Mohon tunggu...
Kens Hady
Kens Hady Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang yang biasa, yang kadang suka menulis

Black Dew

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cellis Er, Pemanggil Hujan

11 Juli 2016   16:59 Diperbarui: 11 Juli 2016   18:29 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Er masih saja duduk di sudut taman belakang rumah. Meskipun dia tahu satu persatu penduduk desa berkerumun di sekeliling rumahnya.

“Er,, harus dihentikan!” seru seorang kerempeng berhidung betet.

“Iya, kalau tidak rusaklah desa kita.”

Beberapa orang berseragam hijau ikut masuk. Penduduk desa memberikan jalan untuk mereka. Rumah Er pun penuh dengan kerumunan.

“Er, hentikan permainanmu! Cukup sudah kami memberi toleransi padamu. Demi kebaikan desa ini, hentikan semua permainan cello mu itu. Telinga kami terasa menjadi tuli setiap cello itu kau gesekkan.” Seorang berpakaian hijau, dengan tongkat komando di tangan berteriak.

Er, masih saja duduk dengan mendekap cello dengan kedua belah pahanya. 

“Duduklah komandan, kita ngopi dulu.” Er menggesekan cellonya dengan nada dasar paling rendah sebentar. Lengkingan sedikit menusuk telinga. Dengan ajaib tampak beberapa meja dengan banyak cangkir terbentang di antara Er duduk dan orang orang yang mengerumuninya. Lengkap dengan teko berisi kopi. Terlihat kepul asap dan aroma. Orang orangpun terkesima. Er, lalu mengambil kopi di dekatnya duduk.

“Itu sihir! Jelas itu semakin membuktikan bahwa semua yang ada pada dirinya adalah sihir!” teriak seseorang dari belakang kerumunan. Riuh pun terdengar di belakang kerumunan penduduk desa.

“Tidak! Kopimu pasti beracun.”Sang Komandan menolak dengan teriakan.

“Tidak masalah Komandan, jika kalian tidak mau. Aku tidak memaksa. Dan silahkan juga kalian berpikir dengan imajinasi kalian tentang kopi ini atau tentang diriku." Er tersenyum cantik. Rambutnya yang panjang dan kacamata yang membingkai matanya semakin menampakkan kecantikan dan kecerdasannya.

“Kami tidak pernah berimajinasi, Er. Jelas sekali tampak di depan mata kami jika apa yang berasal darimu hanyalah ilusi!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun