Mohon tunggu...
Kemarau Basah
Kemarau Basah Mohon Tunggu... -

http://kemaraubasah.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kertas Putih

29 April 2014   16:18 Diperbarui: 13 Juli 2015   19:06 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang harinya matahari bersinar cerah. Dea berkunjung ke rumah kakak ketiganya di Selatan Jakarta seperti yang sering dilakukannya pada hari libur. Rumah itu sedang sepi. Keponakannya, sepasang anak laki-laki kembar berumur empat tahun, tengah tidur siang di dalam kamar. Desi muncul di pintu kamar keluarga membawa dua gelas es teh lemon dan sepiring potongan kentang goreng di atas nampan.

"Bayangkan, hari libur seperti ini, anak-anaknya hanya berdiam di rumah. Dia tak peduli."

Dea belum bicara sepatah kata pun. Belakangan percakapan mereka selalu diawali tentang kehampaan rumah tangga Desi dan kadang diakhiri pula dengan hal sama. Dea biasanya memberikan dukungan moril berupa ungkapan-ungkapan bijak yang menyemangati namun kali ini dia lebih banyak tersenyum, menggelengkan kepala, menghela napas dan mendengarkan penuh empati lalu berucap singkat, 'ya,' 'memang,' atau 'kau benar,' pikirannya telah penuh oleh perenungan semalam.

Perjalanan rumah tangga Desi mirip dengan ibu mereka, hanya enam kali lebih dipercepat. Pernikahan lima tahun lalu itu langsung terguncang pada tahun ketiga oleh kebohongan, pengkhianatan dan kemudian didera oleh ketidakadilan. Sampai saat ini hanya Dea yang mengetahui keadaan tersebut, Desi masih menutupinya dari yang lain termasuk sang ibu. Seperti ibunya, Desi memilih bertahan dan berharap akan sebuah perubahan. Namun itu akan menjadi sebuah keajaiban menurut pikiran Dea.

Kalimat itu melenggang di benak Dea. Sekarang mereka bebas menentukan pilihan, mereka terpelajar dan lebih dewasa. Ina, Dona, Desi dan Dea sendiri, memilih nasib mereka masing-masing. Seharusnya mereka juga dapat mengubahnya.

"Aku tak ingin menjadi seekor keledai yang jatuh ke dalam lubang yang sama tempat terperosok keledai lainnya," pikir Dea, "Betapa pun tak berdosanya si keledai."

"Hai! Boleh saya duduk di sini?" laki-laki dengan rambut acak seperti tak tersisir sehabis mandi itu terlihat ragu lalu berdeham, "Saya sedang menghindari ruang berpendingin."

"Silakan. Tak apa."

Dea tersenyum. Laki-laki itu tampak sungguh-sungguh, dia langsung meletakkan baki makanan dan minuman ringannya di atas meja, menaruh tas ke kursi kosong di samping, duduk di hadapannya lalu mengeluarkan sebuah laptop kerja ukuran besar. Dia sibuk dengan benda itu untuk beberapa saat sambil menyeruput minumannya.

"Maaf," laki-laki itu melirik ke mata Dea, "Jadi penuh dan agak berantakan," seraya mencoba merapikan barang-barangnya di atas meja.

Sekali lagi Dea menyunggingkan senyum. Laki-laki ramping itu mengenakan kemeja flanel biru kotak-kotak dengan kancing dilepas, kaus putih dan celana jins hitam, sudah ketinggalan zaman, mirip mode pakaian teman laki-lakinya saat SMA dulu. Meskipun penampilannya tidak parlente serta kurang dewasa, Dea menilai umur laki-laki itu tak berbeda jauh dengannya. Bahkan sikap acuhnya pun menandinginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun