Alfath melihat jam tangan digitalnya. Pukul dua puluh satu lewat sembilan. Dia memandang jendela. Dari dalam bus, gemerlap lampu-lampu kota dan gedung-gedung tinggi tampak memanjakan mata. Menjadikan Jakarta terlihat seperti utopia yang menjanjikan. Perangkap bagi para "Pangeran Cilik" yang melupakan "Mawarnya."
Sudah lewat tengah malam ketika bus yang ditumpangi Alfath sampai di pelabuhan Merak dan parkir di car deck. Penumpang turun satu-persatu. Bau karet ban dan oli menusuk hidung. Alfath melihat ke sekeliling, mengingat patokan posisi busnya untuk memastikan tidak masuk bus yang keliru nanti. Para penumpang menaiki tangga besi yang mulai korosi dan berbau karat.
Di deck atas, angin berhembus pelan. Membawa aroma laut yang segar, tapi juga memicu rasa mual bagi sebagian penumpang.
Alfath memasuki kabin kapal. Kapal ini kabinnya nyaman. Tersedia bangku empuk beserta meja. Juga ada pertunjukan live music yang baru saja memulai intronya. Kapal ini juga cukup besar sehingga guncangan dari ombak tidak terlalu terasa. Alfath memilih bangku dekat jendela. Hanya ada beberapa bangku yang ditempati penumpang. Sebagian besar penumpang memilih area lesehan supaya bisa rebahan dan tidur.
Seorang pria mendekati Alfath. Dia membawa kopi dalam cup styrofoam. "Saya gabung, ya," katanya, lalu duduk di kursi yang berseberangan dengan kursi Alfath. Pria itu adalah Si sopir.
"Oh, monggo, Om," jawab Alfath. Alfath tersenyum kepada Si Sopir.
"Kamu tinggalnya di mana, Le?"
"Saya tinggal di Bandar Lampung, Om. Di Bukit Kemiling Permai."
"Oalah, BKP, toh."
"Sampean tinggalnya di mana, Om?"
"Kalau saya, di Gedong Aer, dekat TPU." Si sopir melihat-lihat ke jendela. "Kapalnya belum jalan, ya?" Si sopir bergumam sendiri. "Kamu merokok, nggak, Le?"