Pak Sandi memberi tepuk tangan kecil. "Debat yang bagus. Tapi sekarang saya ingin memperlihatkan sesuatu."
Ia memutar video berita. Di layar, terlihat seorang CEO terkenal menangis dalam konferensi pers, meminta maaf setelah perusahaannya bangkrut akibat skandal korupsi. Di layar lain, seorang politisi tertangkap kamera mengabaikan seorang ibu yang memohon bantuan.
"Pendidikan kita telah melahirkan mereka," kata Pak Sandi dengan suara pelan. "Orang-orang yang sangat pintar, tapi lupa bagaimana menjadi manusia."
Malamnya, di ruang dosen, Pak Sandi dipanggil oleh ketua departemen.
"Kami menerima banyak keluhan dari mahasiswa, Pak Sandi. Anda terlalu idealis," ujar Bu Dian, kadep Filsafat.
"Pendidikan tidak hanya soal nilai akademik, Bu. Kalau kita mengabaikan hati, kita akan menghasilkan generasi tanpa empati," jawab Pak Sandi.
"Tapi ini universitas prestisius. Mahasiswa kita butuh teori dan keterampilan yang konkret, bukan eksperimen emosional," balas Bu Dian.
Pak Sandi tersenyum tipis. Ia tahu perjuangannya selesai. Malam itu, ia menulis surat pengunduran diri. Sebelum pergi, ia meninggalkan catatan kecil di papan tulis kelas:
"Jika hati kalian tetap tertutup, dunia ini akan terus dingin. Bukalah, meski hanya sedikit."
Esoknya, Zahra menemukan catatan itu. Ia membacanya dengan mata berkaca-kaca.
"Pak Sandi benar," gumamnya. Dalam hati, Zahra berjanji, "Suatu hari aku akan mengubah cara dunia ini mendidik."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H