Mohon tunggu...
Fiksiana

Bugenvil 9

8 November 2015   19:28 Diperbarui: 10 November 2015   07:56 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Perlahan ia turun dari ranjang membawa boneka beruang warna cokelat berkantung, balutan kain putih menutupi indahnya rambut panjangnyaserta bagian atas dan ubun-ubunnya, layaknya mumi berpiyama. Langkah kaki membawanya ke jendela kaca ujung kamar. Jari manisnya menggoreskan sebuah makna di basahnya kaca, diusapkannya tetes air itu ke piyama tidur yang dipakainya. Ia melihat sesuatu di seberang sana lewat bening kaca yang diusapnya tadi. Ia mulai mengusap kaca dengan lima jari kanannya, sedangkan tangan kanannya memegang boneka beruang cokelat besar. Pandangannya difokuskan ke pemandangan luar yang dapat dilihatnya lewat kaca di depannya.

            Terlihatlah keramaian siswa siswi sebuah sekolah menengah pertama sedang berjalan  ditengah hujan dilindungi payung dan diapit kedua orang tua  mereka, ada pula yang dipeluk dengan penuh kehangatan. Semakin remuklah hati Alen melihat semua itu. Dalam hatinya memberontak, dalam hatinya terbesit luka batin yang begitu mendalam. Air matanya jatuh.

            “Seharusnya, hari ini aku bergembira, menerima surat kelulusan, berfoto diapit  kedua orang tua lalu dipayungi mereka dan merayakan kelulusan itu. Inikah suratan? Atau inikah takdirku? Penderitaan silih berganti, seakan tiada henti. Ayah, Ibu, kemanakah kalian? Aku benar-benar merindukan kalian, aku butuh kalian! Tidakkah kalian mendengarkan setidaknya satu permohonanku? Aku ingin seperti mereka, aku cemburu pada mereka yang tengah beramai-ramai berjalan di tengah hujan bersama kedua orang tua mereka hanya untuk merayakan kelulusan. Ayah, setidaknya hafirlah disini bersamaku. Ibu, setidaknya hadirlah disini untuk menemaniku.. ” tangisnya menyayat hati.

            Alen membalikkan badan, ia terduduk lemas meratapi tragisnya kematian kedua orang tuanya. Suara tangis terus terdengar, ia terpaku pada hijaunya daun yang terguyur hujan deras, bayangan masa lalu seakan hadir disana. Dipeluknya beruang cokelat hadiah ulang tahun ke dua belas dari ayahnya, terasa sangat berharga. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong beruang dan merasakan sesuatu yang ganjal dari sana. Terselip  dua buah surat yang terbungkus rapi dalam amplop berwarna cokelat, warna kesukaan Alen bertabur serbuk berkilauan diatasnya. Alen membukanya, tubuhnya meringkuk ketakutan, entah mengapa.

            “Dari ayah dan satu lagi dari ibu. Apa itu artinya mereka hadir meenemaniku? Atau untuk menghiburku?” senyumnya melebar di wajahnya, secercah harapan tersirat kembali. Beruang cokelat ditidurkan di atas pahanya, dibarengi senyuman mulai  ia membuka ujung amplop dengan  hati-hati.

            “Aku akan membuka punya ayah terlebih  dahulu. Karena aku sangat merindukan ayah,”

Untuk Klasika Ayoedya Ardhanareswari Alendanuarga Sweta Wimala,

Putri Ayah Tersayang

Bersediakah kau mendengarkan pesan Ayah? Alangkah baiknya  jangan kau sesali kematian ayah, nak. Sesungguhnya kematian ayah akan sangat berarti jika kau mau sedikit berpikir menyadarinya. Alen, kau masih punya kesempatan hidup lebih lama dari Tuhan, seharusnya kau bersyukur. Ingatlah, ayah selalu menemanimu tanpa kau minta, ayah akan selalu mengajarimu tenpa menunggu keluhanmu, ayah akan selalu membenahi selimutmu ketika ia berantakan, apapun yang kau minta ayah akan hadir disana meskipun bukan dengan raga ayah sendiri.

Alen, maukah Alen berjanji untuk ayah? Berjanjilah untuk menjadi putri yang baik dan beretika, mau ikhlas menjaga ibu semampu Alen berbuat. Ayah tidak akan memaksamu belajar, namun sepenuhnya kau akan menyadari pentingnya belajar itu sendiri, nak. Kau putri ayah satu-satunya yang ayah sayangi. Ayah ssangat bahagia terlahir sebagai ayahmu, bukankah kau sendiri merasa seperti itu, Alen? Maafkan ayah atas segala kesalahan ayah selama ini yang  terlalu sering  memarahimu, menekanmu untuk selalu belajar, jangan pulang malam, namun itu semua ayah lakukan karena ayah sangat menyayangimu. Ayah tidak ingin putri ayah satu-satunya yang ayah milki terjerat suatu masalah, karena itulah ayah sangat menjagamu. Ayah telah kehilangan seseorang yang sangat ayah cintai selain dirimu, dan ayah tidak ingin kau menghilang dan pergi seperti dirinya meskipun kini beliau  berada di sekitar hidup kita, mewarnai hidup kita, bahkan sangat dekat. Mungkin cukup sekian pesan ayah, harap kau simpan baik dan mengindahkan apa saja semua yang ayah amanatkan padamu, karena ayah tidak punya kuasa lagi untuk merawatmu. Namun ingatlah kalau ayah ada, nak. Ayah selalu bersedia menyayangimu tanpa kau minta, akan sangat berharga bila ayah diminta untuk menyayangimu.

Kapten Dirgantara Aji Kusuma Ardhayanu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun