Mereka menyalakan rokok secara bergantian karena Alfath tidak membawa korek. Itu merupakan kebiasaannya yang disengaja supaya dia punya kesempatan untuk berbincang dengan orang asing sambil merokok. Dia tidak suka membunuh waktu dengan scrolling beranda di media sosial.
Yudha menghembuskan nafas. Asap menyembur dari mulut dan hidungnya. Dia memandangi laut yang gelap. "kira-kira, laut ini kelak akan menjadi gurun, nggak, ya?" sisa-sisa asap keluar dari mulut di setiap suku kata yang ia ucapkan.
Dalam perjalanan di gurun, Santiago belajar bahwa segala sesuatu selalu berubah. Bahkan gurun itu dulunya merupakan lautan. Alfath merinding membayangkan bencana apa yang memungkinkan untuk mengubah laut yang luas ini menjadi gurun.
Sejenak, mereka saling diam. Menikmati tembakau masing-masing.
 Setelah beberapa hisapan, Alfath memulai pembicaraan. "File tadi itu rekaman, toh, Om?"
"Iya," jawab Yudha.
"merekam sendiri?"
"Iya." Yudha memandang cakrawala yang gelap.
Jawabannya kali ini singkat-singkat. Alfath berpikir, mungkin Om Yudha memang serius ingin menangkap bahasa Jiwa Universal. Alfath tidak ingin mengganggu sehingga mengurungkan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
"Itu suara 'Fatimahku'," kata Yudha seakan tahu apa yang hendak ditanyakan Alfath. "Dia sengaja merekamnya untuk saya yang jauh dari rumah supaya saya tetap terpaut dengan dua hal yang saya cintai: buku, dan dia.
Alfath menganggukkan kepala. "Sampean beruntung betul, Om!"