Lagu klasik terus mengalun di Bugenvil 9. Beethoven terasa hadir disana memainkan piano, sepi tapi terisi. Diluar hujan masih turun dengan derasnya, namun tak sederas sepuluh menit yang lalu. Ruangan seluas dua puluh kali tiga puluh meter yang terletak di sebelah kanan ruang konsultasi itu dihuni empat anak perempuan yang mungkin sedang tertidur atau bahkan masih dalam keadaan koma. Entahlah, yang terlihat kini hanya keempat gadis di kamar tersebut sedang menutup mata dalam ketenangan.
Dokter Alice masuk dengan penuh wibawa bersama dua suster yang membawa semacam dokumen perkembangan pasien di lekukan tangan kanan mereka. Ketiganya berhenti di ranjang salah seorang gadis muda, kira-kira empat belas tahun usianya. Ironi, seketika wajah dokter muda itu tampak nestapa. Ia langsung melakukan pemeriksaan perkembangan mental gadis tersebut. Hasilnya masih nihil, sesuatu masih tampak seperi biasanya, mata tertutup, tubuh melekuk dan mengisap jari telunjuk yang mungil layaknya orang takut. Tiada siapa-siapa yang menemani gadis cantik itu disana, hanya boneka beruang warna cokelat muda dan boneka panda di sisi kanan kirinya. Mungkin hanya itulah teman yang masih setiamenemani dikala suasana mentalnya hancur, bahkan orang tuanya tampak tidak peduli dengan keadaannya.
“Sementara ini tiada perkembangan, matanya belum terbuka. Masih perlu penanganan post-anxiety depression tahap 5. Besok adakanpengecekan kembali, perlu berjaga-jaga jikalau terdapat kemunginan sedikit perkembangan mental, itu jelas akan menjadi kabar yang sangat menggembirakan. Kita tau sendiri, 5 bulan terakhir ini dia belum pernah menunjukkan peningkatan sama sekali.” Jelas dokter Alice sembari menghebuskan nafas berat, menatap Maurice dengan wajah sedih.
Ketiganya pergi melewati ruang konsultasi sementara pintu masih dibiarkan terbuka, padahal diluar dingin, hujan sedang turun dengan derasnya. Mungkin mereka lupa, atau memang sengaja? Entahlah. Gadis itu masih tertidur pulas, disela-sela hujan masih terdengar alunan musik klasik. Mungkin itu salah satu cara mereka memulihkan anak-anak, terapi musik klasik ala psikiater sudah tidak asing didengar. Tidak lama setelahnya, dokter Alice masuk kembali tanpa menggunakan seragam putihnya, terlihat lebih cantik dan manis. Perlahan dipegangnya lima jari gadis itu dengan kuat, diciumnya kening gadis muda itu.
“Cepatlah sembuh. Kau pasti bisa melawan kenyataan, aku yakin dalam hatimu juga berdoa agar tetap kuat menjalani keadaan ini. Semuanya pasti akan membaik. Jangan lupa, ada aku disini yang akan membantumu keluar dari rasa takutmu. ” Alice mengusap rambut gadis itu, lalu bergegas meninggalknnya karena hari beranjak senja.
Malam tiba, ruang rawat inap psikiater kota itu lumayan sepi, tiada yang menjaga. Semua seperti gudang, sarang manusia lemah tak berdaya, yang kerjanya hanya menutup mata atau mengedipknnya lalu tertidur lagi, menangis, terdiam di ruang konsultasi atau berusaha memahami diri lewat kaca didepannya. Terkadang mereka akan memecahkannya ketika mereka sudah lelah memandang wajah mereka yang tampak sendu tak berguna. Pemandangan yang begitu menyakitkan.
Selimut masih terbalut di tubuh Alen, lampion bersinar redup menerangi buku hariannya. Suasana begitu sepi, hanya terdapat para dokter dan suster yang giliran jaga bagian malam. Ringkuk tubuhnya masih terlihat jelas, jari telunjuknya masih terus diisap, matanya sayu namun cantik dihiasi bulu mata lentik dan bentukan alis yang tumbuh dengan indah diatas matanya, terlihat sempurna. Hujan sedikit reda, namun masih terdengan bunyi rintik-rintik di luar sana. Kini mala telah benar-benar sepi mengingat waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Hanya ada 5 satpam yang berkeliling mengecek keadaan lingkungan rumah sakit dan tiap ruangan diceknya pula.
