Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

Kepala Sekolah SDN Kuryokalangan 02, Gabus Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bayang-Bayang Pilihan

22 November 2024   17:39 Diperbarui: 22 November 2024   17:58 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bu tami. pixabay,com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

"Pak, ada tamu," ujar Ratmi, asisten rumah tangga, pelan.

Dari balik pintu, Bu Tami berdiri. Wajahnya tak berubah: cantik, kokoh, tapi dingin seperti batu karang. Pak Suryo menelan ludah, menahan napas di tengah ketegangan yang menyesakkan dada.

"Boleh aku masuk?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.

Bu Tami memiringkan kepala sedikit, menatapnya seperti seseorang yang menimbang apakah akan membiarkan tamu tak diundang masuk ke dalam hidupnya lagi. "Cepat. Aku sibuk."

Pak Suryo melangkah masuk. Rumah itu masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang berbeda---seperti jiwanya sudah berubah menjadi tempat yang tak lagi ramah bagi dirinya.

"Kamu mau apa?" tanya Bu Tami, langsung menusuk inti.

"Saya..." Pak Suryo terdiam. Tangannya meremas sebuah amplop yang hampir remuk. "Aku ingin meminta maaf."

Bu Tami tertawa kecil, getir. "Baru sekarang? Setelah semuanya hancur? Setelah aku memilih pergi? Maaf itu tidak merubah apa-apa, Suryo."

"Saya tahu," jawabnya lirih. "Tapi aku tetap ingin kamu tahu... aku menyesal. Bukan hanya karena aku kehilangan kamu, tapi karena aku sadar aku juga kehilangan diriku sendiri."

Bu Tami terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Suryo yang membuatnya tak bisa sepenuhnya berpaling. "Lalu, apa yang kamu inginkan sekarang? Apakah ini tentang rumah itu? Tentang uang?"

Pak Suryo menggeleng. "Tidak, Tam. Aku sudah menjual rumah itu. Aku serahkan semuanya untukmu."

Bu Tami tertegun. "Apa maksudmu?"

"Aku ingin kamu punya hidup baru, tanpa aku jadi bayang-bayang burukmu lagi," jawab Suryo. "Rumah itu, hasilnya... semuanya untuk kamu. Itu cara terakhirku memperbaiki sesuatu yang telah kuhancurkan."

Ada hening yang panjang, nyaris menyakitkan. Mata Bu Tami perlahan berkaca-kaca. Ia mencoba menyembunyikan gemuruh di dadanya, tetapi tangannya gemetar saat menerima amplop yang disodorkan Suryo.

"Suryo," suaranya pelan, hampir berbisik, "kenapa sekarang? Kenapa bukan dulu, saat semuanya masih mungkin diperbaiki?"

Suryo menatapnya, bibirnya melengkungkan senyum getir. "Karena aku dulu terlalu sombong untuk mengakui bahwa aku salah. Dan aku terlalu bodoh untuk mengerti, kebahagiaan itu bukan tentang apa yang aku dapatkan, tapi tentang apa yang bisa kuberikan."

Air mata Bu Tami akhirnya jatuh, deras. Tapi ia tahu apa yang harus ia katakan.

"Suryo," katanya dengan suara yang gemetar, "aku menghargai usahamu. Tapi aku sudah menemukan jalanku sendiri. Aku memaafkanmu, tapi aku tidak bisa kembali."

Suryo tersenyum kecil, menunduk. "Aku nggak berharap lebih, Tami. Mendengar kamu memaafkan saja sudah cukup."

Ia berdiri, melangkah pergi dengan langkah yang ringan, meski hatinya terasa hancur.

Suryo menyusuri jalanan kota yang mulai gelap. Angin malam meniupkan dingin yang menembus tulang. Di tangannya, ada sebuah amplop lain---amplop terakhir yang ingin ia kirimkan kepada seseorang yang selama ini menjadi alasan kecil untuk ia bertahan.

Ia berhenti di depan sebuah toko bunga, membeli mawar putih. Lalu, ia melangkah menuju sebuah apartemen sederhana di pinggir kota.

Ketika pintu apartemen itu terbuka, seorang perempuan muda berdiri di sana. Wajahnya cerah, meski matanya menyimpan sedikit tanda tanya.

"Suryo?" tanyanya.

"Ini untukmu, Nita," katanya sambil menyerahkan amplop itu bersama bunga.

Nita mengerutkan kening, bingung. "Apa ini?"

"Baca saja nanti," ujar Suryo. "Terima kasih... karena kamu pernah membuatku merasa hidup, meskipun hanya sebentar."

Nita mencoba bertanya lebih jauh, tapi Suryo sudah berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan jejak langkah yang samar di atas trotoar basah.

Dua hari kemudian, berita itu tersebar luas.

"SEORANG PRIA MELONCAT DARI GEDUNG TINGGI DI PUSAT KOTA."

Nita membaca berita itu dengan tangan gemetar. Ia membuka amplop yang diberikan Suryo, menemukan sebuah surat dan beberapa foto.

*"Nita,
Aku tidak pantas untukmu, seperti aku tidak pantas untuk siapa pun. Tapi kamu mengajariku bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang harus kita ciptakan, meski sering kali rasanya terlambat. Ini bukan salahmu, ini hanya caraku menyelesaikan sesuatu yang tak pernah kutahu bagaimana memperbaikinya.

Terima kasih untuk senyummu. Itu adalah satu-satunya cahaya yang pernah kumiliki di akhir hidupku."*

Air mata Nita jatuh, menodai surat itu. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar mengerti betapa dalam luka yang disembunyikan Suryo di balik senyumnya yang lelah.

Di sisi lain kota, Bu Tami berdiri di depan jendela rumah barunya. Ia melihat matahari terbenam dengan warna yang begitu indah, tetapi entah mengapa, perasaan hampa menyelimuti dadanya.

Dan di antara langit yang berubah gelap, ia berbisik lirih, "Suryo, apakah akhirnya kamu menemukan kedamaianmu?"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun