Tujuannya  sama. Masih mencoba merayu cinta Tiguna. Namun berhasil dilumpuhkan.
Begitu selesai membuka hutan lanjutan. Tiga serangkai itu mengadakan ritual selamatan. Para sentana sanak saudara rakyat semua duduk melingkar.Â
Kebetulan pada malam itu bertepatan dengan bulan purnama dan munculnya helo bulan. ---mirip peristiwa alam, gerhana matahari total saat meninggalnya Panembahan Senopati. Maka peristiwa itu meninggalkan jejak desa ‘Kalangan’.
Selesai membuka hutan. Tiguna menikahi Mumpangati. Tembirang yang anak mantan orang salih lantaran mati mabuk di pangkuan pelacur sebagaimana Barshisah itu, menculik Mumpangati. Maka terjadi perang, sebagaimana cerita Menak Cina yang dipentaskan pada malam pernikahan itu.Â
Pendek kata Tembirang dkk tumpas. Meninggalkan jejak mitos ‘Kepundhung Pengkok’, ‘Kepundung Kaji’ dan ‘Kuburan Kampak’.
Tiguna melapor dan menyerahkan kembali pangkat Bekel Kusumatali dan Narpa Cundhaka-nya. Adipati Jayakusuma tidak keberatan demi pemberdayaan wilayah dan dakwah.Â
Tiguna direstui menjadi Ki Gedhe Kuryo dan Anggajaya menjadi Ki Gedhe Kalangan. Sementara Ki Mundri yang juga mertua Tiguna, menjadi sesepuh di Pasuruan juga penasihat mereka berdua.Â
Di tengah berjalannya kepemimpinan mereka sebagai Ki Gedhe tiba-tiba ada berita. Pati dikepung Mataram.Â
Sultan Agung Hanyakrakusuma dan Adipati Jayakusuma diadu domba Tumenggung Endranata. Terjadi friksi tajam, soal silsilah juga politik berbalut cemburu.Â
Tiguna dan Anggajaya bergabung dengan prajurit Pati. Membela Ibu Pertiwi.
Pecahlah perang Pati-Mataram II (1627M). Mataram menggunakan siasat perang ala kalajengking.Â