Ia menghentikan langkahnya di ruangan Bugenvil nomor 9. Matanya melihat sekitar, sejenak terlintas dipikirannya untuk mengecek ke dalam ruangan itu. Tidak ada apa-apa, ia masuk dengan hati-hati, dipelankan pula suara langkah sepatunya karena khawatir akan membangunkan gadis-gadis itu. Dilihatnya sebuah boneka panda tergeletak dengan posisi tengkurap di lantai, lalu ia memungutnya dan menaruh boneka itu kembali di atas ranjang Alen, ia juga membenahi keadaan selimutnya yang sedikit berantakan. Satpam itu keluar tanpa melihat lagi ke belakang, sedikit tidak peduli. Ruangan itu kembali sunyi, sayup-sayup bunyi musik klasik masih terdengar selaras dan merdu meski tidak begitu keras. Kini malam terus berjalan menemui pagi, lumayan jauh jarak waktunnya, namun bagi Alen itu terasa sebentar. Hari-harinya hanya dipenuhi dengan pejaman-pejaman mata tak berarti, lebih tepatnya hanya membuang-buang waktu saja.
Pagi datang, ia telah meninggalkan malam sunyi. Terlalu pagi bagi para dokter untuk berangkat bekerja, mungkin mereka masih lengket di ranjang untuk sibukbermimpi atau bahkan sedang memanjakan diri dengan seperangkat alat tidur mereka, pukul lima lebih sembilan menit tiba-tiba gerimis datang, taklama kemudian disusul hujan deras mengguyur kota itu. Semakin dingin hawanya, namun tidak bagi para gadis penghuni Bugenvil nomor 9, mereka masih terlelap dibalut tebalnya selimut mimpi, tidak terlalu indah dirasakan. Semua keadaan masih sama, namun kemungkinan ada sedikit perkembangan pada Alen.
Pengadilan militer menyatakan hukuman mati kepada Kapten Dirgantara, ia dianggap telah membunuh sembilan belas calon prajurit akademi militer ketika sedang mengadakan kunjungan akhir tahun sebelum pelantikan prajurit satu. Ketiganya dianggap membangkang apa yang telah menjadi aturan mutlak akademi tersebut, ia menghukum diluar batas hingga kondisi tubuh mereka turun drastis sebelum akhirnya kritis dan dikabarkan meninggal. Keluarga Alen hanya merima dengan pasrah jika memang itu suratan takdir yang harus dijalani. Ayah Alen akan menjalani hukuman berupa eksekusi mati dua minggu yang akan datang. Alen beserta keluarganya hanya diijinkan untuk menjenguk seminggu sekali dan tambahan sekali sebelum hukuman itu berlangsung.
Alen masuk ke ruang besuk, ia menangis sekuat-kuatnya, dipeluknya ayah kesayangannya itu. Terngiang dipikirannya putusan pengadilan kemarin sore tentang ‘Hukuman Mati’. Semua yang berada di ruang besuk terbawa keadaan, kemudian terdengar tangisan, mengingat hari akhir menutup mata semakin dekat, itu artinya ia akan meninggalkan keluarga yang begitu berharga. Semuanya menangis. Mereka menikmati waktu-waktu meski hanya berada dalam satu ruang sempit, ruang besuk. Alen menghibur ayahnya sebagaimana ayahnya selalu menghibur dirinya ketika banyak tekanan yang dialami olehnya. Nada suara Alen semakin menyayat hati sang kapten. Apa yang dibicarakan malah membuat tangisan semakin terdengar keras, takurung nada hiburan itu berubah menjadi tangisan perpisahan. Siang itu adalah pertemuan terakhir dari tiga kesempatan yang diberikan pihak pengadilan.
Sepertinya semua telah berjalan sesuai takdir, jumlah waktu yang diberikan pengadilan tidak cukup untuk menggantikan rasa kehilangan seorang ayah. Tiada hari dengan uang jajan dari ayahnya, tiada nada marah saat Alen pulang malam tanpa memberitahu ayah atau ibunya dahulu. Bayangannya mengambang, sepenuhnya tidak menyadari apa yang akan dia lakukan jika tidak ada ayahnya. ‘Hidup terasa seperti kain’, itulah mungkin yang terukir dalam hatinya, bukan untuk saat ini saja, bahkan mungkin akan terus melekat sampai kapanpun. Ia menengok sebentar ke ibunya, nampak ibunya ditemani sahabat karib ayahnya sedang menulis sesuatu dengan perhatian sepenuhnya tertuju hanya pada kertas itu. Alen membalik badan, sedikit tidak peduli dengan apa yang dilakukan ibunya.
Usai pemakaman secara tertutup yang dilaksanakan oleh pihak militer dan keluarga almarhum di pemakaman dekat pengeksekusian, Alen terdiam di dekat makam membawa seuntai kalung putih dari ayahnya. Digalinya lubang kecil dekat batu nisan, memang kecil tapi cukup dalam. Ia masukkan kalung bersama dengan sepucuk surat warna coklat, lalu gadis itu mulai memanjatkan sebuah doa. Entah doa apa yang ia panjatkan, namun jelasnya air mata terus meleleh di pipinya. Menorehkan garis asa, lalu terputus oleh heningnya kenyataan.
“Aku tahu ayah kuat, ayah hebat. Ayah tahu? meskipun ayah tidak bisa menemaniku di wisuda nanti, Alen akan buktikan kepada mereka bahwa Ayah masih menemaniku untuk merayakan perpisahan nanti,
“Alen akan terus mengingat, melakukan dan menaati apa yang telah Ayah katakan. Maafkan Alen kalau selama Ayah hidup, aku tidak pernah membuat sedikit kebahagiaan untuk ayah, atau malah anakmu ini selalu menyusahkan ayah. Terima kasih untuk ayah, yang tidak pernah menyia-nyiakan Alen dan selalu melindungi diri ini. Terima kasih telah mendidikku sebaik yang kau bisa, mengajariku menyayangi manusia di dunia ini. Ayah akan selalu berarti bagiku. Selamat jalan Ayah,
“Tuhan, bawalah ayahku ke alam keabadian dengan penuh kebahagiaan, ampunilah segala kesalahan dan dosanya, aku tau aku belum dapat mengikhlaskan dirinya untuk pergi. Namun aku tau Kau akan menjaganya dengan sempurna dibanding penjagaanku selama ini. Tuhanku yang Mahakuasa, hamba-Mu ini mempercayakan ayahku pada-Mu, jagalah ayahku, aku mohon. Amin.” ucapnya dalam tangis doa.
Alen pulang, terasa berat baginya untuk pulang dari tanah itu, seakan hatinya ikut terkubur dalam bersama jasad ayahnya. Sesaat ia menatap ibunya, ia merasakan sesuatu yang tidak pernah ia lihat di wajah ibunya. Ia tidak mengenali ekspresi wajah itu, asing namun sangat mengganggu suasana hatinya saat ini. Tidak terlukis perasaan sedih ataupun kehilangan layaknya seorang istri yang kehilangan suami, Alen mulai gusar. Ia berjalan masuk mobil, tatapannya masih terpusat kepada ibunya. Namun ketika mobil perlahan berjalan, ia mengalihkan perhatian untuk menatap kedepan, lalu lalang kendaraan di jembatan pembatas laut. Dinikmatinya pemandangan sekeliling meskipun belum dapat menghilangkan suasana nestapanya. Ia melihat anak kecil yang sedang bermain di tepi jembatan, anak kecil itu melambaikan tangan penuh misteri. Wajah lelaki kecil yang terlihat tak berdosa di pinggir jembatan semakin membuatnya takut, lalu Alen membalikkan badan. Ia melihat ibunya, kini senyum ibunya semakin lebar terlihat.
“Ibu, tadi aku melihat lelaki kecil melambaikan tangan. Wajahnya sangat cerah, namun menyeramkan.”
“Jangan hiraukan dia, mungkin anak itu iseng melambaikan tangan kepada semua pengguna jembatan ini. Kau hanya berimajinasi saja mungkin, karena ibu tahu, perasaanmu sedang tidak menentu sekarang ” ibunya terlihat tidak peduli dengan hal itu.
Sesaat setelah perbincangan berakhir, ibunya menampakkan raut wajah bosan. Sejenak ia meraba sesuatu di depan setir, ia mengambil hard disk kemudian ia memutar musik klasik berhaluan gembira. Senandung kecil melodi musik itu ditirukan oleh ibunya. Alen semakin tidak mengerti dengan keadaan ini, wajahnya pun menampakkan kemarahan yang belum pernah ia tujukan pada ibunya. Tanpa bicara, Alen seketika mematikan musiknya dengan maksud agar ibunya peka terhadap apa yang sedang dia rasakan saat itu. Alen secepat mungkin menatap ke depan, ibunya menatap dirinya dengan singkat waktu. Tangan ibunya meraba tombol lalu menghidupkannya kembali. Alen kini benar-benar marah terhadap apa yang dilakukan ibunya. Ditenangkannya dirinya itu, ia menaruh alasan ‘pasti ibu juga bersedih, namun ia seorang ibu yang sepatutnya malu menunjukkan kesedihannya karena ia dituntut untuk kuat. Aku yakin ia juga menyimpan rasa kehilangan yang lebih dalam dari pada aku,’ tebaknya.
“Alen. Tidakkah kau merasa sedikit lega? ”
“Apa maksud ibu dengan kata lega?”
“Tidak apa-apa, kau tidak perlu mengkhawati..”
“Sepertinya mustahil tidak ada apapun kecuali ada sesuatau yang terjadi dan aku tidak mengetahuinya. Apa ibu mengetahui sesuatu?” potongnya.
Ibunya terkejut atas pernyataan sekaligus pertanyaan yang dilontarkan oleh putrinya. Dengan cepat ia menghindar dari topik permasalahan, takut jikalau ada ‘terpelesetnya lidah’. Alen tidak tinggal diam, ia mencabut kabel hard disk dan menatap ibunya tajam. Ibunya sedikit kehilangan konsentrasi mengemudi, Alen memaksa ibunya untuk jujur apapun keadaannya. Bagaimanapun juga rahasia itu adalah kesepakatan orang tua Alen yang tidak akan pernah sedikitpun ada pembocoran, sampai kapanpun. Sehingga ibunya harus berpikir keras untuk menghindari pergolakan anaknya itu. Ia semakin kehilangan kendali, sedangkan Alen terus melakukan pemaksaan-tekanan batin-dengan cara mengintimidasi ibunya jikalau tidak memberitahukan rahasia iytu, Alen akan meloncat dari pintu mobil. Wajah ibunya mulai terlihat panik, sedangkan mobil masih melaju dengan kecepatan 120 kilometer per jam.
Kini Alen merasakan laju mobil yang sangat tinggi, ia pun mulai panik juga. Perhatiannya untuk rahasia kini sepenuhnya beralih kepada perasaan takut yang sangat tinggi karena ternyata laju mobil tidak bisa dikendalikan karena ibunya terkena serangan jantung mendadak. Tangan ibunya melepas setir dan beralih mengais erat dadanya. Alen yang belum bisa mengendalikan mobil sangat penik bagaimana cara menghentikan mobil dalam situasi bahaya ini. Ibunya tergeletak dengan tubuh lemas, Alen gugup. Tanpa pikir panjang ia langsung meloncat untuk mengendalikan setir. Keringatnya menetes bergantian, keadaan memburuk, ia memencet semua pedal dengan keras. Namun sayangnya laju mobil semakin cepat, dilihatnya laju mobil mencapai 150 kilometer per jam, ia salah menginjak pedal. Pikirannya sudah terpecah belah, ia akhirnya memutuskan untuk membuka pintu mobil disampingnya, alhasil pintu pun terbuka. Ia melihat ibunya yang terkapar lemah, ketika ia memfokuskan matanya kedepan, Alen terbelalak kaget. Ternyata terjadi kecelakaan beruntun di ujung jembatan. Ia menangis sekuat-kuatnya dan memohon maaf kepada seorang ibu yang sedang tergeletak tak bernyawa untuk memaafkan kesalahannya di masa lalu. Ia juga memohon maaf agar ibunya bersedia memaafkan dirinya atas tindakan gila yang akan ia lakukan sebentar lagi.
Alen sudah tidak tahu apa yang hendak ia lakukan dengan mobil itu, pintu mobil yang terbuka membuatnya ingin nekat loncat dari mobil. Lokasi kecelakaan itu semakin dekat, ia benar-benar sudah tidak bisa menguasai diri. Ia membanting setir ke kiri, mobil berputar cepat, pembatas jembatan tidak mampu menahan putaran mobil hingga patahlah pembatasnya. Mobil yang dikendarainya terlempar dahsyat ke pantai. Alen terlempar jauh ke pinggir pantai dengan keras hingga kepala dan tangannya terantuk batu karang di tengah pasir yang berkilau terkena sinar matahari. Sedangkan mobilnya menabrak batu karang setinggi 6 meter dan terlempar jauh ke tengah, sepuluh meter ke tengah laut. Seketika air laut memerah, di kemerahan itu nampak seorang wanita sedang terapung di dalam mobil bagian jok depan.
Alen tersadar, ia bergerak seadanya. Dia menahan rasa sakit yang hebat diderita tangan kanannya. Dari kejauhan dilihatnya benda kecil yang mengapung bersama helaian rambut yang basah tergerai melepas tekanan hidup, terbawa ombak lautan nan biru cerah. Selendang hitam mengapung bebas seakan mencari si pemiliknya, namun pemiliknya telah membawanya ke alam baka. Alen menangis, namun wajahnya semakin memucat, pendarahan yang terjadi di kepalanya membuat dirinya tak mampu berbuat apapun, ia merinyih kesakitan. Tak lama kemudian, dengan gerakan tubuh mulai menunjukkan ketakutan pun nampak. Suasana pantai sedang gerimis, hawa disekitar menjadi sangat dingin ditambah angin laut yang bertiupan bak badai hendak menghantam. Alen meringkuk, sepertinya kedinginan dan ketakutannya becampur, ibu jari mungil nan memanjang dengan indah itu masuk ke dalam mulutnya.
“Ayah, ibu. Maafkan aku yang telah menghancurkan perasaanmu. Ma..ma..af, tak seharusnya aku memaksamu, Bu. Ayah, maafkan diriku yang telah melukai namamu disana. Tuhan, tetaplah ampuni ayah dan ibuku karena ini semua salahku. Aku tidak mengindahkan apa yang keduanya katakan, aku terlalu terbawa emosi. Ayah, maafkan Alen, maafka bila Alen harus terpisah dari kalian berdua. Alen selalu berdoa untuk kalian, Alen sangat merasa bersalah kepada kalian, mafkan Alen.” Kata terakhir itu terucap dengan kondisi yang mengenaskan, kini Alen telah benar-benar tak sadarkan diri.
Matahari sepertinya tidak bersinar pagi ini, mendung gelap disiassi gerimis yang perlahan dengan kelembutan pun turun. Tak lama kemudian hujan deras menyusul, suasana kembali dingin meski tak sedingin suasana pantai. Secercah sinar matahari yang tidak begitu terang menembus kaca jendela ujung kamar, menerpa wajah sayu sang gadis yatim piatu dengan bulu mata lentik dan alis tertata indah diatas matanya. Kilauan sinar wajahnya menampakkan raut kesedihan yang tersurat, bersembunyi dibalik ketenangan jiwa. Meski tubuhnya tidak lagi meringkuk dan ibu jari telah terjajar rapi memanjang di atas ranjang bersama kawanannya.
Alen tersadar dari koma, ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tidak sakit lagi.
“Seberapa lama aku tertidur?” pikirnya
Perlahan ia turun dari ranjang membawa boneka beruang warna cokelat berkantung, balutan kain putih menutupi indahnya rambut panjangnyaserta bagian atas dan ubun-ubunnya, layaknya mumi berpiyama. Langkah kaki membawanya ke jendela kaca ujung kamar. Jari manisnya menggoreskan sebuah makna di basahnya kaca, diusapkannya tetes air itu ke piyama tidur yang dipakainya. Ia melihat sesuatu di seberang sana lewat bening kaca yang diusapnya tadi. Ia mulai mengusap kaca dengan lima jari kanannya, sedangkan tangan kanannya memegang boneka beruang cokelat besar. Pandangannya difokuskan ke pemandangan luar yang dapat dilihatnya lewat kaca di depannya.
Terlihatlah keramaian siswa siswi sebuah sekolah menengah pertama sedang berjalan ditengah hujan dilindungi payung dan diapit kedua orang tua mereka, ada pula yang dipeluk dengan penuh kehangatan. Semakin remuklah hati Alen melihat semua itu. Dalam hatinya memberontak, dalam hatinya terbesit luka batin yang begitu mendalam. Air matanya jatuh.
“Seharusnya, hari ini aku bergembira, menerima surat kelulusan, berfoto diapit kedua orang tua lalu dipayungi mereka dan merayakan kelulusan itu. Inikah suratan? Atau inikah takdirku? Penderitaan silih berganti, seakan tiada henti. Ayah, Ibu, kemanakah kalian? Aku benar-benar merindukan kalian, aku butuh kalian! Tidakkah kalian mendengarkan setidaknya satu permohonanku? Aku ingin seperti mereka, aku cemburu pada mereka yang tengah beramai-ramai berjalan di tengah hujan bersama kedua orang tua mereka hanya untuk merayakan kelulusan. Ayah, setidaknya hafirlah disini bersamaku. Ibu, setidaknya hadirlah disini untuk menemaniku.. ” tangisnya menyayat hati.
Alen membalikkan badan, ia terduduk lemas meratapi tragisnya kematian kedua orang tuanya. Suara tangis terus terdengar, ia terpaku pada hijaunya daun yang terguyur hujan deras, bayangan masa lalu seakan hadir disana. Dipeluknya beruang cokelat hadiah ulang tahun ke dua belas dari ayahnya, terasa sangat berharga. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong beruang dan merasakan sesuatu yang ganjal dari sana. Terselip dua buah surat yang terbungkus rapi dalam amplop berwarna cokelat, warna kesukaan Alen bertabur serbuk berkilauan diatasnya. Alen membukanya, tubuhnya meringkuk ketakutan, entah mengapa.
“Dari ayah dan satu lagi dari ibu. Apa itu artinya mereka hadir meenemaniku? Atau untuk menghiburku?” senyumnya melebar di wajahnya, secercah harapan tersirat kembali. Beruang cokelat ditidurkan di atas pahanya, dibarengi senyuman mulai ia membuka ujung amplop dengan hati-hati.
“Aku akan membuka punya ayah terlebih dahulu. Karena aku sangat merindukan ayah,”
Untuk Klasika Ayoedya Ardhanareswari Alendanuarga Sweta Wimala,
Putri Ayah Tersayang
Bersediakah kau mendengarkan pesan Ayah? Alangkah baiknya jangan kau sesali kematian ayah, nak. Sesungguhnya kematian ayah akan sangat berarti jika kau mau sedikit berpikir menyadarinya. Alen, kau masih punya kesempatan hidup lebih lama dari Tuhan, seharusnya kau bersyukur. Ingatlah, ayah selalu menemanimu tanpa kau minta, ayah akan selalu mengajarimu tenpa menunggu keluhanmu, ayah akan selalu membenahi selimutmu ketika ia berantakan, apapun yang kau minta ayah akan hadir disana meskipun bukan dengan raga ayah sendiri.
Alen, maukah Alen berjanji untuk ayah? Berjanjilah untuk menjadi putri yang baik dan beretika, mau ikhlas menjaga ibu semampu Alen berbuat. Ayah tidak akan memaksamu belajar, namun sepenuhnya kau akan menyadari pentingnya belajar itu sendiri, nak. Kau putri ayah satu-satunya yang ayah sayangi. Ayah ssangat bahagia terlahir sebagai ayahmu, bukankah kau sendiri merasa seperti itu, Alen? Maafkan ayah atas segala kesalahan ayah selama ini yang terlalu sering memarahimu, menekanmu untuk selalu belajar, jangan pulang malam, namun itu semua ayah lakukan karena ayah sangat menyayangimu. Ayah tidak ingin putri ayah satu-satunya yang ayah milki terjerat suatu masalah, karena itulah ayah sangat menjagamu. Ayah telah kehilangan seseorang yang sangat ayah cintai selain dirimu, dan ayah tidak ingin kau menghilang dan pergi seperti dirinya meskipun kini beliau berada di sekitar hidup kita, mewarnai hidup kita, bahkan sangat dekat. Mungkin cukup sekian pesan ayah, harap kau simpan baik dan mengindahkan apa saja semua yang ayah amanatkan padamu, karena ayah tidak punya kuasa lagi untuk merawatmu. Namun ingatlah kalau ayah ada, nak. Ayah selalu bersedia menyayangimu tanpa kau minta, akan sangat berharga bila ayah diminta untuk menyayangimu.
Kapten Dirgantara Aji Kusuma Ardhayanu
Alen berdiri sembari memeluk surat ayahnya dengan tangisan penyesalan. Segala yang pernah ia lakukan terasa menyusahkan ayahnya. Kini Alen memahami kehidupan yang dijalani ayahnya, terasa sesak di dada menghayati perjalanan kehidupan ayahnya, sangat menyakitkan ditinggalkan oleh seorang wanita yang dicintai, namun .
“Baiklah. Alen akan sembuh yah, Alen akan sembuh!” melodi tangisnya.
Sejenak kepala gadis itu menatap jalan raya yang becek, tertutupi dedaunan yang melambai-lambai tersapu angin, sementara hujan masih terus mengguyur. Perasaannya semakin hancur, tak kuasa ia untuk sekedar mengusap air mata. Ingatannya kembali pada surat kedua yang belum dibaca olehnya, dari seorang ibu yang telah mengandung dan melahirkannya, serta merawatnya selama ini bersama dengan sang ayah.
Klasika Ayoedya Ardhanareswari Alendanuarga Sweta Wimala,
Anakku, Buah Hatiku Tercinta
Ibu harap keadaanmu akan selalu membaik, mengingat ibu akan memberitahumu. Sebelum ibu menceritakan kepadamu, rahasia antara ayah dan ibu selama ini. Tahukah kau nak? Selama ini ibu sangat menyayangimu. Atas dasar sayang itulah, ibu akhirnya memutuskan untuk menceritakan sesungguhnya drama klasik yang kami lakukan, hukum yang telah kami langgar demi rasa sayang kami terhadapmu, nak.
