Mohon tunggu...
Shinta Galuh
Shinta Galuh Mohon Tunggu... -

Seorang Muslimah, menikmati pekerjaan barunya sebagai dosen ilmu komunikasi, pecinta buku, suka sejarah, psikologi populer, dunia parenting, fashion dan buah-buahan. \r\n\r\nBerdoa untuk suatu hari, saat saya menjadi seorang ibu, bunda, ummi, apapun namanya, dari anak-anak saya. ^__^

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Selamat Musim Hujan

3 Januari 2011   12:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:00 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

 

Aku suka suara daun kering yang terinjak. Seperti berteriak marah, sekaligus pasrah tanpa daya. Aku suka melihat daun yang berguguran. Menerbitkan rasa romantis yang norak dari seorang perempuan yang hidup di negeri tropis, tidak tahu seperti apa bentuk musim gugur di negari empat musim. Aku suka keduanya. Melihat pepohonan menggugurkan daunnya; dan menginjak-injak daunnya.

 

Dan hanya ada satu tempat yang sempurna untuk itu. Tapi aku tidak akan mengatakannya kepadamu. Aku hanya akan membiarkanmu menebak-nebaknya. Hanya aku dan Tuhan saja yang tahu, betapa aku menyukai berjalan di setapaknya yang dipenuhi dedaunan kering sekaligus dihujani guguran daun. Indah sekali.

 

Apakah ini rasanya musim gugur?

 

Saat berbilang tahun aku absen mendatanginya, mereka, pepohonan tua dan besar-besar itu sudah tidak lagi mengenaliku. Mungkin berat badanku bertambah sehingga aku tampak gemuk sekali. Atau memang aku hanya satu dari ribuan penikmat guguran daun dan bunyi 'gemeresek' saat ia diinjak? Atau...ah...mungkin aku memang tidak layak diingat-ingat. Toh aku sendiri sudah mencoba melupakan tempat ini. Hanya saja... terkadang suara 'gemeresek' itu begitu menggoda...

 

"Hei kamu...datang lagi!"

 

Ah, akhirnya ada juga yang mengenaliku. Sebatang pohon X, yang tak perlu kusebutkan namanya karena memang aku tidak tahu. Yang jelas ia cukup tinggi dan cukup rindang untuk menaungiku, dan pada masa-masa seperti ini, daunnya banyak sekali yang berguguran.

 

"Masih mengenaliku, pohon?

 

Ia bergoyang sedikit. Tidak sampai menjatuhkan daun sehelai pun.

 

"Kamu selalu berdiri di sini dengan wajah sumringah dan pipi bersemu merah penuh gairah. Tapi hari ini sedikit berbeda. Nyaris saja aku tidak mengenalimu,"

 

"Apa yang membuatku berbeda? Pasti aku tambah gemuk ya?"

 

"Hmmm... Kami pepohonan tidak peduli pada hal-hal demikian. Kamu tampak lebih bahagia, tapi pipimu tidak lagi bersemu merah. Hatimu lebih tenang walaupun sedikt lebih tidak bergairah. Dan matamu lebih redup tapi lebih mengayomi."

 

Aku sedikit terkejut. "Wah, aku tidak tahu ada diam-diam memperhatikanku... Aku sudah beranjak tua, Pohon. Wajar saja jika aku tidak menampakkan wajah remajaku lagi."

 

"Aku tidak diam-diam memperhatikanmu. Kamu-lah yang selalu berdiri di sini dan diam-diam memperhatikan. Aku hanya memperhatikan itu."

 

Aku tertawa berderai-derai.

 

"Pohon, kamu ada-ada saja...."

 

"Ah akuilah, untuk itu kan kamu kembali? Masih menunggu rupanya?"

 

Aku menengadah jauh ke atas. Tersenyum lebar. Selebar-lebarnya.

 

"Pohon yang budiman, aku kembali karena merindukanmu dan teman-temanmu menggugurkan daun kalian. Aku sudah tidak menunggu apa-apa lagi, Pohon. Aku sudah dapatkan apa yang aku cari...

 

Dan asal kamu tahu ya, Pohon, aku tidak pernah mengintip dari sini..."

 

Ia sedikit cemberut.

 

"Aku tidak mengatakanmu mengintip. Aku kan bilang memperhatikan diam-diam."

 

"Hihihi... Sudahlah. Hmm..Sepertinya aku harus pulang, lihat, langit sudah menghitam. Dedaunan yang jatuh akan basah dan menghitam terinjak kaki-kaki yang berlumur lumpur. Aku tidak suka itu. Aku sebaiknya pulang sekarang. Senang bercakap-cakap denganmu," Aku mengangkat topiku sembari berseri. Topi bundar bersisi lebar, dengan pita merah muda.

 

"Baiklah. Senang mengetahui kamu sudah bahagia. Sering-sering mengunjungiku. Aku akan senang menaungimu seperti dulu," ujar Pohon sambi mengedipkan mata.

 

"Tentu. Selamat tinggal dan selamat musim hujan..."

 

Hujan pun turun satu-satu. Rerumputan menangis haru karena sudah lama tidak bermandi hujan. Baunya lembut mengajakku berdansa dengan iringan seruling bambu. Tempat itu masih seindah dulu.

 

Kuberitahu padamu sedikit rahasia mengenai tempat itu: ia tetap indah saat panas, maupun dingin. Kemarau maupun hujan. Tapi di antara semuanya, ia menjadi lebih indah, paling indah saat kamu jatuh cinta ;-) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun