Mohon tunggu...
Fiksiana

Bugenvil 9

8 November 2015   19:28 Diperbarui: 10 November 2015   07:56 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nyonya Ayoedya Kartika Restiwaksita Ekapaksi

Kepada Putrinya, Nona  Alendanuarga

            Tak sepatah katapun terlontar dari bibir manisnya, ia benar-benar shock ketika mengetahui wanita yang dibahas ayahnya ternyata adalah ibunya sendiri. Air matanya jatuh semakin deras, nafasnya semakin sesak. Seketika putuslah semua harapan Alen untuk sembuh, hilanglah semua semangatnya, pupus sudah hidupnya, bak pohon ditebang tak kuasa menahan tumbangnya badan. Sungguh gadis malang.

            Bocah empat belas tahun itu memeluk bonekanya, ia terjatuh ke lantai, tangannya basah, disampingnya ada dua surat yang tercecer. Pandangan Alen kosong lagi, namun tangisannya terus berlanjut. Sesenggukan terdengar nyaring, gerakan tubuhnya menunjukkan  ketakutan. Perlahan ibu jari tangan di kanannya masuk ke dalam mulut. Matanya tertutup, tubuhnya meringkuk  ketakutan sekaligus kedinginan. Alen kini sepenuhnya tak sadarkan diri,  garis wajah di dahinya menunjukkan ketakutan yang  dideritanya semakin parah. Bugenvil 9 kini sepi, terdengar suara hujan yang terus mengguyur, musik klasik terus berputar dan terus berganti dari lagu satu ke lagu selanjutnya. Kini Mozart terasa hadir memainkan piano,  lagu Mozart satu ini justru membuat Alen terpuruk.

            Tiga perawat datang memasuki Bugenvil 9, mereka berlari ke arah Alen lalu mengangkatnya ke ranjang tidurnya. Selimut telah membalut tubuhnya, Dokter Alice segera menangani Alen. Posisi badannya menghadap jendela basah itu.

“Naas, keadaannya lebih parah dari sebelumnya. Koma yang ia jalani akan lebih lama dari sebelumnya. Ia perlu dirujuk ke rumah sakit jiwa,  psikiater sudah tidak mampu, bahkan ini sudah bukan wewenang kita untuk menanganinya. Buatlah surat rujukan mendadak untuk besok, cepatlah tangani masalah ini karena permasalahan ini menyangkut nyawanya.” tutur Alice.

Hari semakin senja, sedangkan hujan belum juga reda. Keadaan masih sama, Alen masih tak sadarkan diri. Memang, ia koma kini. Sedangkan tak satupun orang mampu menangani kehancuran hidupnya, bangunan mentalnya terkubur bak tersapu gempa, benar-benar musnah. Mungkin tiada jalan baginya untuk sembuh, bukan tidak ada melainkan dia sendiri yang tidak mampu menangani kehancuran hidupnya atau seseorang sudah mengabaikannya. Alen melupakan semua ingatannya, denyut nadinya semakin melemah, nafasnya terdengar tipis lalu menghilang, tangis hatinya mengalir tanpa suara. Sepertinya hidup adalah jurang kesengsaraan  baginya saat ini. Alen meninggalkan dunia, jiwanya berkelana entah kemana. Ia tidak sekedar koma kini, dia meninggal.

 Aku sepenuhnya menyadari, hidupku benar-benar tak berarti tanpa kedua orang tuaku. Seperti jalan hidupku diputus paksa oleh suratan takdir

Ayahku dimatikan dengan cara dieksekusi secara tragis, ibuku tenggelam dan sebelumnya ia menghadapi serangan mendadak. Kini aku tahu apa yang ayah inginkan, tidak berpura-pura demi diriku lagi

Kini aku tahu, ibu telah melepas luka dan cintanya saat berdrama ria. Aku memaafkan kalian, namun satu permohonanku untuk memaafkanku

Karena aku tak mampu bertahan dengan segala kelemahanku yang harus berdiri tanpa kedua orang tua dan jauh dari sanak keluarga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun