Sistem birokrasi yang berlapis-lapis dan kurang efisien menciptakan peluang bagi pejabat publik untuk menyalahgunakan kewenangan. Keadaan ini diperburuk dengan kurangnya inovasi dalam pelayanan publik.
Solusi: Implementasi reformasi birokrasi melalui penerapan teknologi seperti e-government untuk menyederhanakan proses administrasi.
- Kurangnya Pengawasan dan Akuntabilitas
Pengawasan yang lemah, baik internal maupun eksternal, memungkinkan tindakan korupsi tidak terdeteksi.
Solusi: Memperkuat mekanisme pengawasan seperti audit berkala, inspeksi mendadak, dan pelibatan masyarakat dalam pengawasan publik.
- Hukum yang Tidak Tegas dan Tidak Adil
Penegakan hukum yang tidak konsisten melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Hukuman yang ringan atau pemberian remisi bagi koruptor sering menurunkan efek jera.
Solusi: Meningkatkan independensi lembaga penegak hukum dan menerapkan hukuman berat, termasuk penyitaan aset hasil korupsi.
2. Faktor Budaya dan Sosial
- Budaya "Asal Bapak Senang" (ABS)
Kebiasaan menyenangkan atasan dengan cara-cara manipulatif menciptakan lingkungan kerja yang tidak transparan dan rentan terhadap korupsi.
- Praktik Nepotisme dan Patronase
Sistem kerja yang berbasis loyalitas pribadi alih-alih kompetensi memperburuk tata kelola pemerintahan.
Solusi: Mengutamakan meritokrasi dalam rekrutmen dan promosi jabatan, serta memastikan transparansi dalam penempatan pegawai.
- Toleransi terhadap "Korupsi Kecil"
Praktik suap kecil seperti uang "pelicin" sering dianggap lumrah. Hal ini menciptakan budaya permisif terhadap korupsi.