Mohon tunggu...
Kens Hady
Kens Hady Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang yang biasa, yang kadang suka menulis

Black Dew

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cellis Er, Pemanggil Hujan

11 Juli 2016   16:59 Diperbarui: 11 Juli 2016   18:29 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin sore terasa gerah. Dari balik kerumunan tiba tiba muncul, tiba tiba muncul seorang perempuan tua berlari menuju Er.

“Er, mainkan cello untukku. Terlalu bising suara riuh di pusat desa, sehingga anak anakku tidak bisa tidur. Mereka hanya mau bermain perang perangan dan gulat. Sampai sampai yang mereka tahu hanyalah perang dan gulat. Mainkanlah cellomu agar anak anak kecilku dan yang lainnya bisa tidur dengan sebagaimana mestinya." Perempuan itu duduk bersimpuh di dekat kursi tempat Er duduk

Er tersenyum lembut,”Tentu ibu, aku akan mainkan cello ini. Untukmu dan untuk anak anak yang mestinya bisa tumbuh sebagai anak anak.”

“Tapi bagaimana dengan mereka ?”tanya si ibu tua khawatir dengan tatapan tatapan penuh dendam dari kerumunan.

“Biarkan saja mereka, mari kita mainkan dan menari.”

Er mengambil alat gesek, kemudian dengan penuh perasaan memainkan cellonya. Suaranya dimulai dengan pelan bernada rendah.

Kelopak kelopak bunga bermekaran. Angin terasa membawa kesejukan, ikut mengajak menari ranting ranting di sekitar taman. Burung burung yang tadinya terdiam terdengar berkicau. Dengan mata terpejam, Er memainkan sebuah lagu tentang indahnya surga.

Sebagian orang orang yang berkerumun, tanpa sadar ikut mengerakkan kaki dan tubuhnya menikmati suara cello tersebut. Ada perasaan damai merasuki hati hati mereka. Sang Komandan dan kepala desa saling menatap seolah berkomunikasi dengan mimik wajah. Sangat Gusar. Tampak oleh mereka sebagian telah larut dengan alunan cello.

“Hai! Apa apaan kalian? Ikut menari seperti orang gila! Berhenti!” Kepala desa berteriak.

Tidak ada yang berhenti. Semakin lama, semakin banyak yang ikut menari.

“Komandan, bagaimana ini? Tidak bisa seperti ini! Lihat, kakiku seperti mau bergerak sendiri, sihir ini harus segera di hentikan.” pak Sekdes berkata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun