Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

Sebelum diangkat menjadi abdi negeri, pernah mengajar di SMA TARUNA NUSANTARA MEGELANG. Sekarang mengguru di SDN Kuryokalangan 01, Dinas Pendidikan Kabupaten Pati Jawa Tengah, UPTKecamatan Gabus. Sebagian tulisan telah dibukukan. Antara lain: OPINI GRASSROOT SOAL PENDIDIKAN GRES; Si Playboy Jayanegara dan Bre Wirabhumi yang Terpancung. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id. HP (maaf SMS doeloe): 081226057173.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sirna (Mata Silet Babad Tanah Jawi): Sejarah Desa Kuryokalangan

5 Agustus 2017   07:29 Diperbarui: 13 Agustus 2017   04:34 2319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Masjid Desa Kuryokalangan, Sumber: dokumen khoeri am)

Cetak biru si jabang bayi Tiguna searti filosofis nama ibunya, Nyi Trimah, dan bapaknya, Ki Guna Reksaka juga nama aslinya sendiri yang Triguna. Trimah berarti nrima, Guna Reksaka, bermanfaat dan menjaga, serta Triguna memiliki makna banyak manfaat. Dan, benar Tiguna dewasa memang berwatak nrima dan bermanfaat dalam multi-peran.

Terlahir di Pajang. Mula-mula berguru ke Sunan Kalijaga. Tapi ketika Ki Penjawi mengalahkan Arya Penangsang dan mendapat Bumi Pati, keluarga Ki Guna Reksaka yang kerabat Ki Penjawi itu diajak serta. 

Dan, saat di Pati Tiguna berguru ke Sunan Muria, anak Sunan Kalijaga. Sehingga genealogi ilmunya merupakan perpaduan antara keduanya, ilmu Sunan Kalijaga yang ulama seniman dan ilmu Sunan Muria yang seorang pendekar tasawuf  alam (lingkungan).

Tiguna bersahabat karib beradik-kakak seperguruan dengan Ki Mundri dari Pasuruan dan Anggajaya si mantan berandal ‘Bate Alit’ yang bertaubat ---sebagaimana masa lalu Sunan Kalijaga, yang kemudian dipercaya sebagai ketua siswa Pondok Rahtawu oleh Sunan Muria. 

Di antara mereka, Ki Mundri-lah yang tertua, kemudian Tiguna dan baru Anggajaya. Namun demikian hubungan ketiganya berkelindan bagai tiga serangkai tak terpisahkan.

Pada jaman Adipati Wasis Jayakusuma, Tiguna dianugerahi pangkat ‘Bekel Kusumatali’ (pimpinan prajurit berkuda) dan ambil bagian penting dalam perang Pati-Mataram I (1600M). 

Kemudian ketika kekuasaan Pati berestafet ke Adipati Jayakusuma Tiguna istiqomah melanjutkan pengabdiannya. Bahkan ditugaskan pula merangkap sebagai ajudan raja (Narpa Cundhaka).

Suatu hari kebetulan sehabis ronda di daerah pegunungan Prawata Kendeng Utara. Tiguna mampir ke rumah Ki Mundri. 

Sesampai di ladang pinggir desa tak disengaja dilihatnya ada seorang gadis yang sedang memetik rembayung sembari bersenandung Ilir-ilir, lagu khas pembuka pembelajaran di Muria. Rupanya gadis itu Mumpangati anak Ki Mundri.

Singkat cerita, Tiguna jatuh cinta. Mumpangati pun sebenarnya berbalas cinta. Tapi dasar Mumpangati gadis hijau. Justru ia sampaikan 7 syarat yang diucapkan Ki Mundri saat menolak halus  pinangan Tembirang bocah urakan itu.

Pertama, tawajuh ibadah. Kedua, cinta anak istri tidak berubah. Ketiga, guyub rukun sanak wedrah (saudara). Keempat,  bekerja tidak ogah. Kelima, memiliki rumah megah. Keenam, mempunyai ladang sawah. Dan, ketujuh, berternak melimpah-ruah.

Meski 7 syarat itu bukan untuk Tiguna tapi justru menginspirasi dan melecut daya juangnya. Diimaninya rezeki adalah takdir yang bisa diubah dengan usaha, doa dan tawakkal.

Pun tak diduga. Pasca pandangan pertamanya dengan Mumpangati. Tiguna oleh Adipati Jayakusuma dianugerahi ‘bumi lungguh’ (tanah kekuasaan terbatas). 

Kata Adipati Jayakusuma, ‘bumi lungguh’ itu merupakan wasiat Ki Penjawi. Sebagai hadiah anumerta atas jasa ayah Tiguna, Ki Guna Reksaka, prajurit pelatih kuda (Abdi Panegar).

Lantaran atas ide orisinal Ki Guna Reksaka bahwa kuda Arya Penangsang harus dihadapkan kuda betina yang dicukur gundul ekornya. Sehingga merangsang dan tak terkendali, ---yang notabene menjadi kunci kemenangan Pajang atas Jipang kala itu.

Adapaun ‘bumi lungguh’ itu merupakan hutan aneh Bokong Semar. Karena bentuk penampangnya yang mirip pantat Semar dan terkenal angker. Letaknya di selatan Bengawan Silugangga, diapit sungai Guder dan Jetis.

Mula-mula sempat terlintas prasangka, ia sedang dibuang bahkan dituju matinya. Tapi suudzon itu segera dienyahkannya karena selama ini ia tidak bersalah. Balik justru dipandangnya sebagai modal meminang Mumpangati. Bilapun Ki Mundri mau membantu membukanya. Dan, ternyata Ki Mundri menyanggupinya, dengan catatan mendapat restu Sunan Muria.

Alkisah. Ketika dalam perjalanan penghadapan ke Muria.  Tiguna melihat kakek-kakek ‘misterius’ yang terjepit batu di dalam jurang. Dengan perjuangan yang sangat keras si kakek-kakek berhasil ditolongnya. Dan, balik tanpa bisa ditolaknya ia diberi oleh kakek-kakek itu sebuah tombak yang katanya bernama Lokuwato ---perubahan fonologis kalimat ‘holqolah’ (tidak ada kekuatan selain dari Gusti Allah). Belakangan tombak itu dikenal sebagai tombak Tiguna.

Begitu menyerahkan tombak sekejap kemudian kakek-kakek itu menghilang bak tidak terikat ruang dan waktu. Sebagaimana pertemuan Khidir dengan Musa. Atau Khidir dengan Syeh Malaya yang mirip perjumpaan Bima-Dewaruci itu. 

Sunan Muria memberi restu. Bahkan merelakan ketua pondok rahtawu, Anggajaya alias Singojoyo (pergeseran kata si Anggajaya – si Nggajaya – Singojoyo) itu untuk membantunya.

Maka dapat dikatakan lengkaplah daya dukungnya. Umara (Adipati Jayakusuma), ulama’ (Sunan Muria). Pun dilaksanakan oleh seorang militer (Bekel Tiguna), dibantu ahli tirakat (Ki Mundri) dan mantan berandal (Anggajaya).

Benar, daya angker alas bokong semar bukanlah isapan jempol belaka. Di bantaran sungai Jetis Tiguna dkk diganggu oleh jin kafir, yang tersimbolisasi sebagai sesosok perempuan Borehwangi. 

Dengan gaya sok cantiknya merayu Tiguna dkk. Juga menebar bibit penyakit. Sontak banyak anak buah Tiguna yang tewas. Maka terjadi pertempuran hebat. 

Tombak Lokuwato beradu sakti vs selendang wasiat. Meninggalkan jejak mitos ‘Thengel’, ‘Ubel’ dan ‘Nglebur’.

Di sepertiga pembukaan hutan. Melalui mimpinya Tiguna ditemui sesosok pria tinggi besar berpakaian serba wulung yang diyakininya sebagai Sunan Kalijaga. 

Dilihatnya beliau (Sunan Kalijaga) sedang berkenan meninjau area yang telah dibukanya sembari berucap berulang, “Qoryah thoyyibah” (desa yang baik). 

Maka Tiguna menyimpulkan bahwa Sunan Kalijaga sedang memberi petunjuk kepadanya untuk mencukupkan pembukaan hutan dan segera mendirikan desa. Dan, desa itu diberi nama ‘Kuryo’, ---deformasi kata ‘qoryah thoyyibah’ sebagaimana dilafdzkan oleh Sunan Kalijaga itu.

 Sementara wilayah selebihnya diberikan kepada Anggajaya,  ya adik seperguruannya yang dulu pernah terlibat dalam kasus hilangnya pusaka Cemethi Guntur Geni milik Sunan Kudus dan Kotang Gondhil-nya Sunan Kalijaga itu. 

Namun demikian pembukaan hutan selanjutnya tetap dilakukan oleh tiga serangkai secara bersama-sama.

Syahdan. Pada pembukaan hutan lanjutan, tepat di lengkung Bokong Semar, Tiguna dkk mengalami gangguan lagi. 

Kali ini sosok jin yang disimbolisasi sebagai pria yang mengaku bernama Kendhitmimang bersama macan kumbang dan kera ‘Baskara’ peliharaanya dengan strategi sok saktinya menyerang membabi buta. 

Lagi-lagi tombak Lokuwato berperan. Dan, Kendhitmimang beserta piaraannya menyerah.

Tapi Borehwangi kambuh. Nimbrung memancing di air keruh. Berusaha menyurupi Anggajaya sebagai media untuk menyampaikan maksudnya tetapi terpental. Sehingga ganti menyurupi Saireng, pembantu setia Tiguna. 

Tujuannya  sama. Masih mencoba merayu cinta Tiguna. Namun berhasil dilumpuhkan.

Begitu selesai membuka hutan lanjutan. Tiga serangkai itu mengadakan ritual selamatan. Para sentana sanak saudara rakyat semua duduk melingkar. 

Kebetulan pada malam itu bertepatan dengan bulan purnama dan munculnya helo bulan. ---mirip peristiwa alam, gerhana matahari total saat meninggalnya Panembahan Senopati. Maka peristiwa itu meninggalkan jejak desa ‘Kalangan’.

Selesai membuka hutan. Tiguna menikahi Mumpangati. Tembirang yang anak mantan orang salih lantaran mati mabuk di pangkuan pelacur sebagaimana Barshisah itu, menculik Mumpangati. Maka terjadi perang, sebagaimana cerita Menak Cina yang dipentaskan pada malam pernikahan itu. 

Pendek kata Tembirang dkk tumpas. Meninggalkan jejak mitos ‘Kepundhung Pengkok’, ‘Kepundung Kaji’ dan ‘Kuburan Kampak’.

Tiguna melapor dan menyerahkan kembali pangkat Bekel Kusumatali dan Narpa Cundhaka-nya. Adipati Jayakusuma tidak keberatan demi pemberdayaan wilayah dan dakwah. 

Tiguna direstui menjadi Ki Gedhe Kuryo dan Anggajaya menjadi Ki Gedhe Kalangan. Sementara Ki Mundri yang juga mertua Tiguna, menjadi sesepuh di Pasuruan juga penasihat mereka berdua. 

Di tengah berjalannya kepemimpinan mereka sebagai Ki Gedhe tiba-tiba ada berita. Pati dikepung Mataram. 

Sultan Agung Hanyakrakusuma dan Adipati Jayakusuma diadu domba Tumenggung Endranata. Terjadi friksi tajam, soal silsilah juga politik berbalut cemburu. 

Tiguna dan Anggajaya bergabung dengan prajurit Pati. Membela Ibu Pertiwi.

Pecahlah perang Pati-Mataram II (1627M). Mataram menggunakan siasat perang ala kalajengking. 

Supitnya berada di Mataraman Margerejo dan Pakuwon Juwana. Sementara sengatnya ada di Cengkalsewu Sukalila yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma. 

Maka Adipati Jayakusuma dengan gagahnya menjemputnya ke Cengkalsewu.

Nasib! Adipati Jayakusuma yang sedang ‘rolasan’ (istirahat) dibokong, ditombak oleh Nayadarma, abdi Sultan Agung Hanyakrakusuma ---suatu pelanggaran berat atas hukum perang. 

Maka Tiguna dan Anggajaya berjibaku menyelamatkan beliau yang sedang terluka parah melalui jalur tikus. Diantaranya perjalanan darurat itu meninggalkan jejak ‘Desa Bogorame.

Adipati Jayakusuma yang disandikan sebagai Penggedhe Pati agar tidak ketahuan musuh itu dirawat sementara di desa Kuryo. 

Tak disangka. Ketika Mumpangati mengetahui luka Adipati Jayakusuma yang demikian parahnya. Ia terkejut hingga tewas. Begitupun, entah kenapa, bagaikan Tiguna sedang menyempurnakan 7 syarat Ki Mundri yang cinta anak istri tidak berubah saja, ia mendadak tewas pula. 

Sehingga meninggalkan jejak ‘Punden Mbah Sirna’, ---‘Sirna’, suatu gelar spontan dari ummat yang dalam khasanah makrifat merupakan derajad tertinggi. Karena dengan derajad sirna (fana) seseorang ‘bertemu’ Tuhan sebagai puncak nikmat segala nikmat.

Selanjutnya Adipati Jayakusuma dibawa ke keraton Pati dan dirawat tabib spesialnya  namun gagal dan gugur.

Prajurit Mataram menjarah Pati. Merampas harta benda juga wanita. Termasuk di dalamnya Raden Ayu Retnasari. 

Dan, istri mendiang Adipati Jayakusuma itu berkesempatan membeberkan detail adu domba Tumenggung Endranata. Maka Sultan Agung Hanyakrakusuma menyesal. Dipidana matilah Tumenggung Endranata. 

Sementara Anggajaya di Pati dan Tumenggung Alap Alap si panglima perang Mataram yang menjadi saksi dari peristiwa-peristiwa mencengangkan itu pun masing-masing mengambil hikmah ‘emas’ darinya.

Sekembali mengurus Adipati Jayakusuma, Anggajaya mendadak  mengumpulkan sanak saudara serta rakyatnya. Memberinya petuah secukupnya. Lalu berpamitan untuk i’tikaf di masjid (sigit) di kompleks Ngasem. 

Tapi sudah sementara waktu tidak juga pulang-pulang. Maka rakyatnya menyusul. Dan, ketika ditengok di ‘Sigit’ternyata beliau sudah tidak ada. Menghilang seperti sirna. Kemanakah perginya? Wallohua’lam.

Dan, Novel SIRNA (Mata Silet Babad Tanah Jawi) yang membeberkan detail kisah-kisah itu bersegera terbit. Novel ini tidak hanya memuat sejarah desa Kuryokalangan tapi juga mengusung nilai-nilai lokal yang bermanfaat universal. Karenanya, bagi Anda yang peduli pada khasanah sastra nusantara, sastra Indonesia, khususnya sastra Jawa, wabil khusus wong Mataram, wong Pati, wong Pasuruan, wong Kayen, wong Bogorame, wong Bogotanjung, wong Gabus, wong Kuryokalangan atau orang-orang yang berperhatian bahkan yang berrezeki lantaran berkaitan dengan desa Kuryokalangan sebagai bentuk hormat pada sesepuh atau leluhur atau ejawantah rasa syukur atau apalah silakan baca novel ini.

Terimakasih... Salam. #  

*) Staf Pengajar di SDN Kuryokalangan 01 Gabus Pati Jateng, HP 081 226 057 173.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun