Mohon tunggu...
Keiko Hubbansyah
Keiko Hubbansyah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S2 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Keuangan Inklusif: Masa Depan Sistem Layanan Keuangan

23 Juli 2016   15:41 Diperbarui: 23 Juli 2016   16:06 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kendala lain yang mengganggu wacana keuangan inklusif adalah problem spasial. Di pedesaan, jarak tempuh menuju institusi keuangan relatif jauh. Akan sangat tidak efesien bagi nasabah untuk harus pergi ke kecamatan hanya demi mencairkan dana sebesar Rp 100 ribu, misalnya. Paling tidak untuk menuju kecamatan nasabah perlu menempuh jarak sekitar 5-10 km dari tempat tinggalnya, yang apabila membutuhkan biaya perjalanan pulang-pergi sebesar Rp 15 ribu, dana riil yang diterimanya menjadi tidak utuh. Masalah infrastruktur keuangan faktanya memang masih menjadi kendala utama yang menghalangi perluasan akses dan pendalaman sektor keuangan di Indonesia.     

Sementara itu, dari sisi permintaan (demand side), faktor penghambat perwujudan wacana inklusivitas keuangan yang paling utama terletak pada kesadaran dan pengetahuan masyarakat sendiri terhadap layanan keuangan. Pemahaman masyarakat Indonesia mengenai produk-produk keuangan masih relatif rendah. Berdasarkan temuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2013 didapati bahwa hanya 21.8 persen masyarakat Indonesia yang tergolong financial well literate. 

Yang dimaksud dengan financial well literate adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang produk dan jasa lembaga keuangan, termasuk memahami risiko, hak dan kewajibannya, serta memiliki keterampilan menggunakan produk dan jasa lembaga keuangan. Kendala dari sisi permintaan yang lainnya adalah dalam wujud tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, khususnya di pedesaan, yang membuat belum tentu adanya pendapatan berlebih (setelah konsumsi) yang dapat diakumulasikan menjadi tabungan. 

Kalaupun ada, perihal apakah kelebihan pendapatan tersebut besarannya layak atau tidak menjadi persoalan yang juga perlu diperhatikan. Fakta-fakta ini yang sekiranya menjadi hambatan laten di dalam mengakselerasi perluasan akses dan pendalaman sektor keuangan di Indonesia.         

Untuk dapat menanggulangi serangkaian hambatan di atas, diperlukan adanya upaya pembenahan politik ekonomi yang sifatnya struktural atau menyeluruh agar inklusivitas keuangan dapat diakselerasi perwujudannya. Sebenarnya di Indonesia, upaya pendalaman sektor keuangan sudah dilakukan sejak 1983 yang ditandai dengan adanya kebijakan reformasi perbankan. 

Reformasi perbankan, melalui kebijakan deregulasi, pada waktu itu didapati memiliki dampak yang positif terhadap pendalaman sektor keuangan. Perbaikan kedalaman finansial kala itu terlihat dari ukuran rasio M2/GDP yang terus meningkat, dari 20 persen (1984) menjadi 35 persen (1989). Hasil yang sama juga terlihat dari studi yang dilakukan oleh IMF pada 1991 yang menunjukkan adanya tingkat monetisasi yang tinggi, ini diindikasikan dari besaran elastisitas pendapatan terhadap peredaran uang M1 (jumlah uang beredar dalam definisi sempit, yakni uang kartal dan giral) yang memiliki angka sebesar 1,16. 

Di sisi lain, dari studi IMF juga dideteksi adanya peningkatan kecepatan peredaran uang dalam arti luas (broad money), perhitungan elastisitas pendapatan jangka panjang menunjukkan angka 1.58 yang berarti menunjukkan tingginya tingkat tabungan. Liberalisasi sektor keuangan yang dilakukan oleh otoritas moneter pada waktu itu dirasa sudah cukup memberikan iklim yang kondusif. 

Namun uniknya, sebagaimana disampaikan oleh Prasentiantono, di saat-saat yang demikian itu tetap saja didapati praktek-praktek keuangan yang tidak sehat, yang didasari oleh, meminjam kalimat Wahid, perilaku adverse selectiondan moral hazard dalam penyaluran kredit perbankan nasional. Inilah yang kemudian menahan, atau bahkan menarik kembali, perkembangan sektor keuangan ke bawah.    

Salah satu bentuk praktek keuangan yang tidak sehat, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, terlihat dalam hal operasionalisasi Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) pada waktu itu yang didapati menyerupai pola kerja sektor informal (baca: renternir). Padahal, sebagai salah satu produk reformasi perbankan, tujuan performatif didirikannya institusi BPR adalah untuk melindungi kepentingan nasabah, khususnya kelompok miskin, dari cengkraman sektor keuangan informal (baca: rentenir) yang umumnya menerapkan tingkat bunga kredit sangat tinggi yang menyulitkan nasabah. Di sisi lain, praktek keuangan informal masih belum dapat dihilangkan karena keunggulannya dalam hal tingkat fleksibilitas yang tinggi. 

Yang dimaksud dengan kemampuan fleksibilitas yang tinggi adalah calon kreditur seringkali tidak diwajibkan memenuhi standar/kriteria yang rumit, bahkan terkadang kreditur diberikan kredit tanpa agunan, asalkan mau menjual hasil kerjanya kepada sang rentenir dengan harga yang rendah (pola ini dikenal juga dengan istilah rent-seeking). 

Pola bisnis sektor informal yang fleksibel semacam ini tentu berbeda dengan BPR, yang walaupun ruang lingkupnya lebih kecil dibanding bank umum, namun tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kreditnya. Yang seringkali, karena terlalu terfokus pada prinsip kehati-hatian ini, malah menyebabkan BPR terlalu rigid atau tidak fleksibel. Persoalan adverse selection dan moral hazard yang menyebabkan tingginya risiko dari kredit membuat BPR mengenakan tingkat suku bunga kredit yang masif. Dengan demikian, tujuan performatif pendirian BPR dari banyak kasus belum lagi dapat terwujudnyatakan.     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun