Namun dari semua laki-laki yang dikenalnya, kawan dekat, teman lama, rekan kerja maupun yang diperkenalkan orang lalu jatuh hati kepadanya, belum ada yang membuat Dea berpikir untuk segera mengakhiri masa lajangnya dan memulai hidup baru. Meski tak mudah, persyaratan Dea sangat sederhana, laki-laki itu harus dapat melenyapkan keraguan di hatinya. Kemapanan, kecerdasan, penampilan menarik atau proporsional secara fisik sudah biasa dia temui dalam hidupnya, Dea membutuhkan hal lain yang jauh bernilai dan asing baginya, sesuatu yang secara bawah sadar dirindukannya. Tanpa itu dia memilih untuk sementara tidak menetapkan jodohnya.
"Ma, ...," namun Dea berhenti. Kata-kata selanjutnya tertahan di mulutnya. Sudah menjadi sifatnya untuk mempertimbangkan dengan cepat tutur katanya sebelum bicara.
"Ma, kita sambung lagi besok, ya? Dea capek, baru pulang dan tadi macet banget di jalan."
Sekarang ini bukan zaman televisi hitam putih ketika anak perempuan biasa dijodohkan oleh orang tuanya, seperti yang dialami ibunya sendiri. Menurut sang ibu, saat itu dia tidak mengalami cinta pada pandangan pertama. Namun ketika pertama kali diperkenalkan, Dewi remaja memang mengagumi calon pendampingnya, seorang teknisi Geodesi. Laki-laki muda itu datang dari pulau Jawa dan bekerja di perusahaan minyak nasional yang mengambil alih tambang perusahaan Belanda di kampung Prabumulih. Kekagumannya lebih seperti saat melihat pertama kali seorang guru peranakan Eropa turun dari kapal di tepi Sungai Musi waktu kanak-kanak dulu. Ayah Dea muda itu datang mengenakan kemeja, jas dan celana panjang putih dengan rambut diminyaki dan tersisir rapi tetapi tanpa topi atau tas jinjing.
Tidak sulit kemudian bagi Dewi menerima lamaran laki-laki pendatang itu. Dia masih belia dan mengikuti saja pendapat orang tua dan keluarga besarnya yang langsung memercayai sepenuhnya laki-laki terpelajar dan ramah yang baru mereka kenal. Pilihan itu membahagiakannya sejak awal. Satu set televisi hitam putih terpasang dalam lemari kayu menjadi barang mewah pertama mereka. Ayah Dea sangat mencintai sang istri dan dengan penuh semangat berusaha memberikan semua yang terbaik.
Karir ayah Dea melesat naik. Laki-laki itu segera menjadi salah satu staf pimpinan di kantornya. Demikian pula di lingkungan rumah tangganya, beliau menjadi pemimpin di tengah keluarga besar mereka di Sumatera dan Jawa. Setiap ada acara penting seperti pernikahan, perayaan hari raya, penjualan tanah warisan, hingga pembukaan usaha keluarga, ayah Dea selalu ditunggu dan menjadi pengambil keputusan, tidak ada pendapatnya yang diabaikan. Namun ketika sang ayah diketahui kawin lagi secara diam-diam, semua itu berubah.
Dea mencoba memejamkan matanya. Namun rasa capai dan pegal itu bercampur dengan pelbagai ungkapan dari orang-orang dekatnya. Dia malah tak dapat tidur, lalu beringsut dari ranjang, pergi ke dapur mencari segelas air putih. Sehari itu seakan-akan setiap orang menyirami pikirannya dengan masalah perjodohan. Dea beralih ke tengah ruangan, duduk di sofa dan merebahkan punggungnya.
"Dasar kau keras kepala!" Dea menatap wajah almarhum ayahnya dalam sebingkai foto keluarga di atas meja.
Tidak ada keluarga ibunya yang menerima pengkhianatan ayahnya. Mereka sangat menjunjung tinggi kejujuran, juga harga diri. Usaha mereka membuahkan hasil. Seiring menyurutnya limpahan minyak bumi pada akhir delapan puluhan, manajemen perusahaan memberhentikan ayahnya secara baik-baik dengan mempercepat waktu pensiunnya. Dia dinilai telah melanggar undang-undang dan etika bagi karyawan badan usaha milik negara. Adapun demi mempertahankan istri mudanya, ayah Dea menolak jalan damai yang lebih dulu ditawarkan atasannya.
Meski demikian alih-alih bercerai pada akhirnya ibunya juga memilih mempertahankan perkawinannya dan mengikuti ayah Dea pindah ke Jakarta. Bagaimanapun, Dewi mencintai laki-laki itu dan demi kepentingan yang lebih besar, dia merelakan diri untuk menelan sebuah pengkhianatan.
"Halo! Assalamualaikum." Dea mendengarkan jawaban melalui earphone-nya.