OLEH: Khoeri Abdul Muid
"Pak, ada tamu," ujar Ratmi, asisten rumah tangga, pelan.
Dari balik pintu, Bu Tami berdiri. Wajahnya tak berubah: cantik, kokoh, tapi dingin seperti batu karang. Pak Suryo menelan ludah, menahan napas di tengah ketegangan yang menyesakkan dada.
"Boleh aku masuk?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.
Bu Tami memiringkan kepala sedikit, menatapnya seperti seseorang yang menimbang apakah akan membiarkan tamu tak diundang masuk ke dalam hidupnya lagi. "Cepat. Aku sibuk."
Pak Suryo melangkah masuk. Rumah itu masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang berbeda---seperti jiwanya sudah berubah menjadi tempat yang tak lagi ramah bagi dirinya.
"Kamu mau apa?" tanya Bu Tami, langsung menusuk inti.
"Saya..." Pak Suryo terdiam. Tangannya meremas sebuah amplop yang hampir remuk. "Aku ingin meminta maaf."
Bu Tami tertawa kecil, getir. "Baru sekarang? Setelah semuanya hancur? Setelah aku memilih pergi? Maaf itu tidak merubah apa-apa, Suryo."
"Saya tahu," jawabnya lirih. "Tapi aku tetap ingin kamu tahu... aku menyesal. Bukan hanya karena aku kehilangan kamu, tapi karena aku sadar aku juga kehilangan diriku sendiri."