Identitas Buku
Judul : Kalau Tak Untung
Pengarang : Selasih (Sariamin Ismail)
Penerbit : Balai Pustaka
Cetakan : 27, 2011
Tebal buku : iv, 152 halaman
Ukuran buku : 14.8 cm x 21 cm
Harga: Rp 52.000,00
ISBN : 979-407-086-6
Sariamin Ismail
Walaupun namanya kurang dikenal, Sariamin Ismail adalah penulis pertama perempuan Indonesia dengan buku pertamanya Kalau Tak Untung yang diterbitkan pada tahun 1933.
Selama kariernya sebagai penulis, beliau menggunakan beberapa nama pena seperti Selasih, Seleguri, Sri Tanjung, Ibu Sejati, Bundo Kanduang, dan Mande Rubiah agar tidak ditangkap Politieke Inlichtingen Dienst (PID) atau Polisi Rahasia Belanda karena tulisannya yang kadang-kadang berbau politik.
Beliau sebenarnya merupakan seorang guru yang mengabdikan diri pada dunia pendidikan hingga menjadi kepala sekolah di Meisjes Vervolog School (MVS).
Sariamin pernah mengikuti beberapa organisasi pejuang kemerdekaan seperti Gerakan Ingin Merdeka dan bahkan menjadi ketua Jong Islamten Bond Dames Afdeling cabang Bukittinggi.
Ia juga terkenal sebagai pejuang hak perempuan dengan opininya yang sangat vokal menentang poligami dan mendesak gaji adil untuk perempuan (terutama gaji guru), terlihat juga bahwa ia memiliki keinginan keras agar perempuan juga bisa meraih apa yang mereka inginkan dengan mengemukakan pendapatnya sebagai wanita terpelajar serta buku-buku karyanya yang menceritakan wanita berpendidikan dalam meraih cita-citanya.
Latar Belakang Penulisan
Dalam buku "Kalau Tak Untung" ini, Sariamin membawa tema penderitaan dan kemelaratan untuk membuka mata pembaca atas ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat bawah pada masa itu dengan media novel karena terinspirasi oleh kesengsaraan akibat penjajah yang sering merebut tanah dan hak-hak rakyat tanpa ganti rugi (tetapi dalam bukunya, melainkan ketidakadilan karena penjajah, masyarakat rendah mengalami kesengsaraan karena status sosial).
Selain itu, ia juga mengkritisi beberapa tradisi daerah terkait mana yang harus ditinggalkan dan mana yang harus dipertahankan.
Sinopsis
Buku ini bercerita mengenai sahabat karib Rasmani dan Masrul yang sudah berteman akrab sejak kecil walaupun status sosial mereka berbeda jauh.
Masrul berasal dari sebuah keluarga kaya yang terhormat, sedangkan Rasmani berasal dari sebuah keluarga kurang mampu yang sering dicibir warga lain.
Di saat keluarga lain mengacuhkan pendidikan dan mengawinkan anak-anak perempuannya saat mereka masih muda, keluarga Rasmani malah mendorongnya untuk menimba ilmu setinggi-tingginya lalu menjadi guru.
Pandangan mereka yang berbeda itulah yang menjadikan mereka bahan cibiran di desa, warga desa lain menganggap bahwa usaha orang tua Rasmani membiayainya sekolah aneh karena perempuan tidak butuh sekolah, seharusnya kawin muda saja lalu mengerjakan pekerjaan rumah.
Ketika Masrul berumur 19 tahun, ia mendapat pekerjaan sebagai juru tulis di Painan. Tetapi sebelum ia pergi merantau, ibunya memaksanya untuk menikahi salah satu anak Mamaknya agar ia tidak pergi merantau sendiri.
Masrul pun menolak karena ia tidak ingin memiliki istri yang tidak bisa membaca tulis serta tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah.
Ia juga tidak setuju karena beberapa alasan lainnya seperti gajinya yang tidak akan cukup untuk hidup dengan seorang istri, calon istrinya yang belum sanggup diajak hidup merantau karena umurnya masih 14 tahun, serta pernikahan dengan sepupu akan menghasilkan anak yang cacat. Namun atas desakan ibunya, ia pun setuju akan menikah dengan Aminah, salah satu anak Mamaknya setelah ia bekerja di Painan selama 2 tahun.
Masrul pun pergi ke rumah Rasmani untuk mengucapkan selamat tinggal dan Rasmani yang diam-diam mencintai sahabatnya itu dengan berat hati melepaskannya.
Rasmani yang sekarang sudah menjadi guru sedang asik bermain dengan murid-muridnya di pekarangan sekolah ketika ia mendapat surat pertama dari Masrul. Isi surat tersebut mengagetkan Rasmani, Masrul mengabarkan bahwa ia akan menikah dengan Aminah. Selain itu, Masrul memintanya mengajari Aminah baca tulis.
Awalnya, Rasmani ingin menolak permintaan Abangnya itu karena kaum orang-orang kaya seperti Aminah sering mencemoohnya, tetapi ia akhirnya setuju demi kebahagiaan Masrul yang tidak ingin menikah dengan perempuan buta huruf.
Rasmani pun menepati janjinya dan ternyata Aminah merupakan seseorang yang terang hatinya, Aminah sangat bersyukur bahwa Rasmani setuju untuk mengajarkannya baca tulis sehingga dalam hatinya amatlah dipujinya Rasmani.
Di perantauan, Masrul berkenalan dengan Engku Guru Gedang yang menawarkan Masrul untuk menikahi anaknya, Muslina. Masrul pun bimbang karena walaupun ia sudah bertunangan dengan Aminah, ia masih sering memikirkan Rasmani, lalu ditambah lagi dengan Muslina yang merupakan perempuan cantik, pintar, dan berharta.
Selain itu, Engku Guru Gedang menjanjikan bahwa kebutuhan rumah tangga mereka semua akan ditanggung oleh keluarga Muslina.
Bingung harus melakukan apa, Masrul meminta bantuan pada Rasmani untuk membantunya memilih. Rasmani menyarankan bahwa sebaiknya ia memilih istri yang memiliki budi baik dan sopan santun, bukan seseorang yang kaya tetapi tidak mencintai suaminya. Sayangnya, Masrul sudah terpikat oleh kekayaan dan kecantikan Muslina sehingga ia tidak bisa melupakannya.
Setelah 2 tahun bekerja di Painan, barulah Masrul teringat akan perjanjiannya dengan ibunya untuk menikahi Aminah. Masrul sempat ragu dalam memilih, tetapi pada akhirnya ia memutuskan bahwa ia akan menikahi Muslina.
Ia pun menulis surat permohonan maaf kepada ayah dan ibunya serta pada Mamaknya karena ia akan menikahi Muslina, bukan Aminah.
Ibunya sangat kecewa membaca surat tersebut karena Masrul memilih menikahi seorang anak rantau yang tidak dikenal ibunya sedikit pun dibanding darah dagingnya sendiri. Ia bahkan mengatakan bahwa lebih baik bahwa Masrul menikahi Rasmani karena setidaknya sudah dikenal kebaikannya, padahal sebelumnya ibunya menentang Masrul menikah dengan Rasmani karena kemiskinannya.
Tetapi keputusan Masrul untuk menikahi Muslina sudah bulat, dikirimkannya undangan perkawinannya ke kampung lamanya namun hanya mendapat balasan selamat singkat dari Rasmani. Sejak perkawinannya itulah ia dibuang oleh kampung lamanya serta sanak saudaranya.
Perkawinan Masrul dengan Muslina yang membuahkan 1 orang anak itu tidaklah membahagiakan. Masrul tertipu oleh perkataan manis Engku Guru Gedang dan Muslina serta terbutakan oleh harta untuk menyadari sifat Muslina yang sebenarnya.
Muslina tidak menghargai Masrul sebagai suami, bahkan sampai beberapa kali melakukan kekerasan. Masrul pun menjadi jarang pulang ke rumahnya dan lebih memilih minum-minum.
Di tengah kehidupannya yang gelap itu, ia mengingat Rasmani, sahabatnya yang baik hati dan menulis surat kepadanya.
Di dalam surat tersebut, Masrul menceritakan kondisinya yang sengsara itu dan ia meminta persetujuan Rasmani untuk menceraikan Muslina.
Tetapi balasan dari Rasmani tidak memuaskannya, Rasmani malah berkata bahwa seharusnya Masrul memikirkan anaknya yang masih kecil itu dan tidak menceraikan Muslina. Tidak puas, Masrul tetap menceraikan Muslina dan kembali ke kampungnya untuk menemui Rasmani.
Sesampainya di rumah Rasmani, Masrul pun bercerita mengenai kehidupannya dengan Muslina dan penyesalannya. Ia juga berkata bahwa ia akan pergi merantau ke Medan serta mengajak Rasmani untuk ikut serta sebagai istrinya.
Rasmani pun setuju, tetapi Masrul meminta waktu untuk mencari pekerjaan di Medan sebelum membawa Rasmani ikut bersamanya.
Setelah 6 bulan Masrul di Medan tanpa kabar ia mendapat pekerjaan, Masrul akhirnya memberi kabar bahwa ia mendapat pekerjaan tetapi dengan gaji yang rendah.
Surat Masrul yang awalnya hangat serta penuh cinta pun perlahan-lahan menjadi dingin dan ia tidak pernah sekalipun menyinggung janjinya, sehingga di tengah-tengah kekecewaannya, Rasmani pun mendapat sakit jantung.
Surat berikutnya yang didapatkannya dari Masrul membuatnya hampir pingsan dan memperparah penyakitnya, Masrul memutuskan pertalian mereka karena anaknya dengan Muslina sedang sakit-sakitan.
Tak lama kemudian, datanglah surat dari Masrul lagi yang berisi kabar bahagia, ia menemukan pekerjaan yang bergaji tinggi dan hendak mengirimkan seseorang untuk menjemput Rasmani.
Tetapi ketika jantung Rasmani yang sudah lemah membaca surat tersebut, pingsanlah ia dan penyakitnya menjadi semakin parah lagi.
Dalipah, kakak Rasmani pun mengirimkan surat ke Masrul bahwa Rasmani sedang sakit keras, tetapi ia menunggu 1 hari lagi untuk menemui Rasmani karena besoklah gajinya diberikan.
Sesampainya ke rumah Rasmani, sudah ia sudah terlambat dan Rasmani sudah meninggal sejak kemarin. Masrul kecewa dan menyesal, tetapi tidak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk bertemu dengan Rasmani.
Tema
Menariknya, bila hanya dilihat sekilas, buku ini bertema percintaan yang tragis seperti banyaknya buku-buku yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1920-1930-an, tetapi buku ini juga memuat tema yang lebih dalam seperti penderitaan akibat status sosial dan juga kesetaraan gender.
Penderitaan akibat status dapat dilihat dari status sosial yang berperan sebagai sebagai halangan utama hubungan antara Masrul dan Rasmani.
Pertama, Ibu Masrul tidak membolehkan Masrul menikah dengan Rasmani karena ia miskin, lalu Masrul yang lebih memilih menikahi Muslina dibanding Rasmani karena harta dan status sosial Muslina lebih tinggi.
Penulis juga memasukkan pendapatnya mengenai kesetaraan gender yang ditunjukan dengan di belakang cibiran masyarakat mengenai perempuan yang berpendidikan, keluarga Rasmani tetap berpegang teguh pada prinsipnya dan mendorong Rasmani untuk mencapai cita-citanya menjadi guru.
Di novel digambarkan bahwa walaupun perempuan dianggap tidak usah mencapai cita-cita tinggi, dikawinkan muda (sekitar 14-16 tahun), dan lebih baik pandai mengerjakan pekerjaan rumah dibanding pandai baca tulis, perjuangan sukses Rasmani meraih cita-cita melalui pendidikan sangat patut diteladani.
Latar
Novel ini memiliki latar tempat di Sumatera Barat (Bukittinggi, Painan, dan Medan) dan latar waktu pada tahun 1900-an. Latar sosial dalam novel ini digambarkan dengan jelas melalui tradisi masyarakat Minang dan pola pikir tokoh seperti misalnya Ibu Masrul dan penduduk desa.
Dalam novel ini disajikan 2 pola pikir (kuno dan modern) untuk menggambarkan menggambarkan bahwa di tengah latar sosial yang kuno dan mengikuti adat istiadat, ada juga pertentangan dari generasi muda yang pola pikirnya sudah berbeda, lebih berpendidikan, dan lebih sesuai zaman.
Contoh pertama adalah pernikahan antar sepupu yang hampir dialami Masrul dan Aminah. Menurut pandangan Ibu Masrul dan adat istiadat Minangkabau, status sosial sangat diutamakan, sehingga harus terjadi perkawinan antara saudara (biasanya sepupu) untuk mempertahankan harta di dalam keluarga tersebut yang bisa dilihat dengan keinginannya agar anaknya menikahi darah dagingnya sendiri dan sebaliknya, pandangan modern oleh Masrul yang mengatakan bahwa perkawinan dengan sepupu akan menghasilkan anak yang cacat.
Contoh kedua adalah pemikiran orang desa mengenai pendidikan perempuan dan kebalikannya adalah pemikiran keluarga Rasmani bahwa walaupun Rasmani perempuan, pendidikannya tetaplah penting. Penggunaan bahasa juga menggambarkan latar sosial sebelum kemerdekaan.
Pada tahun 1900-an, Indonesia masih dijajah oleh Belanda sehingga terdapat penggunaan kata-kata yang merupakan bahasa Belanda tetapi digabungkan dengan kalimat bahasa Indonesia seperti kata opziener, kweekeling, dan overwerk. Selain itu, penggunaan bahasa masyarakat Minang yang berbeda dari bahasa Indonesia juga terpapar jelas seperti misalnya panggilan Mamak untuk paman dari keluarga ibu dan Etek untuk saudara perempuan ibu atau istri dari Mamak.
Pesan Moral
Buku ini membawa beberapa pesan moral penting. Pertama, kita harus mendengarkan nasehat orang tua yang ditunjukkan saat Masrul mengabaikan nasehat orang tuanya untuk menikahi seseorang yang ibunya sudah kenal dengan menikahi Muslina, hal tersebut mengakibatkan hidupnya menjadi sengsara.
Kedua, kita tidak bersikap serakah harta yang ditunjukkan ketika Masrul memilih Muslina dibanding Rasmani karena harta yang dimiliki Muslina, Masrul menjadi terbutakan harta untuk melihat sifat asli Muslina sehingga akhirnya mengakibatkannya terperangkap dalam pernikahan tidak harmonis.
Ketiga, kita mengejar pendidikan setinggi mungkin demi memenuhi cita-cita. Walaupun sering dicemooh warga lain, Rasmani tetap dengan semangat menimba ilmu untuk meraih cita-citanya, Yang terakhir adalah untuk menghargai orang-orang di sekitar kita sebelum kita menyesal. Dalam novel, Rasmani digambarkan sebagai seseorang yang baik hati dan pemaaf.
Setiap kali Masrul meminta bantuan atau saran dari Rasmani, pasti hal tersebut dilakukannya, tetapi Masrul kurang menghargainya dengan tidak menuruti nasehatnya. Masrul juga mengingkari janjinya pada Rasmani dan memilih seseorang yang lebih kaya dibanding Rasmani padahal dari awal sampai akhir novel cinta Rasmani pada Masrul sangatlah tulus. Ketika Masrul akhirnya sadar akan perasaannya itu, sudah terlambatlah ia dan hal tersebut menunjukkan bahwa kita harus menghargai dan memperlakukan orang lain dengan baik selagi hal tersebut masih memungkinkan.
Evaluasi
Kelebihan buku ini adalah penggambaran latar serta tokoh yang sangat baik serta pesan moral yang penting. Dalam buku Kalau Tak Untung karya Selasih, pembaca dapat melihat latar sosial budaya orang Minang yang jelas sehingga seolah-olah bisa mengerti/merasakan kehidupan orang Minang pada zaman tersebut. Mulai dari pandangan dan cara pikir orang-orang, tradisi yang diikuti, serta bahasa yang digunakan memudahkan pembaca membayangkan kejadian-kejadian yang terjadi dalam imajinasi mereka ketika membaca buku ini.
Selain itu, perasaan tokoh digambarkan juga dengan baik, membuat pembaca ikut merasakan kesulitan yang mereka alami dan bisa menempatkan diri di posisi mereka. Penggambaran kisah hidup Rasmani dan Masrul yang jujur dan realistis juga memunculkan pesan moral yang penting dalam hidup sebenarnya karena pembaca bisa belajar dari kisah mereka.
Kekurangan buku ini terdapat pada penulisan kata-kata dan format buku. Walaupun buku ini sudah menggunakan ejaan yang dibakukan, masih ada beberapa kata yang tidak baku seperti mesjid, asyik, dan khabar. Terdapat juga beberapa kata-kata daerah yang tidak dijelaskan artinya, sehingga pembaca yang tidak mengerti adat tersebut bingung dan susah mengartikan cerita seperti Mamak, Engku, Etek, dan afzender.
Selain itu, terdapat kesalahan format pada halaman 151, dimana sebuah paragraf memiliki jenis dan ukuran tulisan yang berbeda dengan paragraf-paragraf lainnya.
Rekomendasi
Saya merekomendasikan buku ini kepada pelajar jenjang pendidikan dasar sampai menengah karena buku ini dapat mengajarkan mereka mengenai kondisi Indonesia sebelum kemerdekaan, adat istiadat Bukittinggi pada zaman dahulu, serta memiliki banyak sekali pesan moral yang penting untuk diketahui generasi muda mengenai pendidikan, percintaan, orang tua, dan bahkan harta kekayaan.
Kisah Rasmani dan Masrul menyadarkan kita bahwa dalam hidup sebaiknya kita menghargai orang-orang di sekitar kita, menolak godaan harta, serta menuruti perintah orang tua. Selain itu, buku ini sudah dinilai memenuhi kelayakan oleh Pusat Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional tentang Penetapan Buku Pengayaan sebagai Buku Nonteks Pelajaran yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan sebagai sumber belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah sehingga terbukti pantas dibaca oleh para pelajar.
Buku ini tidak saya rekomendasikan bagi orang-orang yang ingin mencari hiburan karena memiliki akhir yang tragis. Secara keseluruhan, novel ini dapat dinikmati oleh orang-orang yang ingin mempelajari lebih lanjut mengenai kehidupan serta tradisi orang Minang sebelum kemerdekaan.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Nurlaily Halifah. 2018. Masalah Hibriditas dan Ambivalensi dalam Novel Kalau Tak Untung Karya Selasih dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. Skripsi. Jakarta: Universitas Negeri Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Arthadiputra, Arthurio Oktavianus. “Sariamin Ismail : Guru, Jurnalis dengan Banyak Nama Samaran, dan Novelis Perempuan Pertama di Indonesia” di www.kalbarterkini.pikiran-rakyat.com. Diakses pada 30 September 2021 pukul 22.03.
Betykristianto. “Mengenal Selasih Alias Seleguri, Tokoh Minang yang Menjadi Novelis Perempuan Pertama Indonesia” di www.takaitu.id. Diakses pada 30 September 2021 pukul 22.00.
Primastika, Widia. “Menikahi Sepupu Boleh Saja, tapi Banyak Risikonya” di www.tirto.id. Diakses pada 1 Oktober 2021 pukul 20.37.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H