“Tapi aku tak merasa kalau mereka jatuh cinta… Tulisannya kurang memberikan feel, apa karena mereka belum berciuman, ya?”
“Iya! Situasi cintanya memang keren! Tapi, apa bakalan begini terus, ya?”
“Eh! Upacara sudah mau dimulai ayo buruan!”
“Iya! Iya! Aku mau lihat Aubrey, aku enggak mau kelewatan berdiri di depan!! Ayo cepetan!!” Perlita terdiam sembari membuka pintu toiletnya, dan menatap kaca wastafel, menatap dirinyaa, tubuhnya yang tinggi, kulitnya yang putih, rambut poninya, serta mata kecil dibalik lensa.
“Apa yang mereka bilang adalah benar, bagiku yang tidak mengerti tentang cinta, mungkin terlalu mustahil untuk menulis novel tentang cinta…”
Perlita perlahan berjalan keluar kamar mandi, didepan sudah ada Devin yang menunggunya sedari tadi, rambut yang acak-acakan, baju yang awut-awutan. Namun orang yang begitu mengerti dia. Devin perlahan mendekat kearah Perlita dan menggenggam kedua tangan Perlita.
“Upacara sudah dimulai, apa kau sakit?” Tanya Devin, ia menatap sepupunya dengan penuh kekhawatiran,
“Tidak, aku baik-baik saja…”
“Kau tidak perlu memaksakan diri untuk menulis novel cinta, kau jadi aneh semenjak menulis novel itu, bukankah orang-orang masih menyukai tulisan Perlita, meski bukan tentang cinta?”
Perlita terdiam sembari terus melangkah bersama Devin menuju ruang upacara. Hingga upacara dimulai ia terus terdiam, dan memikirkan apa yang dikatakan oleh Devin kepadanya “Aku sudah tidak bisa mengancam Aubrey, aku juga tak mengenal apa itu cinta. “
“Mari kita sambut ketua osis kita Aubrey Altaf!!!”