Er masih saja duduk di sudut taman belakang rumah. Meskipun dia tahu satu persatu penduduk desa berkerumun di sekeliling rumahnya.
“Er,, harus dihentikan!” seru seorang kerempeng berhidung betet.
“Iya, kalau tidak rusaklah desa kita.”
Beberapa orang berseragam hijau ikut masuk. Penduduk desa memberikan jalan untuk mereka. Rumah Er pun penuh dengan kerumunan.
“Er, hentikan permainanmu! Cukup sudah kami memberi toleransi padamu. Demi kebaikan desa ini, hentikan semua permainan cello mu itu. Telinga kami terasa menjadi tuli setiap cello itu kau gesekkan.” Seorang berpakaian hijau, dengan tongkat komando di tangan berteriak.
Er, masih saja duduk dengan mendekap cello dengan kedua belah pahanya.
“Duduklah komandan, kita ngopi dulu.” Er menggesekan cellonya dengan nada dasar paling rendah sebentar. Lengkingan sedikit menusuk telinga. Dengan ajaib tampak beberapa meja dengan banyak cangkir terbentang di antara Er duduk dan orang orang yang mengerumuninya. Lengkap dengan teko berisi kopi. Terlihat kepul asap dan aroma. Orang orangpun terkesima. Er, lalu mengambil kopi di dekatnya duduk.
“Itu sihir! Jelas itu semakin membuktikan bahwa semua yang ada pada dirinya adalah sihir!” teriak seseorang dari belakang kerumunan. Riuh pun terdengar di belakang kerumunan penduduk desa.
“Tidak! Kopimu pasti beracun.”Sang Komandan menolak dengan teriakan.
“Tidak masalah Komandan, jika kalian tidak mau. Aku tidak memaksa. Dan silahkan juga kalian berpikir dengan imajinasi kalian tentang kopi ini atau tentang diriku." Er tersenyum cantik. Rambutnya yang panjang dan kacamata yang membingkai matanya semakin menampakkan kecantikan dan kecerdasannya.
“Kami tidak pernah berimajinasi, Er. Jelas sekali tampak di depan mata kami jika apa yang berasal darimu hanyalah ilusi!"
Er masih tersenyum tenang.“ Itu tanda kalian berotak dangkal! Kalian tidak pernah melihat dengan mata batin kalian. Bagi kalian kebenaran hanya ada di mata dzohir kalian. Apakah kalian lupa, bagaimana kalian memintaku untuk mendatangkan hujan. Dan kalian rasakan sendiri nikmatnya hujan dari nyanyian celloku ini."
“Hei berani sekali kau katakan otak kami dangkal, jika otak kami dangkal, tidak mungkin kami bisa menjadi berlimpah harta seperti sekarang ini." Seorang berdasi, salah satu perangkat desa terlihat marah. Dari kerumunan terdengar gemuruh gumam penuh geram.
“Tenang, pak Sekdes, biar kami saja yang urus Er ini. Ini sudah tugas kami,”kata sang komandan, menahan tubuh Sekdes yang hendak maju menyerang.
“Kau sudah keterlaluan, Er. Setelah kau ganggu kami dengan suara cellomu yang selalu memanggikan hujan sehingga kami setiap hari harus berbasahkuyup. Jelas jelas engkau menghina kami semua dengan perkataanmu!” Sang Komandan maju beberapa langkah mendekati Er.
“Haha.. lagi lagi engkau keliatan kebodohanmu wahai pak Sekdes yang terhormat. Apakah engkau mengukur otak kalian hanya dengan materi yang kalian dapat. Sedang harta hanyalah titipan bagi dirimu. Apakah dengan itu kalian merasa terhormat? Sungguh naif engkau pak Sekdes. Kemuliaanmu bukan berasal dari harta yang engkau punya, Kemuliaanmu ada pada bagaimana engkau menghormati dirimu sendiri dan manusia lainnya sebagai manusia yang bernorma. Apakah kalian masih bangga dengan hidup kalian sedang kalian tutup mata dengan mereka yang ada di pinggiran desa? Hingga mati mereka hanyalah belulang. Hujan yang kupanggilkan kalian tampung sendiri tanpa mau berbagi. Aku memainkan cello ini juga demi mereka. Agar mereka bisa meraskan sejuknya air hujan yang selama ini kalian nikmati sendiri. Apakah aku salah?Er menyeruput kopi lagi.
Pak kepala desa berjalan mendekati Er. “Iya, engkau salah. Apapun alasanmu, engkau tetaplah salah, karena hujan yang engkau panggil terus menerus telah mengganggu kehidupan kami, jalannya pemerintahan juga keamanan.”
“Haha.. kami siapa yang kalian maksud? Kami dari segelintir kalian. Dan aku tau, kalian yang di sini sebenarnya hanyalah orang orang yang datang karena sebungkus nasi untuk keluarga kalian. Aku tahu kalian hanyalah orang yang tertindas keadaan. Keadaan yang selalu dipertahankan oleh pemilik rumah terbesar di desa ini."
“Cukup Er! Tidak usah engkau banyak berkata. Sekarang engkau mau hentikan suara cellomu atau kami akan bertindak atas nama kebenaran di desa ini.” Sang Komandan kembali bicara.
“Kebenaran? Ahh, sudah lama aku tidak mendengar suara kebenaran.” Suara Er terdengar sedih. Wajahnya menengadah ke langit.
“Kebenaran di sini, adalah kesepakatan kami dari pemimpin desa ini. Kami dipilih oleh para warga.”
“Lagi lagi, kebodohan yang kalian pertontonkan padaku. Kalian berbicara kebenaran tapi tidak tau kebenaran itu apa? Apakah kalian hendak berkata bahwa suara terbanyak adalah suara Tuhan? Apakah pernah kalian bertanya pada diri kalian, apakah kalian benar benar tau apa yang kalian bicarakan? Atau hanya ikut apa kata ketua kalian? Haha.. Suara Tuhan tetaplah suara Tuhan. Terlalu sombong jika kalian menyamakan suara kalian dengan suara Tuhan yang Serba Tau apapun tentang kehidupan ini."
Angin sore terasa gerah. Dari balik kerumunan tiba tiba muncul, tiba tiba muncul seorang perempuan tua berlari menuju Er.
“Er, mainkan cello untukku. Terlalu bising suara riuh di pusat desa, sehingga anak anakku tidak bisa tidur. Mereka hanya mau bermain perang perangan dan gulat. Sampai sampai yang mereka tahu hanyalah perang dan gulat. Mainkanlah cellomu agar anak anak kecilku dan yang lainnya bisa tidur dengan sebagaimana mestinya." Perempuan itu duduk bersimpuh di dekat kursi tempat Er duduk
Er tersenyum lembut,”Tentu ibu, aku akan mainkan cello ini. Untukmu dan untuk anak anak yang mestinya bisa tumbuh sebagai anak anak.”
“Tapi bagaimana dengan mereka ?”tanya si ibu tua khawatir dengan tatapan tatapan penuh dendam dari kerumunan.
“Biarkan saja mereka, mari kita mainkan dan menari.”
Er mengambil alat gesek, kemudian dengan penuh perasaan memainkan cellonya. Suaranya dimulai dengan pelan bernada rendah.
Kelopak kelopak bunga bermekaran. Angin terasa membawa kesejukan, ikut mengajak menari ranting ranting di sekitar taman. Burung burung yang tadinya terdiam terdengar berkicau. Dengan mata terpejam, Er memainkan sebuah lagu tentang indahnya surga.
Sebagian orang orang yang berkerumun, tanpa sadar ikut mengerakkan kaki dan tubuhnya menikmati suara cello tersebut. Ada perasaan damai merasuki hati hati mereka. Sang Komandan dan kepala desa saling menatap seolah berkomunikasi dengan mimik wajah. Sangat Gusar. Tampak oleh mereka sebagian telah larut dengan alunan cello.
“Hai! Apa apaan kalian? Ikut menari seperti orang gila! Berhenti!” Kepala desa berteriak.
Tidak ada yang berhenti. Semakin lama, semakin banyak yang ikut menari.
“Komandan, bagaimana ini? Tidak bisa seperti ini! Lihat, kakiku seperti mau bergerak sendiri, sihir ini harus segera di hentikan.” pak Sekdes berkata
Sang komandan, meraih pistol di pinggangnya. Mengarahkan ke dada Er. "Ini harus diakhiri sekarang!"
DORR!
Mata sang komandan, terbelalak. Peluru itu luruh sebelum sampai di tubuh Er. Dua kali ia mencoba. Hasilnya sama.
“Pak Kepala desa, ayo maju dan rampas cello itu! Peluru tidak mampu menjamahnya. Bisa jadi karena sihirnya!"
Dengan susah payah, kepala desa memaksa kakinya untuk mendekati Er. Demikian juga sang komandan. Keduanya lalu merampas cello dan membantingnya ke tanah. Diinjak injaknya hingga rusak dan putus dawai cello. Er, yang tidak tahu akan terjadi seperti itu kaget. Tubuhnya terlempar ke belakang kursi. Lemas. Apalagi ketika cellonya sudah demikian rusaknya.
Alampun hening. Semua terdiam saat Er jatuh dan tidak bisa bangun lagi. Suara terakhir dari cello terdengar berat.
Orang orang yang berkerumun terdiam bagai patung.
“Er, semua sudah berakhir!” kata sang komandan.“Hei kalian semua, bakar cello ini, lalu arak telanjang Er, agar bisa menjadi pelajaran untuk semua orang yang membangkang.
