Mohon tunggu...
Khairunnisa
Khairunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Saya suka membaca buku dan saya juga suka nonton konser

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kehangatan Di Tengah Badai

31 Januari 2025   10:42 Diperbarui: 31 Januari 2025   10:42 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan deras mengguyur kota medan malam itu, seolah-olah alam pun turut bersedih atas nasibku yang hancur. Deburan air hujan di jendela kamar sempit menjadi satu-satunya teman setia, menemani isak tangisku yang tak terbendung. Aku, Icha, seorang perempuan berusia 23 tahun, merasa seperti kapal pecah di tengah lautan badai. Beberapa bulan terakhir terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Pemutusan hubungan kerja yang mendadak membuat hidupku terasa kacau. Tabunganku semakin menipis, sementara tagihan kuliah terus menumpuk. Aku berusaha mencari pekerjaan baru, namun penolakan demi penolakan membuatku merasa putus asa dan kehilangan arah. Aku merasa kehilangan segalanya: pekerjaan, kemandirian, bahkan harapan. 

"Ya Allah, apa salahku?" lirihku sambil meremas bantal yang sudah basah kuyup oleh air mata. Saya merasa Tuhan seolah-olah tidak adil padaku. Bukankah aku selalu berusaha menjadi orang baik? Bukankah aku selalu berjuang sekuat tenaga? Mengapa semua kesialan ini justru menimpaku? 

Tak hanya masalah pekerjaan yang membebani pikiran, tapi juga masalah keluarga terus menghantuiku. Keputusan untuk mengambil cuti kuliah selama dua tahun lalu dan diterima di perguruan tinggi yang tidak sesuai dengan harapan membuatku harus berjuang sendiri membiayai kuliah dan hidupku. Beban ini terasa begitu berat, seakan-akan ada batu besar menindih pundakku. Aku terus berusaha bertahan demi masa depan yang telah aku bangun, namun kelelahan yang aku rasakan semakin dalam. Aku sering merasa kesepian dan hanya bisa menangis sendirian di kamar.

Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk bangkit dari keterpurukan. Tidak mungkin terus-menerus menyerah pada keadaan. Aku harus berbuat sesuatu. Dengan sisa semangat yang ada, aku memulai usaha kecil-kecilan dengan menjual keripik pisang cokelat di kampus. Pengalaman berjualan jajanan saat bekerja di pabrik dulu membangkitkan kembali semangatku. Aku berharap usaha ini bisa membantu memenuhi kebutuhan pribadi dan meringankan beban keluarga. 

Awalnya, aku hanya membuat keripik pisang cokelat dalam jumlah terbatas dan menjualnya kepada teman-teman sekelas. Meskipun responsnya belum begitu besar, aku tidak menyerah. Aku terus berinovasi, belajar dari kesalahan, dan mencoba resep-resep baru yang lebih menarik. Seiring berjalannya waktu, di tengah kesulitan yang kuterima, mulai terbersit secercah harapan dalam diriku. 

Namun, harapan itu kembali pupus. Saat mengantar pesanan keripik pisang cokelat, motorku tiba-tiba mogok di tengah jalan. Hujan pun turun deras, semakin menambah keputusasaanku. Aku berteriak sekuat tenaga di jalanan yang sepi, merasa terisolasi dan tak berdaya. Keringat dan air hujan membasahi tubuhku, sementara pesanan mulai rusak. Terduduk di pinggir jalan, air mataku mengalir tanpa suara. Aku merasa terjebak dalam lingkaran sial yang tak kunjung usai. Kehampaan menyelimutiku, aku tak tahu harus berbuat apa atau kepada siapa aku harus mengadu. Rasanya aku seperti boneka yang dipermainkan nasib, tanpa bisa berbuat apa-apa. Kelelahan mendera, aku benar-benar lelah 

Sebuah suara lembut tiba-tiba memecah kesunyian. Aku mendongak dan melihat seorang pria berdiri di hadapanku, memegang payung besar yang melindunginya dari hujan. Ia tersenyum simpul, menunjukkan lesung pipit yang manis. Pria itu bertubuh tinggi, rambutnya sedikit basah karena hujan, dan matanya memancarkan kehangatan. Aku tertegun melihatnya, merasa seperti ada secercah cahaya yang masuk ke dalam hatiku yang gelap. Aku mengangguk perlahan, masih dengan air mata yang membasahi pipi. 

Raka : Maaf, apa kamu baik-baik saja?

Icha : (Mengangguk sambil menangis) 

Raka : Sepertinya kamu sedang mengalami masalah. Bolehkah aku menerimanya? 

Suaranya begitu tenang dan menenangkan. Aku hanya mengangguk lagi, tak mampu mengeluarkan kata-kata. Aku merasa seperti menemukan oase di padang pasir yang tandus. Pria itu membantuku mengangkat motor dan kardus berisi kue ke pinggir jalan. Ia kemudian membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel di sepeda motor dan juga di bajuku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun