Tak lama kemudian, datanglah surat dari Masrul lagi yang berisi kabar bahagia, ia menemukan pekerjaan yang bergaji tinggi dan hendak mengirimkan seseorang untuk menjemput Rasmani.Â
Tetapi ketika jantung Rasmani yang sudah lemah membaca surat tersebut, pingsanlah ia dan penyakitnya menjadi semakin parah lagi.Â
Dalipah, kakak Rasmani pun mengirimkan surat ke Masrul bahwa Rasmani sedang sakit keras, tetapi ia menunggu 1 hari lagi untuk menemui Rasmani karena besoklah gajinya diberikan.Â
Sesampainya ke rumah Rasmani, sudah ia sudah terlambat dan Rasmani sudah meninggal sejak kemarin. Masrul kecewa dan menyesal, tetapi tidak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk bertemu dengan Rasmani.
Tema
Menariknya, bila hanya dilihat sekilas, buku ini bertema percintaan yang tragis seperti banyaknya buku-buku yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1920-1930-an, tetapi buku ini juga memuat tema yang lebih dalam seperti penderitaan akibat status sosial dan juga kesetaraan gender.Â
Penderitaan akibat status dapat dilihat dari status sosial yang berperan sebagai sebagai halangan utama hubungan antara Masrul dan Rasmani.Â
Pertama, Ibu Masrul tidak membolehkan Masrul menikah dengan Rasmani karena ia miskin, lalu Masrul yang lebih memilih menikahi Muslina dibanding Rasmani karena harta dan status sosial Muslina lebih tinggi.Â
Penulis juga memasukkan pendapatnya mengenai kesetaraan gender yang ditunjukan dengan di belakang cibiran masyarakat mengenai perempuan yang berpendidikan, keluarga Rasmani tetap berpegang teguh pada prinsipnya dan mendorong Rasmani untuk mencapai cita-citanya menjadi guru.Â
Di novel digambarkan bahwa walaupun perempuan dianggap tidak usah mencapai cita-cita tinggi, dikawinkan muda (sekitar 14-16 tahun), dan lebih baik pandai mengerjakan pekerjaan rumah dibanding pandai baca tulis, perjuangan sukses Rasmani meraih cita-cita melalui pendidikan sangat patut diteladani. Â
Latar
Novel ini memiliki latar tempat di Sumatera Barat (Bukittinggi, Painan, dan Medan) dan latar waktu pada tahun 1900-an. Latar sosial dalam novel ini digambarkan dengan jelas melalui tradisi masyarakat Minang dan pola pikir tokoh seperti misalnya Ibu Masrul dan penduduk desa.Â
Dalam  novel ini disajikan 2 pola pikir (kuno dan modern) untuk menggambarkan menggambarkan bahwa di tengah latar sosial yang kuno dan mengikuti adat istiadat, ada juga pertentangan dari generasi muda yang pola pikirnya sudah berbeda, lebih berpendidikan, dan lebih sesuai zaman.Â