Mohon tunggu...
Katherine Kat
Katherine Kat Mohon Tunggu... Freelancer - Wife, Mom & Self-employed

Tinggal di Toorak, VIC dan Jawa Tengah, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Lima Bintang yang Tak Selalu Bisa Jadi Pegangan

18 Juli 2019   09:57 Diperbarui: 18 Juli 2019   10:11 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sistem penilaian dengan bintang kini sudah menjadi keseharian, seiring dengan maraknya penjualan barang maupun jasa secara daring.

Bukan hanya di marketplace tapi merambah pada hal-hal lain seperti layanan hail-ride (Go-Jek, Grab, Uber, dll) termasuk industri pariwisata.

Saya mencoba mencari referensi kapan sebenarnya sistem penilaian seperti ini mulai diaplikasikan sayang belum ketemu juga.

Walau tidak sempurna karena dipengaruhi pula oleh ekspektasi dan objektivitas pemberi nilai tapi di era perdagangan digital seperti sekarang sebenarnya penilaian semacam ini memiliki dua peran penting.

Pertama, dengan pemberian nilai tersebut calon konsumen mendapatkan gambaran sekaligus membangun ekspektasi terhadap barang atau jasa yang hendak dibeli atau dipesan.

Kedua, bagi penjual barang atau penyedia jasa penilaian tersebut memberikan umpan balik (feedback) terhadap layanan, produk maupun jasa yang diberikan.

Sayang sekali pada kenyataannya tujuan yang diharapkan tidak selalu terwujud, bahkan lama kelamaan mulai kehilangan makna atau setidak-tidaknya melenceng dari tujuan.

Kondisi itu terjadi karena keterlibatan kedua belah pihak yaitu konsumen dan penyedia jasa/penjual.

Peran Konsumen Pada Kegagalan Sistem

Konsumen kerap enggan memberikan ulasan jujur dengan berbagai alasan. Mulai dari dianggap menyita waktu sampai hal-hal subjektif lainnya seperti kenal dengan penjual/penyedia jasa, rasa iba dan sebagainya.

Saya ingat beberapa tahun silam ketika mulai mengenal Amazon ulasan atau review dari pembeli terasa sangat berguna bagi konsumen lain yang sedang dalam posisi melakukan pertimbangan.

Tak jarang konsumen yang sudah membeli produk tersebut memberi ulasan panjang lebar, menjelaskan sisi pro dan kontra dari produk yang dibeli itu sekaligus mengkomentari layanan dari si penjual.

Berbeda di Amazon, berbeda pula di Indonesia.

Setidaknya dari pengalaman pribadi sebagai orang yang juga berjualan di beberapa marketplace kebanyakan konsumen enggan memberi ulasan ataupun rating (bintang).

Jangankan ulasan, sekedar mengkonfirmasi bahwa barang sudah diterima pun mungkin hanya sekitar 40% konsumen yang bersedia. Sisanya membiarkan sistem menutup transaksi.

Padahal kalau mau dipikir-pikir sebagian besar dari kita ketika hendak berbelanja secara daring (online) akan membuat proses keputusan beli yang relatif lebih panjang ketimbang berbelanja luring.

Alasannya jelas karena kita tidak bisa lihat dan pegang langsung barangnya, jadi pemberian rating serta ulasan sangat besar maknanya sebagai sumber informasi pada proses keputusan beli tersebut.

Jadi sebagai pembeli mungkin kadang kita perlu mempertimbangkan seberapa besar artinya bintang dan ulasan yang diberikan bagi orang lain, dalam hal ini adalah calon konsumen.

Alih-alih sekedar memberi lima bintang lalu menulis "Thanks.........." atau "Mantap........" coba buat ulasan yang lebih bermanfaat.

Bermanfaat bagi calon pembeli lainnya dan bermanfaat memberi umpan balik bagi penjual/penyedia jasa.

Peran Penjual/Penyedia Jasa Pada Kegagalan Sistem

Penjual atau penyedia jasa di marketplace atau layanan hail-ride pun punya peran sama dalam mencipta kegagalan sistem penilaian semacam ini.

Tak sedikit penjual atau penyedia jasa yang hanya melihat konsumen/penumpang sebagai objek pembangun reputasi dan tak lebih dari sekedar kantong pundi-pundi.

Sebagai sesama penjual saya kerap risih ketika ada sesama seller yang mengocehkan:

"Jangan lupa bintang lima-nya ya gan!"

"Ditunggu bintang lima --nya ya kak!"

Ocehan semacam itu buat saya menunjukkan kalau si penjual atau penyedia jasa tidak paham bahwa reputasi adalah sebuah komitmen yang harus dibangun, bukan diminta cuma-cuma.

Reputasi dibangun lewat sebuah komitmen jangka panjang, lewat totalitas dan kesungguhan bukan mengemis. Jangan jadi pengemis bintang!

Sebagai penjual adalah kewajiban kita memberikan layanan terbaik, memberi deskripsi jelas bahkan sedetil-detilnya kepada calon pelanggan.

Bukan ogah-ogahan. Menulis deskripsi produk malas, foto ala kadarnya bahkan tak jarang comot sana comot sini.

Sudah begitu enggan melayani pertanyaan calon pelanggan, di bagian "Syarat dan Ketentuan" ditambahi embel-embel "Be a Smart Buyer" padahal intinya hanya apapun yang terjadi tidak terima komplain.

Calon pelanggan disuruh jadi "smart buyer" padahal seller-nya malas dan tidak "smart"

Ada cacat barang tersembunyi (baik sengaja atau tidak) lalu ketika pembeli komplain malah dijawab:

"Membeli berarti setuju"

"Makanya jadi smart buyer gan!"

Penyakit lain dari seller atau driver (tergantung kategori barang/jasa yang ditawarkan) yang berkontribusi terhadap kegagalan sistem penilaian dengan bintang ini adalah cengeng alias gampang sakit hati.

Penyakit seperti ini umumnya muncul dari penjual, penyedia jasa atau pengemudi dengan mindset keliru.

Mindset keliru yang dimaksud ya seperti sudah disinggung di atas; sekedar melihat pelanggan sebagai kantong duit dan bertanggung jawab terhadap reputasi penjual.

Reputasi penjual itu tanggung jawab penjual Bung!

Bukan tanggung jawab konsumen/pelanggan!

Kalau mau reputasi baik ya perjuangkanlah itu, upayakan itu.

Kalau sudah diupayakan masih dapat penilaian tak sesuai harapan ya sudah, memang itu resikonya. Kalau enggan menanggung resiko ya jangan jualan barang/jasa.

Pelanggan itu tidak punya hutang terhadap reputasi kita. Perjanjian antara kita sebagai penjual/penyedia jasa dengan pelanggan itu secara umum adalah perjanjian jual-beli entah itu barang atau jasa.

Kewajiban pembeli dalam hal ini ya membayar sesuai harga yang sudah disepakati, bukan membantu membangun reputasi.

Bahkan kalau pembeli misalnya dapat harga miring karena kupon promosi berupa cashback, potongan harga, program loyalitas dan sebagainya ya itu haknya mereka bukan posisi maupun hak kita untuk menjadikan alasan mengurangi kualitas layanan.

Proses keputusan beli itu kompleks dan pertimbangan harga adalah salah satu faktornya. Jadi kalau pembeli membuat keputusan beli karena dapat harga khusus ya sangat wajar.

Kalau memang kita merasa cuma dapat untung sedikit ya itu kan keputusan kita sebagai penjual. Pun berlaku untuk pengemudi hail-ride seperti Go-Jek, Grab dan sebagainya. Kalau memang dirasa tarifnya terlalu murah ya bicarakan dengan pihak perusahaan bukan berpersepsi negatif kepada pelanggan.

Dalam hal tarif untuk jasa hail-ride misalnya, dengan bergabung menjadi mitra pada perusahaan tertentu maka Anda sudah setuju pula dengan berbagai kebijakan dari perusahaan bersangkutan. Kalau dirasa membebani ya sampaikan pada pihak perusahaan, bukan ketus kepada pelanggan.

Tidak masuk akal membebankan kondisi-kondisi seperti itu (nilai keuntungan, tarif, harga) kepada pelanggan. Kalau terasa minim ya dinaikkan, kalau pelanggan lantas mengurungkan niat beli atau mencari alternatif ya itu haknya pelanggan dan resikonya kita.

Kita berhak menentukan harga jual, pembeli berhak melakukan pertimbangan dan keputusan beli.

Hal-hal semacam ini kan resiko kita sebagai penjual/penyedia jasa, jadi tak usah bersikap cengeng.

Jaman sebelum ada perdagangan digital, sebelum jaman pemberian nilai atau ulasan bisa diakses secara daring ya cara kerjanya sama saja.

Kita jual barang lalu pembeli menentukan puas atau tidak puas baik terhadap barang yang dijual maupun layanan kita.

Bedanya dulu pembeli akan ceritakan ke saudaranya, tetangganya, teman-temannya secara langsung (dari mulut ke mulut/words ouf mouth/gethok tular) nah kalau sekarang secara daring.

Bagaimana penilaiannya itu hak pelanggan, bukan kita yang mengatur maunya dikasih bintang berapa atau maunya dikomentari apa.

Kalau cuma karena sudah bekerja keras dan sungguh-sungguh kita merasa berhak dapat bintang 5 dan ulasan positif itu namanya terobsesi untuk dihargai.

Anda yang punya anak masih usia di bawah umur rasanya sudah tahu kalau metode parenting masa kini sering mengingatkan orang tua agar tidak memberikan penghargaan pada anak hanya karena dia berperilaku baik.

Sebab berperilaku baik adalah sebuah kewajiban, kontrak sosial dalam hidup bersama. Sesuatu yang memang sudah merupakan keharusan tidak perlu diberikan penghargaan.

Nah hal yang sama berlaku juga ketika kita bekerja dan berkarya, janganlah menuntut diberi penghargaan atau keistimewaan hanya karena kita sudah merasa berusaha sungguh-sungguh atau bekerja keras.

Bakal rusak tatanan hidup bermasyarakat kalau semua orang punya mindset semacam ini.  

Sebagai penjual/penyedia jasa/pengemudi mindset kita mestinya melihat bintang dan ulasan/komentar sebagai umpan balik (feedback).

Umpan balik itu harganya mahal karena itu jadi patokan pembelajaran kita, mana bagian yang mesti kita perbaiki/tingkatkan.

Menghadapi Ketidakpuasan Pelanggan

Faktanya tidak semua pelanggan mau memberikan umpan balik, jadi hargailah mereka yang sudah mau meluangkan waktu memberi umpan balik.

Bukan malah sakit hati, ngambek, mogok atau malah mengancam seperti kelakuan orang yang tak pernah dididik bagaimana hidup di tengah manusia beradab.

Menghadapi kritik itu memang tidak gampang, saya juga merasakan itu tapi bukan alasan untuk bereaksi secara tak beradab.

Pahami bahwa setiap pelanggan itu sekaligus merupakan duta promosi bagi usaha kita, jadi sikapilah ketidakpuasan mereka dengan bijak.

Tidak semua rasa tidak puas yang dialami oleh pelanggan selamanya berujung pada reputasi negatif, sebab ketidakpuasan kalau ditangani dengan bijak dan empatik menurut pengalaman saya justru mampu membuat pelanggan yang bersangkutan jadi duta promosi yang setia untuk toko/produk/layanan kita.

Hal yang paling sederhana menangani ketidakpuasan adalah dengan mendengar, bukan malah nafsu menyanggah, mengajak berdebat bahkan berantem macam orang barbar.

Dengan mendengar tak jarang kita bisa memahami poin mana sebenarnya yang membuat pelanggan berakhir pada ketidakpuasan.  

Terkadang kita bisa memberikan solusi yang membutuhkan energi lebih sedikit ketimbang energi yang dipakai untuk berdebat. Bukan saja energi yang digunakan lebih minim tapi hasil akhirnya mengubah ketidakpuasan menjadi loyalitas.

Saya sendiri lebih memilih mengembalikan uang pelanggan dan menerima retur ketimbang berdebat yang tidak solutif dan merusak citra/reputasi.

Sekali lagi citra/reputasi itu mahal, kalau sampai tercoreng tidak selalu bisa diganti dengan materi. Tentu saja yang dimaksud adalah reputasi sebagai hasil kerja keras dan komitmen, bukan mengemis bintang.

Biasakan diri kita untuk bersikap asertif, bukan agresif ketika menghadapi komplain.

Bersikaplah profesional, empatik, jangan merasa enggan untuk meminta maaf.

Awalnya memang tidak mudah karena untuk menaklukkan ego kita sendiri diperlukan kedewasaan serta kematangan mental.

Anggap saja kejadian tidak mengenakkan dengan pelanggan sekaligus sebagai proses pembelajaran kita untuk menjadi seorang yang lebih matang dan dewasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun