Dengan gaya sok cantiknya merayu Tiguna dkk. Juga menebar bibit penyakit. Sontak banyak anak buah Tiguna yang tewas. Maka terjadi pertempuran hebat.
Tombak Lokuwato beradu sakti vs selendang wasiat. Meninggalkan jejak mitos ‘Thengel’, ‘Ubel’ dan ‘Nglebur’.
Di sepertiga pembukaan hutan. Melalui mimpinya Tiguna ditemui sesosok pria tinggi besar berpakaian serba wulung yang diyakininya sebagai Sunan Kalijaga.
Dilihatnya beliau (Sunan Kalijaga) sedang berkenan meninjau area yang telah dibukanya sembari berucap berulang, “Qoryah thoyyibah” (desa yang baik).
Maka Tiguna menyimpulkan bahwa Sunan Kalijaga sedang memberi petunjuk kepadanya untuk mencukupkan pembukaan hutan dan segera mendirikan desa. Dan, desa itu diberi nama ‘Kuryo’, ---deformasi kata ‘qoryah thoyyibah’ sebagaimana dilafdzkan oleh Sunan Kalijaga itu.
Sementara wilayah selebihnya diberikan kepada Anggajaya, ya adik seperguruannya yang dulu pernah terlibat dalam kasus hilangnya pusaka Cemethi Guntur Geni milik Sunan Kudus dan Kotang Gondhil-nya Sunan Kalijaga itu.
Namun demikian pembukaan hutan selanjutnya tetap dilakukan oleh tiga serangkai secara bersama-sama.
Syahdan. Pada pembukaan hutan lanjutan, tepat di lengkung Bokong Semar, Tiguna dkk mengalami gangguan lagi.
Kali ini sosok jin yang disimbolisasi sebagai pria yang mengaku bernama Kendhitmimang bersama macan kumbang dan kera ‘Baskara’ peliharaanya dengan strategi sok saktinya menyerang membabi buta.
Lagi-lagi tombak Lokuwato berperan. Dan, Kendhitmimang beserta piaraannya menyerah.
Tapi Borehwangi kambuh. Nimbrung memancing di air keruh. Berusaha menyurupi Anggajaya sebagai media untuk menyampaikan maksudnya tetapi terpental. Sehingga ganti menyurupi Saireng, pembantu setia Tiguna.