Bu Tami terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Suryo yang membuatnya tak bisa sepenuhnya berpaling. "Lalu, apa yang kamu inginkan sekarang? Apakah ini tentang rumah itu? Tentang uang?"
Pak Suryo menggeleng. "Tidak, Tam. Aku sudah menjual rumah itu. Aku serahkan semuanya untukmu."
Bu Tami tertegun. "Apa maksudmu?"
"Aku ingin kamu punya hidup baru, tanpa aku jadi bayang-bayang burukmu lagi," jawab Suryo. "Rumah itu, hasilnya... semuanya untuk kamu. Itu cara terakhirku memperbaiki sesuatu yang telah kuhancurkan."
Ada hening yang panjang, nyaris menyakitkan. Mata Bu Tami perlahan berkaca-kaca. Ia mencoba menyembunyikan gemuruh di dadanya, tetapi tangannya gemetar saat menerima amplop yang disodorkan Suryo.
"Suryo," suaranya pelan, hampir berbisik, "kenapa sekarang? Kenapa bukan dulu, saat semuanya masih mungkin diperbaiki?"
Suryo menatapnya, bibirnya melengkungkan senyum getir. "Karena aku dulu terlalu sombong untuk mengakui bahwa aku salah. Dan aku terlalu bodoh untuk mengerti, kebahagiaan itu bukan tentang apa yang aku dapatkan, tapi tentang apa yang bisa kuberikan."
Air mata Bu Tami akhirnya jatuh, deras. Tapi ia tahu apa yang harus ia katakan.
"Suryo," katanya dengan suara yang gemetar, "aku menghargai usahamu. Tapi aku sudah menemukan jalanku sendiri. Aku memaafkanmu, tapi aku tidak bisa kembali."
Suryo tersenyum kecil, menunduk. "Aku nggak berharap lebih, Tami. Mendengar kamu memaafkan saja sudah cukup."
Ia berdiri, melangkah pergi dengan langkah yang ringan, meski hatinya terasa hancur.