Dalam beberapa dasawarsa terakhir, tema keuangan inklusif telah menjadi salah satu topik studi keuangan yang menarik. Secara sederhana, keuangan inklusif dapat dimaknai sebagai suatu sistem layanan keuangan yang pengelolaannya bersifat universal atau nonekslusif. Yang dimaksud dengan universal atau nonekslusif adalah bahwa sistem keuangan yang ada dapat diakses oleh seluruh kelompok masyarakat, bukan hanya kelompok masyarakat menengah atas, tetapi juga kelompok masyarakat miskin. Umumnya, keuangan inklusif mengambil bentuk pembiayaan mikro dalam bentuk kredit usaha yang ditujukan pada usaha skala kecil dan menengah, baik perorangan maupun institusi.
Kemunculan konsep keuangan inklusif pada dasarnya dipengaruhi oleh praktek layanan keuangan yang dirasa diskriminatif dengan tidak memberi akses yang memadai terhadap kelompok masyarakat miskin. Mereka ini diabaikan oleh sistem keuangan karena dianggap tidak bankable. Padahal justru secara sosial-ekonomi, masyarakat miskin adalah kelompok masyarakat yang sangat memerlukan akses keuangan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Dengan bersifat diskriminatifnya sistem layanan keuangan, khususnya terhadap kelompok miskin, sistem layanan keuangan yang ada dianggap tidak mendukung terjadinya transformasi sosial dalam perekonomian.
Oleh karena itu, bergerak dari fenomena yang melatarinya, wacana keuangan inklusif sedikitnya memiliki dua tujuan, yaitu pertama, wacana keuangan inklusif bertujuan untuk mengoreksi paradigma lama di institusi keuangan, yang umumnya mengekslusi kalangan miskin atau nonbankable dari akses layanan keuangan. Yang kedua, dalam wacana keuangan inklusif terdapat suatu niatan untuk memasukkan kembali pihak yang selama ini terekslusi atau tersingkir dari institusi keuangan sebagai pihak yang pantas menikmati layanan keuangan (Wahid, 2014).
Yang menarik, fenomena pengekslusian kelompok miskin dari akses layanan keuangan tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga di negara-negara yang ekonominya maju. Sebagaimana dituliskan oleh Klaper, et.al (2012) bahwa di negara-negara ekonomi maju sedikitnya ada satu dari lima orang dewasa yang masih belum teregistrasi di lembaga keuangan formal.
Atau dengan kata lain, orang itu belum memiliki akun bank. Konsekuensi dari hal ini adalah orang yang belum teregistrasi di lembaga keuangan formal itu belum dapat mengakses produk-produk keuangan yang ada, seperti tabungan, kredit, investasi, dan instrumen proteksi, yang sejatinya dibutuhkan untuk menaikkan taraf hidupnya.
Sedangkan di Indonesia, berbagai survey yang ada menunjukkan temuan yang negatif. Hasil survey Bank Dunia pada 2010 menunjukkan bahwa hanya 49 persen rumah tangga Indonesia yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal. Pada 2011 Bank Dunia kembali mengadakan survey yang hasilnya memperihatkan bahwa hanya 20 persen orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening di lembaga keuangan resmi. Dibandingkan negara-negara ASEAN yang lain, Indonesia relatif tertinggal.
Dalam aspek “orang dewasa yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal”, capaian Indonesia masih kalah dari Filipina (27 persen), Malaysia (66 persen), Thailand (73 persen) dan Singapura (98 persen). Studi lainnya yang dilakukan oleh Master Card pada 2013 menunjukkan hasil yang sama. Dari hasil studi terlihat bahwa index financial acces Indonesia pada 2013, yang sebesar 60 poin, masih kalah jika dibandingkan dengan Singapura (72 poin), Malaysia (70 poin), Thailand (68 poin) dan Vietnam (63 poin).
Hasil-hasil survey di atas mengindikasikan bahwa sistem layanan keuangan di Indonesia masih memiliki masalah yang serius dalam hal pengembangan akses dan pendalamannya. Seseorang akan mengalami banyak kerugian apabila tidak terkoneksi dengan sektor keuangan formal, yang salah satunya adalah tidak terhubungnya orang tersebut dengan sumber pembiayaan alternatif yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraannya. Oleh karena itu, dari sini disadari perlunya kebijakan politik ekonomi yang dapat meningkatkan aksesibilitas dan pendalaman sektor keuangan Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, sekup sektor keuangan nasional yang belum aksesibel dan tidak mendalam pada dasarnya dapat dianalisis dari sisi penawaran (supply side) dan permintaan (demand side). Sebagaimana dijelaskan oleh Wahid (2014), dari sisi penawaran, kondisi penawaran di pasar keuangan sejatinya lebih kecil kuantitasnya dari yang dibutuhkan oleh pasar. Dalam kondisi yang demikian, kelompok miskin atau rakyat kecil akan senantiasa berada di posisi yang kalah. Implementasi prinsip kehati-hatian (prudentiality) yang terlalu kaku membuat kelompok miskin tidak menjadi pasar yang menjanjikan bagi penyedia layanan sektor keuangan.
Selain itu, dalam konteks produk, desain produk keuangan yang ditawarkan oleh penyedia jasa keuangan masih ditujukan untuk kalangan menengah atas. Hal ini tercermin dari tingginya komponen biaya administrasi bulanan, yang apabila jumlah tabungan berada di bawah level tertentu, nominal saldonya bukan malah bertambah tapi malah akan terus berkurang, hingga akhirnya akan ditutup oleh sistem. Untuk itu diperlukan pengembangan produk-produk keuangan yang desainnya proporsional terhadap kalangan miskin atau rakyat kecil.
Kendala lain yang mengganggu wacana keuangan inklusif adalah problem spasial. Di pedesaan, jarak tempuh menuju institusi keuangan relatif jauh. Akan sangat tidak efesien bagi nasabah untuk harus pergi ke kecamatan hanya demi mencairkan dana sebesar Rp 100 ribu, misalnya. Paling tidak untuk menuju kecamatan nasabah perlu menempuh jarak sekitar 5-10 km dari tempat tinggalnya, yang apabila membutuhkan biaya perjalanan pulang-pergi sebesar Rp 15 ribu, dana riil yang diterimanya menjadi tidak utuh. Masalah infrastruktur keuangan faktanya memang masih menjadi kendala utama yang menghalangi perluasan akses dan pendalaman sektor keuangan di Indonesia.
Sementara itu, dari sisi permintaan (demand side), faktor penghambat perwujudan wacana inklusivitas keuangan yang paling utama terletak pada kesadaran dan pengetahuan masyarakat sendiri terhadap layanan keuangan. Pemahaman masyarakat Indonesia mengenai produk-produk keuangan masih relatif rendah. Berdasarkan temuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2013 didapati bahwa hanya 21.8 persen masyarakat Indonesia yang tergolong financial well literate.
Yang dimaksud dengan financial well literate adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang produk dan jasa lembaga keuangan, termasuk memahami risiko, hak dan kewajibannya, serta memiliki keterampilan menggunakan produk dan jasa lembaga keuangan. Kendala dari sisi permintaan yang lainnya adalah dalam wujud tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, khususnya di pedesaan, yang membuat belum tentu adanya pendapatan berlebih (setelah konsumsi) yang dapat diakumulasikan menjadi tabungan.
Kalaupun ada, perihal apakah kelebihan pendapatan tersebut besarannya layak atau tidak menjadi persoalan yang juga perlu diperhatikan. Fakta-fakta ini yang sekiranya menjadi hambatan laten di dalam mengakselerasi perluasan akses dan pendalaman sektor keuangan di Indonesia.
Untuk dapat menanggulangi serangkaian hambatan di atas, diperlukan adanya upaya pembenahan politik ekonomi yang sifatnya struktural atau menyeluruh agar inklusivitas keuangan dapat diakselerasi perwujudannya. Sebenarnya di Indonesia, upaya pendalaman sektor keuangan sudah dilakukan sejak 1983 yang ditandai dengan adanya kebijakan reformasi perbankan.
Reformasi perbankan, melalui kebijakan deregulasi, pada waktu itu didapati memiliki dampak yang positif terhadap pendalaman sektor keuangan. Perbaikan kedalaman finansial kala itu terlihat dari ukuran rasio M2/GDP yang terus meningkat, dari 20 persen (1984) menjadi 35 persen (1989). Hasil yang sama juga terlihat dari studi yang dilakukan oleh IMF pada 1991 yang menunjukkan adanya tingkat monetisasi yang tinggi, ini diindikasikan dari besaran elastisitas pendapatan terhadap peredaran uang M1 (jumlah uang beredar dalam definisi sempit, yakni uang kartal dan giral) yang memiliki angka sebesar 1,16.
Di sisi lain, dari studi IMF juga dideteksi adanya peningkatan kecepatan peredaran uang dalam arti luas (broad money), perhitungan elastisitas pendapatan jangka panjang menunjukkan angka 1.58 yang berarti menunjukkan tingginya tingkat tabungan. Liberalisasi sektor keuangan yang dilakukan oleh otoritas moneter pada waktu itu dirasa sudah cukup memberikan iklim yang kondusif.
Namun uniknya, sebagaimana disampaikan oleh Prasentiantono, di saat-saat yang demikian itu tetap saja didapati praktek-praktek keuangan yang tidak sehat, yang didasari oleh, meminjam kalimat Wahid, perilaku adverse selectiondan moral hazard dalam penyaluran kredit perbankan nasional. Inilah yang kemudian menahan, atau bahkan menarik kembali, perkembangan sektor keuangan ke bawah.
Salah satu bentuk praktek keuangan yang tidak sehat, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, terlihat dalam hal operasionalisasi Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) pada waktu itu yang didapati menyerupai pola kerja sektor informal (baca: renternir). Padahal, sebagai salah satu produk reformasi perbankan, tujuan performatif didirikannya institusi BPR adalah untuk melindungi kepentingan nasabah, khususnya kelompok miskin, dari cengkraman sektor keuangan informal (baca: rentenir) yang umumnya menerapkan tingkat bunga kredit sangat tinggi yang menyulitkan nasabah. Di sisi lain, praktek keuangan informal masih belum dapat dihilangkan karena keunggulannya dalam hal tingkat fleksibilitas yang tinggi.
Yang dimaksud dengan kemampuan fleksibilitas yang tinggi adalah calon kreditur seringkali tidak diwajibkan memenuhi standar/kriteria yang rumit, bahkan terkadang kreditur diberikan kredit tanpa agunan, asalkan mau menjual hasil kerjanya kepada sang rentenir dengan harga yang rendah (pola ini dikenal juga dengan istilah rent-seeking).
Pola bisnis sektor informal yang fleksibel semacam ini tentu berbeda dengan BPR, yang walaupun ruang lingkupnya lebih kecil dibanding bank umum, namun tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kreditnya. Yang seringkali, karena terlalu terfokus pada prinsip kehati-hatian ini, malah menyebabkan BPR terlalu rigid atau tidak fleksibel. Persoalan adverse selection dan moral hazard yang menyebabkan tingginya risiko dari kredit membuat BPR mengenakan tingkat suku bunga kredit yang masif. Dengan demikian, tujuan performatif pendirian BPR dari banyak kasus belum lagi dapat terwujudnyatakan.
Kalau dianalisis, diekslusinya kelompok berpendapatan rendah dari sistem layanan keuangan formal adalah dikarenakan hambatan prosedural. Kelompok ini dianggap tidak memiliki jaminan (collateral) yang cukup yang memungkinkannya untuk mengakses layanan keuangan, misalnya kredit. Yang kalaupun diberikan, penyaluran kredit ke kelompok miskin ini akan diikuti oleh pengenaan tingkat bunga yang tinggi, sebagaimana kasus BPR yang diuraikan di atas, sehingga kredit yang diperoleh justru malah akan menimbulkan persoalan baru bagi mereka.
Hanya apapun kondisinya, kredit dibutuhkan untuk memulai, atau bahkan mengembangkan usaha, sebagai bagian dari upaya peningkatan taraf hidup. Itu kenapa meskipun tingkat bunga sektor informal tinggi, ia tetap menjadi sumber pembiayaan alternatif bagi kalangan miskin selama ini. Kondisi yang semisal ini dapat dinamakan lingkaran setan.
Di satu sisi, kredit pembiayaan diperlukan, tetapi di sisi yang lain kalau diperoleh, karena tingkat bunganya yang tinggi, justru menjadi masalah baru yang semakin memberatkan kedudukan rakyat kecil. Dalam kondisi ini analisis Hernando De Soto dapat dikedepankan. De Soto meyakini bahwa kelompok miskin bukannya tidak memiliki aset, tapi aset yang mereka miliki umumnya bersifat aset mati atau death capital. Aset-aset yang dipunyai oleh kelompok miskin, khususnya yang ada di desa, umumnya dibuktikan lewat kepemilikan girik atau Surat Keterangan Tanah (SKT) yang sejatinya bukan merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah.
Kepemilikan girik, secara legal, tidak memenuhi UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan demikian, kelompok miskin dihadapkan dengan hambatan legal atas aset-aset yang mereka miliki sehingga tidak memenuhi kriteria/standar prosedural sektor keuangan formal. Untuk itu, aset-aset tersebut butuh untuk dihidupkan kembali, terutama untuk memenuhi aspek legalitasnya, yang menurut De Soto dapat dilakukan melalui kebijakan sertifikasi atau paperisasi aset-aset tersebut (kalau di Indonesia dalam bentuk Sertifikat Hak Milik).
Melalui sertifikasi atau paperisasi, kelompok miskin memenuhi kriteria lembaga keuangan sebagai pasar yang potensial, sehingga tingkat risikonya menjadi lebih rendah. Hal ini berdampak pada pengenaan biaya layanan keuangan yang lebih rendah terhadap kalangan miskin, misalnya tingkat bunga kredit usaha menjadi lebih kecil. Dengan kata lain, kebijakan sertifikasi ataupun paperisasi akan memberi kelompok miskin kesempatan yang sama dengan kelompok menengah atas, terutama dari aspek legal, untuk dapat menikmati layanan keuangan dari sektor keuangan formal yang berkembang dengan sangat masif dewasa ini.
De Soto menyakini kebijakan sertifikasi akan mendorong kedalaman sektor keuangan. Dalam konteks ekonomi pembangunan, tesis De Soto ini agaknya sesuai pendapat Adelman yang menyatakan bahwa upaya pembangunan akan efektif apabila disiapkan terlebih dahulu perangkat atau prakondisinya, yang oleh Adelman prakondisi tersebut dimaknai dengan upaya redistribusi harta (baik tanah ataupun modal fisik lainnya) ke kelompok miskin.
Hanya, menurut penulis, kebijakan sertifikasi ataupun paperisasi adalah upaya yang perlu, tapi belum cukup untuk mewujudkan inklusivitas keuangan. Celah yang belum dieksplorasi lebih jauh adalah, bagaimana bila kondisinya setelah sertifikasi ternyata nilai aset tersebut rendah sehingga kalaupun dijaminkan ke lembaga keuangan formal, kelompok miskin hanya memperoleh proporsi yang kecil dari jumlah kredit pembiayaan yang diajukannya?
Dalam konteks Indonesia, misalnya, sebagian besar kelompok masyarakat miskinnya berkerja di sektor pertanian. Mayoritas petani Indonesia tergolong ke dalam kelompok petani gurem, yakni kelompok tani dengan kepemilikan lahan tanam yang kecil (kurang dari 0.5 ha). Artinya, kalaupun disertifikasi, dengan luas lahan yang kecil, mereka akan hanya mendapatkan pembiayaan kredit yang minimal, yang mungkin tidak cukup untuk peningkatan taraf hidupnya.
Untuk mengatasi hal ini diperlukan kebijakan politik ekonomi yang berpihak kepada kelompok miskin, salah satunya dengan cara pengusahaan penjaminan kredit oleh pemerintah untuk menutupi gap tersebut. Di Indonesia pemerintahan SBY sebelumnya sudah pun merancang program asistensi kredit usaha untuk kelompok masyarakat lewat KUR. KUR adalah kredit dari perbankan dengan plafon kredit maksimal Rp 500 juta. Dalam skema penjaminan KUR, kredit yang dijamin oleh pemerintah mencapai 70 persen, selebihnya sebesar 30 persen menjadi tanggungan debitur. Realisasi program KUR didapati cukup baik.
Berdasarkan data Kemenkop, sampai dengan tahun 2013, program KUR sudah menyalurkan kredit sebesar Rp 133,84 triliun ke 9.85 juta pelaku UMKM, dengan tingkat NPL sebesar 3 persen. Untuk itu, program kredit ini perlu diperluas dan diperdalam dengan mengembangkan kredit KUR Mikro dengan syarat-syarat penyaluran kredit yang lebih fleksibel.
Institusi keuangan, khususnya Bank, didorong supaya mengalihkan modalnya yang disimpan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk diputar di sektor riil, khususnya dalam bentuk penyaluran kredit usaha untuk sektor UMKM. Agar ini dapat terwujud, pemerintah perlu meningkatkan dana penyertaan kreditnya di lembaga penjaminan kredit, seperti Askrindo dan Jamkrindo, yang dihubungkan dengan sektor perbankan.
Dengan gearing ratiosebesar 10 kali lipat, maka untuk setiap Rp 1 dana penyertaan pemerintah di lembaga penjaminan, akan menghasilkan kredit usaha mikro sebesar Rp 10. Oleh karena itu, daripada pemerintah harus membayar bunga yang besar pada instrumen SBI, lebih baik dana perbankan yang ada disana didorong untuk dialirkan ke sektor riil, misalnya dengan mengadakan insentif ekonomi. Hal ini karena, baik SBI maupun kredit usaha UMKM, pada dasarnya pemerintah sama-sama mengeluarkan biaya untuk keduanya. Kalau pada SBI, biayanya dalam bentuk bunga ke perbankan. Sementara itu, kalau pada kredit UMKM, biayanya dalam bentuk dana penjaminan kredit usaha.
Hanya, dari sisi manfaat sosial, jelas dana yang dikeluarkan untuk penjaminan kredit usaha lebih berarti besar karena digunakan untuk mendorong kegiatan ekonomi produktif di 39 juta unit UMKM yang mayoritas pelakunya adalah rakyat kecil. Penulis akan gambarkan situasinya, katakanlah ada dana perbankan yang disimpan di SBI sebesar Rp 200 triliun, dengan tingkat bunga sebesar 7 persen per tahun, ini berarti untuk setiap tahunnya pemerintah harus membayar Rp 14 triliun ke perbankan.
Menyadari besarnya dana yang vakum yang ada di SBI, pemerintah kemudian merumuskan insentif ekonomi, misalnya berupa pengurangan pajak, agar perbankan berkenan mengalirkan dananya yang vakum tersebut ke sektor riil. Lebih lanjut, perbankan pun menerima insentif yang ditawarkan oleh pemerintah sehingga mereka akan mendayagunakan dananya yang ada di SBI dalam bentuk kredit usaha UMKM. Katakanlah karena adanya intervensi dari pemerintah ini, dana yang ada di SBI berkurang menjadi Rp 100 trilun. Dengan tingkat bunga yang sama sebesar 7 persen, pemerintah membayar bunga sebesar Rp 7 triliun ke perbankan setiap tahunnya.
Sementara selisih Rp 7 triliun yang sebelumnya harus dibayar oleh pemerintah, dimasukkan ke lembaga penjaminan kredit. Dengan besaran dana penyertaan jaminan kredit sebesar Rp 7 triliun, maka jumlah kredit usaha UMKM yang bisa dijamin oleh pemerintah mencapai Rp 70 triliun. Selanjutnya dana sebesar Rp 70 triliun ini, melalui perbankan, dapat disalurkan dalam bentuk kredit usaha UMKM yang menggerakkan kegiatan produktif di 39 juta UMKM di Indonesia.
Dengan jumlah biaya yang sama besar, yakni Rp 14 triliun, pemerintah dapat mendorong pendalaman sektor keuangan secara lebih masif sehingga dampak sosial ekonomi yang dihasilkannya sangatlah positif bagi kesejahteraan masyarakat. Kredit mikro yang dijamin oleh pemerintah dalam bentuk KUR Mikro juga dapat ditujukan pada kelompok masyarakat yang sama sekali tidak memiliki aset produktif selain dirinya, usahanya dan kerja kerasnya. Untuk mereka yang tergolong ke dalam kelompok ini, pemerintah kiranya perlu untuk menggelontorkan subsidi dalam bentuk jaminan kredit perbankan.
Agar pelaksanaan program dapat berkelanjutan, secara persuasif perlu ditanamkan pemahaman bahwa kredit usaha yang diberikan bukanlah pemberian gratis, tapi harus dikembalikan dengan tingkat bunga tertentu. Artinya, ada kewajiban yang melekat dari pemberian kredit tersebut. Yang mana kewajiban tersebut akan dapat terlaksana dengan baik apabila mereka mampu mengolah kredit usaha yang didapatkan dengan usaha dan kerja keras. Mereka perlu disadarkan secara simpatik bahwa pemberian kredit di masa mendatang akan sangat ditentukan dari kesediaan dan kemampuan mereka untuk membayar kreditnya.
Yang dengan kata lain, meningkat atau tidak taraf hidupnya akan sangat dipengaruhi oleh akses permodalan yang dimilikinya. Kesadaran akan hidup, atau jaminan keberlangsungan hidup ini, oleh Muhammad Yunus, dikatakan jauh lebih penting daripada agunan apapun. Tegasnya, hidup matinya mereka sedikit banyak ditentukan dari aksesibilitasnya terhadap sumber pembiayaan. Paling tidak, kesadaran yang coba dimunculkan ini akan mengurangi kemungkinan timbulnya moral hazard dari debitur.
Grameen Bank yang dikembangkan oleh Muhammad Yunus di Bangladesh dapat menjadi contoh bagaimana kelompok miskin, yang tanpa aset produktif sama sekali, dapat diberdayakan sebagai kelompok nasabah yang produktif. Seperti yang dijelaskan Yunus di dalam bukunya, kinerja kredit Grameen Bank yang diukur dari berapa besarnya kredit macet atau nonperforming loan bahkan jauh lebih baik dari bank konvensional, yang model bisnisnya cenderung mengekslusi kelompok miskin.
Dengan cara-cara persuasif dan penyadaran yang efektif, Grameen Bank berhasil menunjukkan bahwa kelompok miskin sejatinya adalah kelompok yang potensial bagi sektor keuangan. Dengan demikian, kebijakan sertifikasi atau paperisasi yang diperkuat kredit dengan penjaminan dari pemerintah sejatinya dapat mengurai hambatan inklusivitas keuangan dari sisi permintaan (demand side), sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Sementara itu, untuk mengatasi hambatan dari sisi penawaran, khususnya yang terkait dengan problem spasial – yakni, ketersediaan infrastruktur keuangan, upaya optimalisasi akses dan pendalaman sektor keuangan dapat dilakukan melalui program layanan sektor keuangan tanpa kantor yang tengah menjadi tren baru dewasa ini. Keunggulan dari program ini, selain dari daya jangkaunya (proksimitas) yang luas, juga akan mengurangi biaya, karena investasi yang dikeluarkan oleh pihak lembaga keuangan tidaklah sebesar mendirikan kantor cabang baru. Sebenarnya di Indonesia, upaya penetrasi ini baru dilakukan lewat peresmian Program Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif atau Laku Pandai yang telah diresmikan Otoritas Jasa Keuangan pada periode Maret 2015 yang lalu.
Dalam operasionalnya, pihak lembaga keuangan dapat bekerja sama dengan pihak ketiga yang berperan sebagai agen. Agen ini yang nantinya akan menghubungkan lembaga keuangan dengan (calon) nasabah. Melalui agen, nasabah dapat mengakses produk-produk keuangan seperti tabungan, kredit mikro dan asuransi mikro. Untuk penarikan tabungan, misalnya, agen dapat langsung mencairkan asalkan besarnya nominal pencairan berada di bawah Rp 10 juta.
Dengan kata lain, keberadaan program ini membuat faktor jarak yang menghambat pendalaman sektor keuangan dapat diatasi. Disamping itu, melalui program Laku Pandai diperkirakan akan diperoleh tambahan tabungan nasional sebesar Rp 200 triliun, yang berarti lembaga sektor keuangan mendapatkan tambahan likuiditas dalam jumlah besar. T
erkait jumlah dana yang terhimpun ini, lewat kebijakan politik ekonominya, pemerintah dapat meminta pihak institusi keuangan terkait untuk mengarahkan dana pihak ketiga yang diperolehnya dari program Laku Pandai ke kelompok miskin dalam bentuk kredit mikro. Sehingga dengan demikian, pertambahan likuiditas ini akan memperkuat kapasitas institusi keuangan di dalam mendorong kegiatan perekonomian, khususnya kegiatan ekonomi skala mikro. Membesarnya likuiditas untuk kelompok miskin juga dapat membantu menurunkan tingkat suku bunga kredit yang dikenakan. Selain itu, kebutuhan jumlah agen dalam jumlah besar juga berdampak pada positifnya penyerapan tenaga kerja di daerah.
Sebagai kesimpulannya, upaya perwujudan keuangan inklusif dalam rangka menciptakan layanan keuangan yang universal, noneksklusif serta nondiskriminatif perlu untuk diperjuangkan. Dari tulisan ini dapat dirangkum beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya inklusivitas keuangan, yakni manfaat pertama, akses. Akses ke dalam permodalan akan dapat digunakan untuk memulai, atau bahkan mengembangkan, kegiatan usaha ekonomi produktif khususnya untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah.
Kendala penyerapan tenaga kerja yang rendah, yang selama ini masih menjadi kendala terbesar di Indonesia, kiranya dapat direduksi dengan adanya akses permodalan yang proposional bagi orang miskin. Ini sangat penting, sebab tingkat penyerapan tenaga kerja yang rendah berdampak pada rendahnya produktivitas. Yang mengakibatkan taraf hidup sebagian besar masyarakat menjadi rendah pula.
Manfaat kedua, terbukanya jaringan ke dalam sektor keuangan formal memungkinkan kalangan miskin dapat mengakses berbagai macam jenis kredit usaha, memanfaatkan berbagai opsi tabungan, plus memanfaatkan berbagai produk asuransi dengan persyaratan yang lunak. Manfaat ketiga adalah dalam hal biaya, terbukanya akses modal usaha ke sektor keuangan formal akan mereduksi ketergantungan kalangan miskin terhadap sumber pembiayan informal, seperti kelompok rentenir, yang seringkali menetapkan beban bunga pinjaman yang sangat tinggi.
Pola-pola yang dijalankan oleh kelompok rentenir ini sangat eksploitatif dan memberatkan kalangan miskin, sehingga menyulitkan mereka untuk dapat keluar dari lingkaran kemiskinan. Sementara itu, manfaat yang lebih makro dari perwujudan sistem keuangan yang inklusif adalah keseluruhan dana yang diperoleh (dari keseluruhan masyarakat) dan disimpan di dalam perangkat keuangan formal dapat dimanfaatkan untuk membiayai investasi nasional, seperti pembangunan infrastruktur.
Kegiatan ekonomi produktif dapat berlangsung dengan baik karena di dukung sisi permodalan yang kuat. Pelaksanaan pembangunan nasional tidak terus bergantung pada pinjaman luar negeri, oleh karena besaran tabungan nasional kita yang telah memadai untuk membiayai pengerjaan proyek-proyek nasional. Dengan memanfaatkan sumber dana domestik, nilai tambah yang kita hasilkan tidak mengalir keluar dalam bentuk pembayaran beban bunga dan pokok pinjaman ke luar negeri, tetapi nilai tambah tersebut akan dinikmati oleh rakyat sepenuhnya. Pendalaman sektor keuangan yang terjadi akan menguatkan stabilitas makroekonomi kita.
Perwujudan keuangan yang inklusif menjadikan sektor keuangan dapat berperan sebagai agen transformasi sosial yang efektif di dalam perekonomian. Dari sisi moneter, keuangan yang inklusif akan memperkuat pengaruh kebijakan moneter dalam mengantisipasi fenomena konjungtur (gejala resesi dan booming ekonomi yang sifatnya siklikal) di dalam perekonomian yang selama ini dirasa tidak terlalu efektif. Setidaknya sejumlah studi empiris mendapati temuan yang menunjukkan jika kebijakan moneter memang tidak terlalu efektif di negara berkembang yang karakteristik dari sektor keuangannya belum inklusif.
Padahal bersama-sama dengan kebijakan fiskal, kebijakan moneter dapat menjadi kebijakan yang efektif dalam mendorong pembagunan ekonomi nasional agar tetap berkelanjutan. Dengan demikian, mekanisme koreksi, baik yang berasal dari kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal, akan dapat berlangsung optimal. Oleh karena itu, wajarlah kalau dikatakan bahwa potret keuangan yang inklusif adalah masa depan sistem keuangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI