Sang komandan, meraih pistol di pinggangnya. Mengarahkan ke dada Er. "Ini harus diakhiri sekarang!"
DORR!
Mata sang komandan, terbelalak. Peluru itu luruh sebelum sampai di tubuh Er. Dua kali ia mencoba. Hasilnya sama.
“Pak Kepala desa, ayo maju dan rampas cello itu! Peluru tidak mampu menjamahnya. Bisa jadi karena sihirnya!"
Dengan susah payah, kepala desa memaksa kakinya untuk mendekati Er. Demikian juga sang komandan. Keduanya lalu merampas cello dan membantingnya ke tanah. Diinjak injaknya hingga rusak dan putus dawai cello. Er, yang tidak tahu akan terjadi seperti itu kaget. Tubuhnya terlempar ke belakang kursi. Lemas. Apalagi ketika cellonya sudah demikian rusaknya.
Alampun hening. Semua terdiam saat Er jatuh dan tidak bisa bangun lagi. Suara terakhir dari cello terdengar berat.
Orang orang yang berkerumun terdiam bagai patung.
“Er, semua sudah berakhir!” kata sang komandan.“Hei kalian semua, bakar cello ini, lalu arak telanjang Er, agar bisa menjadi pelajaran untuk semua orang yang membangkang.
Orang pun meraih tubuh Er. Bagai Dasamuka, mereka berusaha menelanjangi Er. Pakaian atas, pakaian bawah. Mereka semakin beringas saat satu persatu pakaian yang dikenakan Er lepas. Bukan tubuh indah yang mereka lihat, tapi setiap baju dilepas, selalu saja ada baju lain di dalamnya.
“Bagaimana ini pak Komandan?” setelah sekian lama, masih saja tidak bisa menelanjangi Er yang lemas. Lemas karena jiwa Er ada di dalam Cello yang selalu dia mainkan.
“Bakar saja bersama cellonya. Biar orang orang tahu, bahwa tidak boleh ada yang melawan apa yang sudah menjadi undang undang kebenaran di desa ini!"