Ini bukan kali pertama Loka seperti kehilangan kendali atas pikiran dan perasaannya.
Suatu hari Loka pernah tiba-tiba duduk bersila di atas meja. Tatapannya kosong, kemudian kaki kanannya diangkat membentuk posisi bersila sebelah, seperti gaya orang sedang main kartu gapleh di pos ronda. Dengan  lirih ia berkata 'Saya bukan Loka.. Saya bukan Loka' kemudian dilanjutkan dengan tertawa cekikikan pelan-pelan dan lama-lama semakin keras volume suara tertawanya.Â
Resti dan dua teman kos Loka, Isna dan Arni yang berada di sebelah kamar Loka saat itu setelah mendengar suara cekikian tersebut langsung menuju kamar Loka. Resti menuangkan air dari dispenser yang sebelumnya dibacakan doa, sedangkan Arni memegang pergelangan tangan Loka dan Isna memegang ubun-ubun Loka sambil membacakan ayat kursi dengan lirih.
Not Come From Inside
'Its totally not a scizofernia. Dia nggak gila' ujarku pada Resti yang membawakan identitas diri Loka untuk saya register dan gali atau 'regresi' terkait latar belakangnya. Saat itu Loka masih di rawat inap di klinik, sehingga diwakilkan untuk pengurusan perawatan psikologisnya.
'Kalau dia ada kearah sana, mungkin saya akan rekomendasikan dia untuk pergi ke Psikiater langsung. Dibantu terapi obat. Well, thats last choice, karena dari cerita mbak Resti, Loka ini tidak ada riwayat sakit jiwa. Bahkan kehidupan di kampusnya boleh dibilang bagus, aktif di beberapa organisasi dan IPK nya juga cukup bagus'. Paparku sambil membaca beberapa resume tentang Loka.
'Iya Pak setahu saya juga begitu. Di kampusnya dulu teman-temannya cukup banyak. Setelah ia berpacaran dengan laki-laki bernama Abe, dia mulai agak menarik diri dari pergaulan kampus. Tambah-tambah Abe memang  cukup posesif. Jadi dia hanya dekat dengan teman kosnya, dan yang paling dekat, ya dengan saya'. Jelas Resti,
'Pacarnya dimana sekarang?'
'Mereka sudah putus'
'Apakah gejala ini terjadi setelah mereka putus?'
'Iya, sekitar tiga minggu yang lalu Loka curhat pada saya, kalau dia dan Abe sudah putus'.