Ketika itu, usiamu memasuki tiga tahun. Usia dimana seorang anak belum mengenal konflik keluarga, hanya bermain sepuasnya. Konflik itu berawal dari awal tiga tahun usiamu, semua permasalahan ibu yang memulai. Ibu memilih kembali dengan mantan kekasih ibu dan menikah dengannya namun pernikahan itu tidak berlangsung lama. Kemungkinan hanya bertahan selama 4 bulan. Ibu berusaha untuk menyembunyikannya, setiap ibu dan ayah berada di hadapanmu, kami selalu berdramaturgi. Manis dan harmonis layaknya sebuah keluarga bahagia. Kau tau mengapa selama ini ibu dan ayah tidak pernah tidur bersama dan selalu tidur dengan ayahmu? Itu karena perceraian yang berjalan antara kita.
Ibu ingin mengajak kembali ayahmu, namun sepertinya gagal. Ayahmu terlanjut terluka dan tidak pernah mau mengungkit masa lalunya dengan ibu. Ia memilih jalur damai dan kepentingan damai ini hanya untuk menyelamatkan dirimu dari dampak buruk perceraian terhadap seorang anak. Alhasil semua tindakan kami berhasil, semua yang kami sepakati berhasil. Kami tidak pernah berbicara satu sama lain dibelakangmu, meski ibu sudah memulainya, namun ayahmu diam membuang muka, ketika kau menoleh, drama itu dimainkan lagi, pura-pura sibuk berbincang. Padahal bukan apa-apa.
Kami telah bercerai sejak kau berusia tiga tahun. Ingatlah itu, nak. Kami sangat menyayangimu, usaha penghindaran dampak seorang anak yang lemah mental dan nakal kami berhasil. Kami melihat prestasimu, kami melihat semangatmu, kami melihat patuh dan hormatmu terhadap kami. Kami bangga terhadapmu, nak. Terutama ibu ini, mungkin kini ibu tidak ada maknanya lagi dihidupmu. Namun satu yang ibu mohonkan darimu. Ibu hanya memohon maaf atas apa yang telah kami sembunyikan selama ini terhadapmu. Kami tau itu meupakan kesalahan fatal, namun apalah bandingan nilainya bila disandingkan dengan sebuah kerusakan mentalmu. Kami, terutama ibu benar-benar memohon maaf. Kami juga manusia yang memiliki khilaf.
Pesan ibu, jangan pernah kau melanggar pesan ayahmu. Tahukah dirimu, nak? Ia sangat berbahagia ketika dirimu terlahir. Bagaimanalah cinta seorang suami terhadap istri, namun rasa sayang itu melebihi sayangnya terhadap ibu dahulu. Berbahagialah kau nak, memiliki ayah sebaik dirinya. Patuhilah pesan-pesan terakhirnya, serta jangan lupakan nasehatnya ketika ia masih hidup dahulu. Ibu mohon, jangan lupakan ibu juga, nak. Ibu juga sangat mencintaimu melebihi cinta ibu terhadap orang tua ibu sendiri, melebihi perasaan ibu terhadap ayahmu. Hargai semua orang baik yang menyayangimu maupun yang membencimu, nak. Sekali lagi maafkan ibu.
Sekian pesan yang dapat ibu sampaikan, harap kau mengerti. Maafkan bila kejujuran ini menyakiti hatimu, namun ibu tidak bermaksud kesana. Terima kasih atas perhatianmu, nak.
Nyonya Ayoedya Kartika Restiwaksita Ekapaksi
Kepada Putrinya, Nona Alendanuarga
Tak sepatah katapun terlontar dari bibir manisnya, ia benar-benar shock ketika mengetahui wanita yang dibahas ayahnya ternyata adalah ibunya sendiri. Air matanya jatuh semakin deras, nafasnya semakin sesak. Seketika putuslah semua harapan Alen untuk sembuh, hilanglah semua semangatnya, pupus sudah hidupnya, bak pohon ditebang tak kuasa menahan tumbangnya badan. Sungguh gadis malang.
Bocah empat belas tahun itu memeluk bonekanya, ia terjatuh ke lantai, tangannya basah, disampingnya ada dua surat yang tercecer. Pandangan Alen kosong lagi, namun tangisannya terus berlanjut. Sesenggukan terdengar nyaring, gerakan tubuhnya menunjukkan ketakutan. Perlahan ibu jari tangan di kanannya masuk ke dalam mulut. Matanya tertutup, tubuhnya meringkuk ketakutan sekaligus kedinginan. Alen kini sepenuhnya tak sadarkan diri, garis wajah di dahinya menunjukkan ketakutan yang dideritanya semakin parah. Bugenvil 9 kini sepi, terdengar suara hujan yang terus mengguyur, musik klasik terus berputar dan terus berganti dari lagu satu ke lagu selanjutnya. Kini Mozart terasa hadir memainkan piano, lagu Mozart satu ini justru membuat Alen terpuruk.
Tiga perawat datang memasuki Bugenvil 9, mereka berlari ke arah Alen lalu mengangkatnya ke ranjang tidurnya. Selimut telah membalut tubuhnya, Dokter Alice segera menangani Alen. Posisi badannya menghadap jendela basah itu.
“Naas, keadaannya lebih parah dari sebelumnya. Koma yang ia jalani akan lebih lama dari sebelumnya. Ia perlu dirujuk ke rumah sakit jiwa, psikiater sudah tidak mampu, bahkan ini sudah bukan wewenang kita untuk menanganinya. Buatlah surat rujukan mendadak untuk besok, cepatlah tangani masalah ini karena permasalahan ini menyangkut nyawanya.” tutur Alice.
Hari semakin senja, sedangkan hujan belum juga reda. Keadaan masih sama, Alen masih tak sadarkan diri. Memang, ia koma kini. Sedangkan tak satupun orang mampu menangani kehancuran hidupnya, bangunan mentalnya terkubur bak tersapu gempa, benar-benar musnah. Mungkin tiada jalan baginya untuk sembuh, bukan tidak ada melainkan dia sendiri yang tidak mampu menangani kehancuran hidupnya atau seseorang sudah mengabaikannya. Alen melupakan semua ingatannya, denyut nadinya semakin melemah, nafasnya terdengar tipis lalu menghilang, tangis hatinya mengalir tanpa suara. Sepertinya hidup adalah jurang kesengsaraan baginya saat ini. Alen meninggalkan dunia, jiwanya berkelana entah kemana. Ia tidak sekedar koma kini, dia meninggal.
Aku sepenuhnya menyadari, hidupku benar-benar tak berarti tanpa kedua orang tuaku. Seperti jalan hidupku diputus paksa oleh suratan takdir
Ayahku dimatikan dengan cara dieksekusi secara tragis, ibuku tenggelam dan sebelumnya ia menghadapi serangan mendadak. Kini aku tahu apa yang ayah inginkan, tidak berpura-pura demi diriku lagi
Kini aku tahu, ibu telah melepas luka dan cintanya saat berdrama ria. Aku memaafkan kalian, namun satu permohonanku untuk memaafkanku
Karena aku tak mampu bertahan dengan segala kelemahanku yang harus berdiri tanpa kedua orang tua dan jauh dari sanak keluarga
Kemanakah larinya sahabat ketika aku terbaring tak bernyawa seperti ini? Kemanakah larinya sanak keluarga dan kerabat ketika pemakamanku semakin dekat waktunya? Kemanakah mereka semua? Apa aku ini memang benar tak bermakna layaknya abu karet yang berbau busuk saat terbakar? Kalian semua bersyukurlah, kehidupan kalian masih didampingi kedua orang tua, sahabat masih bersedia disamping kalian, keluarga masih memanja kalian
Kalian tahu? Gadis sepertiku ini sudah tak berguna untuk hidup
Keduanya telah berpisah semenjak usiaku tiga tahun, tak terbayangkan kebahagiaanku selama ini adalah kebahagiaan plasu yang tertulis di skenario mereka dengan satu alasan, tidak ingin membuat diriku terjerat penderitaan dan mengalami kegagalan mental atas perceraian mereka
Lalu apa salahnya bila mereka jujur di awal? Aku justru lebih mengharapkan semua itu, ini kebohongan yang luar biasa, aku bagaikan boneka beruang cokelat yang dilempar kesana kemari dengan senyuman kering, candaan basi!
Ayah, maafkan Alen. Alen tidak menerima semua kehendak Tuhan, terlalu kejam sepertinya. Ibu, maafkan Alen, Sepertinya ibu akan menjumpai Alen diujung neraka Jahanam
Semua telah berakhir, bukan salah kalian berdua, namun sakit jika kejujuran harus dihiasi dengan kepahitan
Untuk Ayah dan Ibu, sampai jumpa di keabadian...
SELESAI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H