Contoh kedua yang lebih umum. Seorang kaya raya memborong tanah di suatu wilayah, kadang ia manfaatkan atau sekadar menimbunnya. Otomatis tanah yang beredar di wilayah tersebut kian berkurang.Â
Sesuai rumus pasar, jika produk yang beredar lebih sedikit ketimbang permintaan maka harganya akan naik. Harga tanah di wilayah tersebut naik tak terkendali, orang bergaji UMR tak akan mampu membeli tanah di tempat kelahirannya sendiri.Â
Kejadian ini sudah jamak terjadi, sebut saja di Kota Jogja dimana UMR hanya dua juta tapi harga tanahnya miliaran. Bagaimana mungkin mereka bisa membelinya?Â
Semoga Bank Tanah mampu untuk setidaknya membantu menstabilkan harga di suatu wilayah.Â
Bisakah Bank Tanah Memerangi Praktik Mafia?
Sayangnya Bank Tanah tidak memiliki wewenang langsung untuk mengatur harga tanah. Namun, melalui kewenangan dalam mengelola dan mendistribusikan tanah secara adil, Bank Tanah dapat membantu mengurangi dampak buruk dari praktik mafia tanah.Â
Penanganan harga tanah yang melambung akibat mafia tanah lebih banyak bergantung pada upaya penegakan hukum dan kebijakan pemerintah.
Singkatnya, mereka tidak bisa secara langsung menentukan harga jual tanah di suatu wilayah karena tidak memiliki wewenang mutlak atas tanah.
Sedangkan "kejahatan agraria" menjadi tanggung jawab aparat hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan BPN. Merekalah yang memiliki wewenang untuk menindak pelaku yang melakukan tindakan ilegal dalam penguasaan atau penjualan tanah.
Meski begitu, tentu kita punya harapan pada masa depan generasi selanjutnya soal kepastian kepemilikan lahan untuk tempat tinggal lewat peranan Badan Bank Tanah baik secara langsung maupun tidak langsung.
Konflik Agraria
Sektor agraria adalah salah satu sektor yang sering memicu konflik di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, dari tahun 2015 - 2022, terjadi sedikitnya 2701 konflik agraria di berbagai daerah di Indonesia.Â