Kalau dianalisis, diekslusinya kelompok berpendapatan rendah dari sistem layanan keuangan formal adalah dikarenakan hambatan prosedural. Kelompok ini dianggap tidak memiliki jaminan (collateral) yang cukup yang memungkinkannya untuk mengakses layanan keuangan, misalnya kredit. Yang kalaupun diberikan, penyaluran kredit ke kelompok miskin ini akan diikuti oleh pengenaan tingkat bunga yang tinggi, sebagaimana kasus BPR yang diuraikan di atas, sehingga kredit yang diperoleh justru malah akan menimbulkan persoalan baru bagi mereka.Â
Hanya apapun kondisinya, kredit dibutuhkan untuk memulai, atau bahkan mengembangkan usaha, sebagai bagian dari upaya peningkatan taraf hidup. Itu kenapa meskipun tingkat bunga sektor informal tinggi, ia tetap menjadi sumber pembiayaan alternatif bagi kalangan miskin selama ini. Kondisi yang semisal ini dapat dinamakan lingkaran setan.Â
Di satu sisi, kredit pembiayaan diperlukan, tetapi di sisi yang lain kalau diperoleh, karena tingkat bunganya yang tinggi, justru menjadi masalah baru yang semakin memberatkan kedudukan rakyat kecil. Dalam kondisi ini analisis Hernando De Soto dapat dikedepankan. De Soto meyakini bahwa kelompok miskin bukannya tidak memiliki aset, tapi aset yang mereka miliki umumnya bersifat aset mati atau death capital. Aset-aset yang dipunyai oleh kelompok miskin, khususnya yang ada di desa, umumnya dibuktikan lewat kepemilikan girik atau Surat Keterangan Tanah (SKT) yang sejatinya bukan merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah.Â
Kepemilikan girik, secara legal, tidak memenuhi UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan demikian, kelompok miskin dihadapkan dengan hambatan legal atas aset-aset yang mereka miliki sehingga tidak memenuhi kriteria/standar prosedural sektor keuangan formal. Untuk itu, aset-aset tersebut butuh untuk dihidupkan kembali, terutama untuk memenuhi aspek legalitasnya, yang menurut De Soto dapat dilakukan melalui kebijakan sertifikasi atau paperisasi aset-aset tersebut (kalau di Indonesia dalam bentuk Sertifikat Hak Milik).Â
Melalui sertifikasi atau paperisasi, kelompok miskin memenuhi kriteria lembaga keuangan sebagai pasar yang potensial, sehingga tingkat risikonya menjadi lebih rendah. Hal ini berdampak pada pengenaan biaya layanan keuangan yang lebih rendah terhadap kalangan miskin, misalnya tingkat bunga kredit usaha menjadi lebih kecil. Dengan kata lain, kebijakan sertifikasi ataupun paperisasi akan memberi kelompok miskin kesempatan yang sama dengan kelompok menengah atas, terutama dari aspek legal, untuk dapat menikmati layanan keuangan dari sektor keuangan formal yang berkembang dengan sangat masif dewasa ini.Â
De Soto menyakini kebijakan sertifikasi akan mendorong kedalaman sektor keuangan. Dalam konteks ekonomi pembangunan, tesis De Soto ini agaknya sesuai pendapat Adelman yang menyatakan bahwa upaya pembangunan akan efektif apabila disiapkan terlebih dahulu perangkat atau prakondisinya, yang oleh Adelman prakondisi tersebut dimaknai dengan upaya redistribusi harta (baik tanah ataupun modal fisik lainnya) ke kelompok miskin.
Hanya, menurut penulis, kebijakan sertifikasi ataupun paperisasi adalah upaya yang perlu, tapi belum cukup untuk mewujudkan inklusivitas keuangan. Celah yang belum dieksplorasi lebih jauh adalah, bagaimana bila kondisinya setelah sertifikasi ternyata nilai aset tersebut rendah sehingga kalaupun dijaminkan ke lembaga keuangan formal, kelompok miskin hanya memperoleh proporsi yang kecil dari jumlah kredit pembiayaan yang diajukannya?Â
Dalam konteks Indonesia, misalnya, sebagian besar kelompok masyarakat miskinnya berkerja di sektor pertanian. Mayoritas petani Indonesia tergolong ke dalam kelompok petani gurem, yakni kelompok tani dengan kepemilikan lahan tanam yang kecil (kurang dari 0.5 ha). Artinya, kalaupun disertifikasi, dengan luas lahan yang kecil, mereka akan hanya mendapatkan pembiayaan kredit yang minimal, yang mungkin tidak cukup untuk peningkatan taraf hidupnya.Â
Untuk mengatasi hal ini diperlukan kebijakan politik ekonomi yang berpihak kepada kelompok miskin, salah satunya dengan cara pengusahaan penjaminan kredit oleh pemerintah untuk menutupi gap tersebut. Di Indonesia pemerintahan SBY sebelumnya sudah pun merancang program asistensi kredit usaha untuk kelompok masyarakat lewat KUR. KUR adalah kredit dari perbankan dengan plafon kredit maksimal Rp 500 juta. Dalam skema penjaminan KUR, kredit yang dijamin oleh pemerintah mencapai 70 persen, selebihnya sebesar 30 persen menjadi tanggungan debitur. Realisasi program KUR didapati cukup baik.Â
Berdasarkan data Kemenkop, sampai dengan tahun 2013, program KUR sudah menyalurkan kredit sebesar Rp 133,84 triliun ke 9.85 juta pelaku UMKM, dengan tingkat NPL sebesar 3 persen. Untuk itu, program kredit ini perlu diperluas dan diperdalam dengan mengembangkan kredit KUR Mikro dengan syarat-syarat penyaluran kredit yang lebih fleksibel.
Institusi keuangan, khususnya Bank, didorong supaya mengalihkan modalnya yang disimpan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk diputar di sektor riil, khususnya dalam bentuk penyaluran kredit usaha untuk sektor UMKM. Agar ini dapat terwujud, pemerintah perlu meningkatkan dana penyertaan kreditnya di lembaga penjaminan kredit, seperti Askrindo dan Jamkrindo, yang dihubungkan dengan sektor perbankan.Â