaki muda, Pram, berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam. Pram adalah anak almarhum Pak Sastro, pemilik rumah itu yang dulu dikenal dermawan.
"Maaf, Nak. Saya kehausan. Dulu, air di padasan ini untuk siapa saja yang lewat," ujar Karso sopan.
Pram melipat tangannya. "Dulu memang begitu. Tapi sekarang, semua harus bayar. Air di sini bukan gratis!"
Karso mengernyit, bingung. Ia melihat papan kecil yang tergantung di samping padasan: "Air Segar, Rp 2.000 per Teguk."
Karso menarik napas dalam, lalu mengeluarkan dua lembar seribuan dari kantong lusuhnya. Dengan hati-hati, ia menyerahkan uang itu. "Ini, Nak. Semoga cukup."
Pram mengambil uang itu tanpa bicara, lalu berbalik masuk ke rumah. Karso menatap padasan itu dengan getir. "Urip iku mung mampir Ngombe. Hidup itu hanya mampir minum," gumamnya, lalu melanjutkan perjalanannya.
Malam itu, Pram terbangun oleh suara ketukan keras di pintu rumah.
"Tok! Tok! Tok!"
Ia mengintip dari jendela dan melihat Pak Marwan, seorang tetua desa, berdiri di luar. Wajah lelaki tua itu tampak serius.
"Ada apa malam-malam begini, Pak?" tanya Pram setelah membuka pintu.
Pak Marwan melangkah masuk tanpa dipersilakan. "Aku dengar kau mulai menjual air dari padasan ini," katanya tajam.
"Memang, Pak. Sekarang semua butuh uang. Lagi pula, air ini hasil usahaku sendiri."
Pak Marwan menatapnya lekat. "Padasan itu bukan sekadar gentong air. Itu simbol kemurahan hati ayahmu. Dulu, ia berkata kepadaku, 'Air ini adalah berkah dari Tuhan. Siapa pun yang haus boleh meminumnya tanpa diminta imbalan.' Kau tahu, Pram, dengan menjual air itu, kau menjual berkah yang ditinggalkan ayahmu."
Pram tertawa sinis. "Itu zaman dulu, Pak. Sekarang tagihan listrik, biaya pompa air, semuanya harus dibayar. Tradisi tidak bisa membuat dapur saya ngebul."
Pak Marwan menghela napas panjang. "Kalau kau terus begini, hidupmu tak akan tenang, Pram."
Keesokan harinya, sesuatu yang aneh terjadi.
Air di padasan itu tiba-tiba keruh. Orang-orang yang biasa mampir memilih melewati rumah Pram tanpa berhenti.
Pram bingung. Ia memeriksa saluran air, pompa, hingga gentongnya, tetapi semuanya terlihat normal. Namun, air tetap tidak bisa diminum.
Malam itu, Pram bermimpi. Dalam mimpi, ayahnya muncul. Wajahnya yang dulu ramah kini tampak muram dan penuh kekecewaan.
"Pram! Apa yang kau lakukan? Air ini bukan untuk dijual. Kau mencoreng nama baik keluargamu!"
Pram terbangun dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Pagi harinya, Pram mendapati padasan itu telah hilang.
Hanya tanah kosong yang tersisa di tempatnya. Ia mencari ke mana-mana, tapi tidak ada jejak.
Di tengah pencariannya, ia bertemu Karso yang sedang duduk di bawah pohon besar. Anehnya, padasan itu kini berada di dekat Karso. Airnya kembali jernih, memantulkan sinar matahari pagi.
"Pak Karso, kenapa padasan itu ada di sini?" tanya Pram dengan nada cemas.
Karso tersenyum tipis. "Mungkin ia lebih suka berada di tempat yang menghormati niat baik leluhur."
Pram terpaku, merasakan kata-kata itu seperti tamparan keras di wajahnya. Ia menunduk, lalu perlahan berbisik, "Urip iku mung mampir ngombe..."
Pram pulang dengan langkah gontai. Di depan rumahnya, ia melihat sesuatu yang membuat tubuhnya merinding: tulisan di dinding rumahnya, terpahat seakan-akan oleh tangan tak kasat mata:
"Air adalah kehidupan. Kau menjualnya, maka kehidupanmu telah kau gadaikan."
Tulisan itu tidak bisa dihapus, tidak peduli seberapa keras ia mencoba. Sejak saat itu, hidup Pram dipenuhi bayang-bayang penyesalan. Setiap kali ia menutup matanya, padasan tua itu muncul dalam mimpinya, mengingatkannya akan dosa yang tak bisa ia tebus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H