Di akhir perkuliahan, Pak Sandi menuliskan tugas di papan tulis:
- Cari seseorang yang sedang menderita di sekitar kalian. Dengarkan mereka. Jangan beri saran, hanya dengarkan. Lalu tuliskan refleksimu di jurnal.
Beberapa mahasiswa protes.
"Pak, ini tugas nggak penting," gerutu Nina.
"Kami kuliah di universitas top, Pak. Waktu kami terlalu berharga untuk hal seperti ini," seru Yudi.
Pak Sandi tersenyum kecil. "Tepat sekali. Ini tugas yang paling sulit. Kalian mungkin pintar menjawab soal ujian, tapi apa gunanya jika hati kalian tumpul?"
Minggu berikutnya, hanya Zahra yang menyerahkan jurnalnya. Di dalamnya, ia menuliskan kisah tentang seorang pemulung tua yang sering ia temui di jalan menuju kampus. Zahra mendengarkan cerita hidup si pemulung yang penuh kepedihan, dan untuk pertama kalinya, ia merasa mengerti apa artinya peduli tanpa pamrih.
"Luar biasa, Zahra," kata Pak Sandi. Namun saat ia melihat mahasiswa lain, ia hanya bisa menghela napas.
"Kenapa kalian tidak menyelesaikan tugas ini?" tanyanya.
"Ini nggak relevan dengan karier kami, Pak," jawab Yudi sinis.
"Kami di sini untuk belajar teori dan keahlian profesional, bukan untuk drama," tambah Nina.
Pak Sandi terdiam. Ia tahu, pendidikan yang ia tempuh dulu pun membentuk pola pikir mereka. Ia memutuskan mencoba lagi dengan cara berbeda.
Di akhir semester, Pak Sandi mengadakan debat kelas. Temanya sederhana: Apakah hati masih penting dalam dunia yang kompetitif?
Sesi debat penuh dengan argumen tajam. Yudi dan Nina bersikeras bahwa kognisi dan logika adalah kunci utama kesuksesan. Zahra, yang kini menjadi pembela empati, mencoba melawan dengan cerita-cerita nyata yang menyentuh hati.
Namun, argumen logis tetap mendominasi. "Hati tidak mengisi perut!" pekik Yudi.