OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah universitas ternama, seorang dosen filsafat muda bernama Pak Sandi sedang menghadapi mahasiswanya. Hari itu, ia memutuskan memberikan kuliah yang berbeda dari biasanya.
"Teman-teman, jawab dengan jujur," ujar Pak Sandi. "Apa yang paling penting dalam hidup?"
"Kesuksesan!" jawab Yudi, mahasiswa paling cerdas di kelas.
"Pekerjaan bergaji tinggi," tambah Nina, mahasiswa yang bercita-cita menjadi CEO.
"IPK cum laude, Pak," kata Raka dengan yakin.
Pak Sandi mengangguk pelan. "Baik. Sekarang saya ingin kalian melakukan sesuatu. Di depan kelas ini ada tiga kotak. Isinya berbeda, tapi kalian hanya boleh memilih satu."
Di atas meja terdapat tiga kotak besar. Kotak pertama bertuliskan Prestasi, kotak kedua bertuliskan Kekayaan, dan kotak ketiga bertuliskan Empati.
"Pilihlah dengan hati-hati. Isinya akan menentukan pelajaran hari ini."
Satu per satu, mahasiswa maju. Sebagian besar memilih kotak Prestasi atau Kekayaan. Ketika kotak-kotak itu dibuka, isinya adalah setumpuk kertas berisi tugas berat, simbol kerja keras tanpa henti. Namun saat kotak Empati dibuka oleh Zahra, isinya hanya sebuah cermin kecil.
"Kenapa cermin, Pak?" tanya Zahra bingung.
"Karena empati dimulai dengan mengenali diri sendiri," jawab Pak Sandi. "Tapi kalian jarang memikirkan itu, kan?"
Di akhir perkuliahan, Pak Sandi menuliskan tugas di papan tulis:
- Cari seseorang yang sedang menderita di sekitar kalian. Dengarkan mereka. Jangan beri saran, hanya dengarkan. Lalu tuliskan refleksimu di jurnal.
Beberapa mahasiswa protes.
"Pak, ini tugas nggak penting," gerutu Nina.
"Kami kuliah di universitas top, Pak. Waktu kami terlalu berharga untuk hal seperti ini," seru Yudi.
Pak Sandi tersenyum kecil. "Tepat sekali. Ini tugas yang paling sulit. Kalian mungkin pintar menjawab soal ujian, tapi apa gunanya jika hati kalian tumpul?"
Minggu berikutnya, hanya Zahra yang menyerahkan jurnalnya. Di dalamnya, ia menuliskan kisah tentang seorang pemulung tua yang sering ia temui di jalan menuju kampus. Zahra mendengarkan cerita hidup si pemulung yang penuh kepedihan, dan untuk pertama kalinya, ia merasa mengerti apa artinya peduli tanpa pamrih.
"Luar biasa, Zahra," kata Pak Sandi. Namun saat ia melihat mahasiswa lain, ia hanya bisa menghela napas.
"Kenapa kalian tidak menyelesaikan tugas ini?" tanyanya.
"Ini nggak relevan dengan karier kami, Pak," jawab Yudi sinis.
"Kami di sini untuk belajar teori dan keahlian profesional, bukan untuk drama," tambah Nina.
Pak Sandi terdiam. Ia tahu, pendidikan yang ia tempuh dulu pun membentuk pola pikir mereka. Ia memutuskan mencoba lagi dengan cara berbeda.
Di akhir semester, Pak Sandi mengadakan debat kelas. Temanya sederhana: Apakah hati masih penting dalam dunia yang kompetitif?
Sesi debat penuh dengan argumen tajam. Yudi dan Nina bersikeras bahwa kognisi dan logika adalah kunci utama kesuksesan. Zahra, yang kini menjadi pembela empati, mencoba melawan dengan cerita-cerita nyata yang menyentuh hati.
Namun, argumen logis tetap mendominasi. "Hati tidak mengisi perut!" pekik Yudi.
Pak Sandi memberi tepuk tangan kecil. "Debat yang bagus. Tapi sekarang saya ingin memperlihatkan sesuatu."
Ia memutar video berita. Di layar, terlihat seorang CEO terkenal menangis dalam konferensi pers, meminta maaf setelah perusahaannya bangkrut akibat skandal korupsi. Di layar lain, seorang politisi tertangkap kamera mengabaikan seorang ibu yang memohon bantuan.
"Pendidikan kita telah melahirkan mereka," kata Pak Sandi dengan suara pelan. "Orang-orang yang sangat pintar, tapi lupa bagaimana menjadi manusia."
Malamnya, di ruang dosen, Pak Sandi dipanggil oleh ketua departemen.
"Kami menerima banyak keluhan dari mahasiswa, Pak Sandi. Anda terlalu idealis," ujar Bu Dian, kadep Filsafat.
"Pendidikan tidak hanya soal nilai akademik, Bu. Kalau kita mengabaikan hati, kita akan menghasilkan generasi tanpa empati," jawab Pak Sandi.
"Tapi ini universitas prestisius. Mahasiswa kita butuh teori dan keterampilan yang konkret, bukan eksperimen emosional," balas Bu Dian.
Pak Sandi tersenyum tipis. Ia tahu perjuangannya selesai. Malam itu, ia menulis surat pengunduran diri. Sebelum pergi, ia meninggalkan catatan kecil di papan tulis kelas:
"Jika hati kalian tetap tertutup, dunia ini akan terus dingin. Bukalah, meski hanya sedikit."
Esoknya, Zahra menemukan catatan itu. Ia membacanya dengan mata berkaca-kaca.
"Pak Sandi benar," gumamnya. Dalam hati, Zahra berjanji, "Suatu hari aku akan mengubah cara dunia ini mendidik."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H