DURI LANDAK XIII
Aya sedang membersihkan lantai di depan kelas 2 A dengan alat pel. Rahman tiba-tiba mendekatinya dari belakang.
"Eh, Ay. Yang sebelah situ udah lo pel belom?" tanya Rahman menunjuk ke arah yang dimaksud.
Aya menatap ke arah itu dan menggeleng,
"Belom" Aya menatap Rahman, "Emangnya kenapa?"
"Pantes saja. Aku hampir terpleset jatuh di sana. Airnya masih tergenang. Kamu kalau ngepel kok lansung ngasih air sabun dimana-mana sih, Ay! Kan bisa bahaya. Kalau ada yang jatuh gimana? Cepat dibersihkan. " tegur Rahman.
Aya mengangguk tak peduli,
"Ya..ya!" Aya kembali memutar badannya melanjutkan kegiatannya yang semula sambil bergumam kesal, "Suka-suka aku dong, mau ngepel nih lantai seperti apa. Kenapa situ yang repot. Dasar Rahman cerewet!"
Rahman hanya bisa menghela nafas sambil geleng-geleng kepala melihat sikap tak acuh Aya,
"Susahnya jadi Ketua Kelas!" keluhnya seraya masuk ke dalam kelas.
Tidak jauh dari kelas Aya. Ivan dan Erick sedang berjalan santai sambil berbicara. Mereka menyusuri lorong sekolah tanpa mempedulikan tatapan dan seruan histeris dari beberapa siswi. Sementara Pengawal Ivan berjaga-jaga mengikuti mereka.
"Sumpah janji junior?" tanya Ivan.
"Yap! Ini adalah aturan yang wajib kau ketahui, Bro. Hal yang membuat kita para senior, memiliki kekuasaan ibarat raja." jawab Erick. Erick lalu tertawa nyengir pada Ivan, "Yah, setidaknya di sekolah ini." sambungnya.
Ivan tersenyum kecil,
"Ada-ada saja. Aku rasa sumpah janji bodoh seperti itu tidak aku perlukan." wajah Ivan berubah masam, "Apa kau lupa kalau aku sudah memilikinya."
"Yah, mungkin kau benar. Tapi bukankah kau sendiri yang bilang bahwa ketika kau memasuki sekolah ini maka kau bukan lagi seorang Putra Mahkota melainkan murid biasa seperti kami semua. Kau ingin diperlakukan sama dan setara. Ingatkan?!" kata Erick.
Ivan berhenti seketika dan menatap Erick dengan ekspresi tertarik,
"So do you think I will get that's all in this school?" tanya Ivan penasaran.
Tiba-tiba lewat Pak Disiplin. Pak Disiplin yang melihat Ivan lansung menundukan badannya memberi hormat.
"Se...selamat pagi, Yang Mulia Pangeran! Saya harap Yang Mulia sehat-sehat saja hari ini." sapa Pak Disiplin.
Ivan tersenyum ramah pada Pak Disiplin,
"Selamat pagi, Pak. Saya sehat-sehat saja. Terima kasih."
"Syukurlah kalau begitu, Yang Mulia" kata Pak Disiplin menegakan badannya. Pak Displin lalu menatap ke arah Erick, "Erick! Kamu harus mengantar Yang Mulia Pangeran melihat-lihat sekolah ini dengan baik. Jangan sampai ada yang ketinggalan. Mengerti" perintah Pak Disiplin.
Erick mengangguk,
"Mengerti, Pak. Bapak tenang saja." jawab Erick.
Pak Disiplin melihat seragam Erick yang tidak rapi. Wajahnya berubah galak seketika,
"ERICK! Berapa kali Bapak katakan! Di lingkungan sekolah, seragammu harus selalu rapi. Jangan berantakan. Ingat. Kamu adalah masyarakat ilmiah, bukan alamiah. Rapikan sekarang seragammu itu" tegur Pak Disiplin.
Erick dengan gugup segera merapikan seragamnya yang memang sedikit berantakan. Sementara Ivan hanya tersenyum kecil menyaksikan hal itu.
Erick menatap Pak Disiplin dengan wajah cemberut,
"Bapak tidak adil!" Erick menunjuk seragam Ivan, "Ivan kan seragamnya juga tidak rapi, Pak. Masa cuma saya saja yang dimarahi" protes Erick.
Pak Disiplin melotot pada Erick,
"Hus!" katanya. Pak Disiplin lalu menatap Ivan dan tersenyum dengan ramah,"Maafkan saya, Yang Mulia. Tapi bisakah anda juga merapikan seragam anda? Saya yakin kalau anda tidak sengaja membuat seragam anda menjadi tidak rapi." kata Pak Disiplin penuh hormat.
Erick menatap Pak Disiplin dengan wajah melotot tak percaya. Sementara Ivan tersenyum ramah dan menganggukan kepalanya,
"Maaf, Pak" katanya merapikan seragamnya.
Pak Disiplin tersenyum pada Ivan,
"Tidak apa-apa, Yang Mulia. Kalau demikian saya permisi dulu, Yang Mulia Pangeran." kata Pak Disiplin sambil mengangguk penuh hormat.
Ivan ikut mengangguk mempersilahkan.
Pak disiplin lalu berlalu dari hadapan mereka, meninggalkan Erick yang menatap kepergiannya dengan wajah kesal. Erick lalu mengalihkan pandangannya pada Ivan, yang sedang berusaha menahan tawanya.
"You know, Bro. The answer for your question... is BIG NO!" katanya geram.
Erick melanjutkan langkahnya dengan kesal, meninggalkan Ivan yang tertawa kecil mengikutinya.
Erick tanpa sengaja menyenggol seorang siswa yang sedang membaca di depan kelasnya, dengan keras, hingga membuat buku yang dibaca siswa itu jatuh. Siswa itu lansung memutar badannya galak,
"Eh, kalau jalan hati-hati dong!" teriaknya.
Erick menatap siswa itu dengan ekspresi santai,
"Kau bilang apa barusan?" tanyanya.
Siswa itu menyadari kalau yang menabraknya adalah seniornya dan wajahnya berubah gugup. Ia menundukan kepalanya,
"Maaf, Senior. Saya hanya minta Senior untuk berhati-hati" jawabnya.
Erick pura-pura jengkel,
"Kau minta aku untuk berhati-hati? Memangnya kesalahanku apa?" tanyanya dengan ekspresi tak berdosa.
Siswa yang ditanyanya menunduk takut-takut,
"Tadi..tadi.. Senior menabrak saya dan hampir membuat saya jatuh Senior" jawabnya.
Erick mendekatkan wajahnya dan menatap siswa itu lekat-lekat.
"Jadi aku menyenggolmu?"tanyanya.
Siswa itu kembali mengangguk.
"Itu kesalahanku?" tanya Erick lagi.
Siswa itu kembali mengangguk dengan tubuh mulai gemetaran.
Erick menegakan badannya dengan wajah jengkel,
"Wah...wah...wah, kelihatannya kau lupa dengan sumpah janji junior. Kalau begitu biar kusegarkan ingatanmu. Coba sebutkan isi pasal pertama?" tanya Erick.
"Senior tidak pernah salah" jawab murid itu dengan suara pelan sambil menundukan kepalanya.
"AAIIIIHH! MANA TENAGAMU! Aku tidak bisa mendengarnya. Kau itu pria atau bukan?! Pakai tenaga dong. Tegakan badanmu dan ucapkan isi PASAL 1!" perintah Erick.
Siswa itu lansung bersikap siap sempurna dan berteriak dengan lantang,
"SENIOR TIDAK PERNAH SALAH!"
"Pasal 2?"
"KALAU SENIOR SALAH, KEMBALI KE PASAL 1!"
Erick kembali mendekatkan wajahnya pada siswa itu dan menatapnya dengan senyum manis penuh ancaman,
"Kalau begitu tadi itu salah siapa?" tanyanya.
"SALAH SAYA, SENIOR!" jawab murid itu lantang sambil menundukan kepalanya.
Erick tersenyum senang dan menepuk-nepuk pelan pipi siswa itu,
"Nah.. gitu dong. Gue suka gaya lo" kata Erick.
Ivan hanya bisa tersenyum kecil melihat kejahilan sepupunya itu. Tanpa mempedulikan ulah Erick, ia kembali meneruskan langkahnya. Baru beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba saja kakinya menginjak air sabun yang ada di lantai dan ia pun jatuh terpeleset.
Semua seakan terjadi dalam gerakan lambat. Ivan terjatuh dengan posisi terlentang. Semua murid yang ada di sekitar tempat itu, spontan memekik dan menjerit melihat kejadian itu. Mereka melotot dengan mulut ternganga. Erick dengan cepat berlari mendekati Ivan. Demikian juga dua pengawal Ivan.
"Bro? Kau baik-baik saja?!" tanya Erick panik sambil belutut di sisi Ivan, membantunya berdiri.
"Yang Mulia?! Anda tidak apa-apa?!" panggil kedua Pengawalnya dengan nada yang tak kalah cemasnya.
"Saya akan segera memanggil ambulan" kata seorang Pengawalnya yang sehari-hari bertugas sebagai sopirnya.
Pengawalnya itu mengeluarkan hp nya. Namun sebelum ia memencet nomor manapun, tangan Ivan menghalangi tangannya.
"Jangan. Tidak perlu" larang Ivan.
Ivan perlahan berdiri dibantu oleh Erick dan kedua pengawalnya. Wajahnya meringis kesakitan sambil memegangi pinggangnya. Ivan mencoba tersenyum menenangkan pengawalnya dan Erick,
"Aku tidak apa-apa. Hanya pinggangku sedikit sakit. Tapi aku tidak apa-apa" katanya pada Erick.
Sementara itu, Rahman yang menyaksikan kejadian itu dari pintu kelas, dengan gemetar memanggil-manggil Aya, yang sepertinya tidak menyadari kalau ulahnya yang bermalas-malasan membersihkan lantai di depan kelasnya, telah berakibat buruk. Aya masih asyik mengepel sambil bersenandung kecil.
"Aya... Ayaa" panggil Rahman gemetar.
Aya menghentakkan alat pelnya ke lantai dan menatap Rahman dengan wajah kesal,
"Iya..iyaaa! Cerewet amat sih jadi cowok! Nih aku pel nih. Biar kamu puas!" katanya kesal sambil memutar badannya, bermaksud untuk membersihkan genangan air yang telah membuat Ivan terjatuh.
Ketika itulah Aya melihat Ivan, Erick dan pengawal-pengawalnya berdiri dalam jarak 3 kaki darinya. Aya menjerit tertahan dengan mata melotot ketakutan. Aya seketika memutar badannya dengan wajah pucat, mencoba untuk menghindar. Aya berjalan pelan setengah berjinjit, mencoba untuk melarikan diri. Erick tiba-tiba mengalihkan pandangannya pada Aya dan menatap punggungnya geram,
"Kau pikir kau mau lari kemana?!" panggil Erick tajam.
Aya membeku seketika. Badannya bergetar keras sambil memegangi alat pelnya. Dengan suara tertahan Aya menjawab,
"Saya... saya... tidak kemana-mana, Senior"
Erick menatap punggung Aya curiga,
"Balikkan badanmu!" perintah Erick.
Alat pel yang dipegang Aya bergetar semakin keras. Aya tambah ketakutan. Wajahnya pucat pasi. Riska yang penasaran dengan suara ribut di luar kelas, keluar dari kelas dan berdiri di sebelah Rahman. Dia terkejut melihat situasi yang dialami Aya. Riska menjerit tertahan.
Aya tak kunjung memutar badannya menghadap Erick dan Ivan. Erick mengetuk-ngetuk pintu yang ada di dekatnya dengan jengkel,
"Hei! Kau dengar tidak?! Aku menyuruhmu untuk memutar badanmu!" panggil Erick galak.
Ivan menatap punggung Aya, yang terlihat semakin gemetar, dengan ekspresi kasihan. Sambil mengelus-elus pinggangnya yang sakit, Ivan menatap Erick,
"Sudahlah, Bro. Yang penting aku tidak apa-apa. Jangan diperpanjang masalah ini. Biarkan saja gadis itu pergi." kata Ivan.
"Kau yakin?" tanya Erick heran.
Ivan menganggukan kepalanya. Ia lalu menatap pengawal-pengawalnya dan tersenyum,
"Kalian pergilah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dan ku mohon, jangan mengikutiku kemana-mana. Aku bisa menjaga diriku sendiri."
"Tapi, Yang Mulia.." jawab Pengawalnya ragu.
"Aku tidak apa-apa. Apa kalian meremehkan fisikku?" tanya Ivan.
Kedua pengawalnya menggeleng.
"Kalau begitu pergilah. Ini perintah" tegas Ivan.
Kedua pengawalnya saling bertatapan dengan wajah ragu. Namun akhirnya mereka menundukan badan memberi hormat,
"Kami menerima titah Yang Mulia Pangeran" kata mereka serentak.
Kedua pengawal itu menganggukan kepala mereka dengan hormat pada Erick dan akhirnya berlalu pergi.
Erick mendekati Ivan,
"Kau 100% yakin kalau kau baik-baik saja?" tanyanya memastikan.
"Aku 1000% yakin kalau aku baik-baik saja" jawab Ivan tersenyum pada Erick. Ivan lalu menatap Aya yang masih gemetar ketakutan, "Biarkan saja dia pergi." katanya.
"Tapi, Bro, gadis itu tetap saja bersalah. Paling tidak ia harus minta maaf padamu" Erick menatap punggung Aya dengan jengkel, "Bukannya mencoba untuk melarikan diri."
"Tapi dia kan sudah bilang kalau dia tidak apa-apa, Senior. Buat  apa saya mesti minta maaf. Lagi pula salah saya apa?" protes Aya lemah.
Erick terlihat bertambah jengkel,
"Masih berani membantah lagi! Kesalahanmu adalah tidak mengerjakan tugasmu dengan benar. Sudah tahu kalau lorong ini adalah jalan umum. Bukannya cepat dibersihkan, tapi kau malah membiarkannya digenangi air sabun. Itu kesalahanmu!" kata Erick.
"Tapi kan saya sedang membersihkannya, Senior. Lagi pula dari tadi sudah banyak murid lain yang lewat di tempat ini. Tapi tidak satupun dari mereka ada yang jatuh. Salah sendiri jalan tidak pakai mata." Aya menunjuk ke depan pintu kelasnya, "Di sanakan ada papan segede gajah bertuliskan 'Be careful! Wet floor!' Apa Pangeran Ivan tidak bisa baca?!" bantah Aya lagi yang sama sekali merasa tidak bersalah.
Erick seakan tak percaya mendengar ucapan Aya.
"Kau berani juga ya! Sudah tahu salah, masih saja sempat memutar balikan fakta dan menyalahkan orang lain" Ekspresi wajah Erick berubah galak, "BALIK BADANMU!" perintahnya.
Ivan dan Erick menatap punggung Aya dengan ekspresi menunggu.
Aya hanya bisa menghela nafas pasrah. Perlahan Aya pun membalikan badannya menghadap Erick dan Ivan sambil menundukan kepalanya dengan lesu.
 Erick mengerutkan dahinya heran menatap Aya.
"Aya?!" serunya kaget.
Aya mengangkat kepalanya menatap Erick sambil tersenyum meringis,
"Selamat pagi, Senior Erick. Apa kabar?!" katanya melambaikan tangannya.
Erick memberikannya tatapan tak percaya,
"Kau masih bisa tersenyum?!"
Aya kembali menundukan kepalanya manyun,
"Mau bagaimana lagi, Senior. Walaupun saya menangis darah, tetap saja 'kepala akan melayang' " jawabnya lesu.
Erick benar-benar kehilangan kata-kata.
Sementara Itu Ivan memperhatikan Aya dengan seksama,
"Angkat kepalamu?!" perintah Ivan curiga.
Aya kembali mengangkat kepalanya dan menatap Ivan gugup.
Ivan terus mengamatinya. Tak lama semua ingatannya terbuka. Ia teringat saat Aya memukulnya dan saat Aya membentaknya di toko buku. Ivan menatap Aya dengan wajah tak percaya,
"KAU?! Kau gadis barbar itu kan?!" serunya kaget.
Erick dan anak-anak yang ada di sekitar mereka, heran mendengar ucapan Ivan. Sedangkan Ivan menatap Aya, yang menundukan kepalanya cemberut, dengan ekspresi penuh permusuhan.
KATE JAJA... "TU BI KONTINUED YEE."Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H