Dengan gearing ratiosebesar 10 kali lipat, maka untuk setiap Rp 1 dana penyertaan pemerintah di lembaga penjaminan, akan menghasilkan kredit usaha mikro sebesar Rp 10. Oleh karena itu, daripada pemerintah harus membayar bunga yang besar pada instrumen SBI, lebih baik dana perbankan yang ada disana didorong untuk dialirkan ke sektor riil, misalnya dengan mengadakan insentif ekonomi. Hal ini karena, baik SBI maupun kredit usaha UMKM, pada dasarnya pemerintah sama-sama mengeluarkan biaya untuk keduanya. Kalau pada SBI, biayanya dalam bentuk bunga ke perbankan. Sementara itu, kalau pada kredit UMKM, biayanya dalam bentuk dana penjaminan kredit usaha.Â
Hanya, dari sisi manfaat sosial, jelas dana yang dikeluarkan untuk penjaminan kredit usaha lebih berarti besar karena digunakan untuk mendorong kegiatan ekonomi produktif di 39 juta unit UMKM yang mayoritas pelakunya adalah rakyat kecil. Penulis akan gambarkan situasinya, katakanlah ada dana perbankan yang disimpan di SBI sebesar Rp 200 triliun, dengan tingkat bunga sebesar 7 persen per tahun, ini berarti untuk setiap tahunnya pemerintah harus membayar Rp 14 triliun ke perbankan.Â
Menyadari besarnya dana yang vakum yang ada di SBI, pemerintah kemudian merumuskan insentif ekonomi, misalnya berupa pengurangan pajak, agar perbankan berkenan mengalirkan dananya yang vakum tersebut ke sektor riil. Lebih lanjut, perbankan pun menerima insentif yang ditawarkan oleh pemerintah sehingga mereka akan mendayagunakan dananya yang ada di SBI dalam bentuk kredit usaha UMKM. Katakanlah karena adanya intervensi dari pemerintah ini, dana yang ada di SBI berkurang menjadi Rp 100 trilun. Dengan tingkat bunga yang sama sebesar 7 persen, pemerintah membayar bunga sebesar Rp 7 triliun ke perbankan setiap tahunnya.Â
Sementara selisih Rp 7 triliun yang sebelumnya harus dibayar oleh pemerintah, dimasukkan ke lembaga penjaminan kredit. Dengan besaran dana penyertaan jaminan kredit sebesar Rp 7 triliun, maka jumlah kredit usaha UMKM yang bisa dijamin oleh pemerintah mencapai Rp 70 triliun. Selanjutnya dana sebesar Rp 70 triliun ini, melalui perbankan, dapat disalurkan dalam bentuk kredit usaha UMKM yang menggerakkan kegiatan produktif di 39 juta UMKM di Indonesia.Â
Dengan jumlah biaya yang sama besar, yakni Rp 14 triliun, pemerintah dapat mendorong pendalaman sektor keuangan secara lebih masif sehingga dampak sosial ekonomi yang dihasilkannya sangatlah positif bagi kesejahteraan masyarakat. Kredit mikro yang dijamin oleh pemerintah dalam bentuk KUR Mikro juga dapat ditujukan pada kelompok masyarakat yang sama sekali tidak memiliki aset produktif selain dirinya, usahanya dan kerja kerasnya. Untuk mereka yang tergolong ke dalam kelompok ini, pemerintah kiranya perlu untuk menggelontorkan subsidi dalam bentuk jaminan kredit perbankan.
Agar pelaksanaan program dapat berkelanjutan, secara persuasif perlu ditanamkan pemahaman bahwa kredit usaha yang diberikan bukanlah pemberian gratis, tapi harus dikembalikan dengan tingkat bunga tertentu. Artinya, ada kewajiban yang melekat dari pemberian kredit tersebut. Yang mana kewajiban tersebut akan dapat terlaksana dengan baik apabila mereka mampu mengolah kredit usaha yang didapatkan dengan usaha dan kerja keras. Mereka perlu disadarkan secara simpatik bahwa pemberian kredit di masa mendatang akan sangat ditentukan dari kesediaan dan kemampuan mereka untuk membayar kreditnya.Â
Yang dengan kata lain, meningkat atau tidak taraf hidupnya akan sangat dipengaruhi oleh akses permodalan yang dimilikinya. Kesadaran akan hidup, atau jaminan keberlangsungan hidup ini, oleh Muhammad Yunus, dikatakan jauh lebih penting daripada agunan apapun. Tegasnya, hidup matinya mereka sedikit banyak ditentukan dari aksesibilitasnya terhadap sumber pembiayaan. Paling tidak, kesadaran yang coba dimunculkan ini akan mengurangi kemungkinan timbulnya moral hazard dari debitur.Â
Grameen Bank yang dikembangkan oleh Muhammad Yunus di Bangladesh dapat menjadi contoh bagaimana kelompok miskin, yang tanpa aset produktif sama sekali, dapat diberdayakan sebagai kelompok nasabah yang produktif. Seperti yang dijelaskan Yunus di dalam bukunya, kinerja kredit Grameen Bank yang diukur dari berapa besarnya kredit macet atau nonperforming loan bahkan jauh lebih baik dari bank konvensional, yang model bisnisnya cenderung mengekslusi kelompok miskin.Â
Dengan cara-cara persuasif dan penyadaran yang efektif, Grameen Bank berhasil menunjukkan bahwa kelompok miskin sejatinya adalah kelompok yang potensial bagi sektor keuangan. Dengan demikian, kebijakan sertifikasi atau paperisasi yang diperkuat kredit dengan penjaminan dari pemerintah sejatinya dapat mengurai hambatan inklusivitas keuangan dari sisi permintaan (demand side), sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Â Â
Sementara itu, untuk mengatasi hambatan dari sisi penawaran, khususnya yang terkait dengan  problem spasial – yakni, ketersediaan infrastruktur keuangan, upaya optimalisasi akses dan pendalaman sektor keuangan dapat dilakukan melalui program layanan sektor keuangan tanpa kantor yang tengah menjadi tren baru dewasa ini. Keunggulan dari program ini, selain dari daya jangkaunya (proksimitas) yang luas, juga akan mengurangi biaya, karena investasi yang dikeluarkan oleh pihak lembaga keuangan tidaklah sebesar mendirikan kantor cabang baru. Sebenarnya di Indonesia, upaya penetrasi ini baru dilakukan lewat peresmian Program Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif atau Laku Pandai yang telah diresmikan Otoritas Jasa Keuangan pada periode Maret 2015 yang lalu.Â
Dalam operasionalnya, pihak lembaga keuangan dapat bekerja sama dengan pihak ketiga yang berperan sebagai agen. Agen ini yang nantinya akan menghubungkan lembaga keuangan dengan (calon) nasabah. Melalui agen, nasabah dapat mengakses produk-produk keuangan seperti tabungan, kredit mikro dan asuransi mikro. Untuk penarikan tabungan, misalnya, agen dapat langsung mencairkan asalkan besarnya nominal pencairan berada di bawah Rp 10 juta.Â