Orang pun meraih tubuh Er. Bagai Dasamuka, mereka berusaha menelanjangi Er. Pakaian atas, pakaian bawah. Mereka semakin beringas saat satu persatu pakaian yang dikenakan Er lepas. Bukan tubuh indah yang mereka lihat, tapi setiap baju dilepas, selalu saja ada baju lain di dalamnya.
“Bagaimana ini pak Komandan?” setelah sekian lama, masih saja tidak bisa menelanjangi Er yang lemas. Lemas karena jiwa Er ada di dalam Cello yang selalu dia mainkan.
“Bakar saja bersama cellonya. Biar orang orang tahu, bahwa tidak boleh ada yang melawan apa yang sudah menjadi undang undang kebenaran di desa ini!"
Orang orang segera membawa Er ke tengah lapangan. Sedang sebagian yang menyayangi Er hanya bisa mengikuti dari belakang dengan berurai airmata.
“Tuhan tolonglah, Er..”
Tanpa menunggu lama , Er dibaringkan di tumpukan kayu yang siap di bakar bersama cellonya.”
“Er, kami beri kesempatan padamu, minta maaflah pada kami, dan bersumpahlah akan melakukan apa yang menjadi undang undang kebenaran di desa ini! Kalau tidak, kami akan segera membakarmu.”Kepala memberikan pilihan pada Er.
Dengan senyum sinis dan lemas, Er berkata,” Untuk apa aku minta maaf pada kalian. Kalian hanyalah hamba dari kebodohan kebodohan kalian. Kalian yang telah kehilangan suara hati kalian. Kalian yang telah lancang menulis ulang kitab kitab kalian dengan otak kalian yang kosong, lalu membakar kitab kitab tua yang jelas ditulis oleh tangan Tuhan. Silahkan lakukan apapun yang kalian mau. Tapi ingatlah, semua akan ada masanya berganti.” Sang Komandan dan pak Sekdes saling pandang. tangan mereka terkepal.
"Sudah, bakar saja dia! Kata katanya bisa jadi racun." kata Pak Sekdes.
Dengan tidak sabar sekdes segera mengambil kayu yang sudah menyala. Api menggumpal membakar. Mencipta kabut hitam di tengah lapangan. Senyum dan tawa puas terdengar dari sebagian orang. Sedang sebagian lagi, yang hatinya sebenarnya mencintai Er hanya bisa menangis dalam hati. Mereka mau tidak mau harus ikut kata pemimpin desa, atau keluarga mereka yang akan binasa. Hampir tiga jam. Asap yang membakar Er dan cellonya masih saja melahirkan gumpalan hitam yang menggantung di atas langit desa. Perlahan Langit tertutup awan hitam. Sesekali petir datang menyambar pepohonan.
“Dasar Er, sudah mati saja membikin repot!” Kata sang komandan.
Sekarang kalian pulang saja. Sebentar lagi hujan. Jangan sampai kalian kehujanan.” Pak Kepala Desa memberi perintah.
Orang orang berlarian pulang. Lapangan sepi.Tinggal orang orang yang di hatinya mencintai Er. Er bagi mereka adalah penyelamat juga pemberi kedamaian..
“Tuhan tolonglah Er dan kami….” Gumam lirih itu meluncur dari bibir penuh airmata lalu terbang menembus langit.
Hening..
“Pergilah kalian ke gunung di utara” sebuah suara menyusup ke telinga mereka.Orang orang tersenyum saat suara itu datang. Segera saja mereka belik ke desa mengambil keluarga dan sedikit bekal.
Awan semakin hitam pekat. Hujanpun turun. Hujan yang tidak seperti biasanya. Hujan yang airnya hitam pekat. Orang orang di desa panik. Saat air telah sampai lutut, mereka keluar dan menuju balai desa. Wajah wajah takut berkumpul menjadi satu. Termasuk sang komandan dan kepala desa.
“Ada apa ini? Bagaimana kita hentikan hujan ini? Apalagi hujan seperti ini. Hanya Er yang bisa. Tapi sudah mati.” Batin dari sebagian orang.
BLARRR !
Petir keras menghantam menara di tempat peribadatan desa. Lamat lamat terdengar suara cello di antara hujan air hitam. Semakin lama semakin keras. Para penduduk desa gembira
"Er, selamatkan kami.... tolong kami...!" permohonan spontan terlontar dari beberapa penduduk desa.
Suara cello semakin keras dan semakin keras lagi dengan tempo semakin cepat, dan semakin cepat pula hujan air hitam. Air meninggi hingga ke leher. Tidak ada tempat lagi untuk berlari.
Ditatapan terakhir mereka sebelum tenggelam. Tampak Er di gumpalan awan hitam. Menatap dingin.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H