Alasan yang dijelaskan mengapa tingkat pendidikan menjadi variabel penting dalam konteks partisipasi politik dan preferensi politik karena masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung mengikuti perkembangan berita-berita politik dan memiliki kapabilitas untuk menyadari dampak dari suatu kebijakan publik yang ditetapkan apakah menguntungkan atau merugikan, alasan lain adalah lingkungan dimana individu yang berpendidikan tinggi memiliki posibilitas untuk mendiskusikan isu isu politik dalam kehidupan sehari-harinya. (Almond & Verba, 1963)Â
Dalam konteks relasi atau hubungan antara tingkat pendidikan dengan preferensi politik serta partisipasi politik memiliki konteks yang sedikit berbeda dari teori dan penemuan akademisi-akademisi politik yang sebelumnya. Dalam konteks partisipasi politik masyarakat dengan level pendidikan rendah cenderung berpartisipasi secara lebih aktif baik dalam memberikan suara dalam pemilihan umum ataupun berpartisipasi dalam sebuah kampanye politik.Â
Data yang ditemukan oleh (Mujani, Liddle, Ambardi, 2018) menyebutkan bahwa masyarakat berpendidikan tinggi cenderung lebih sedikit datang ke TPS dibandingkan masyarakat berpendidikan dasar.Â
Hal ini juga koheren dengan partisipasi masyarakat dalam konteks kampanye, masyarakat berpendidikan dasar cenderung lebih aktif dalam mengikuti kampanye terutama kampanye pemilihan legislatif dibandingkan masyarakat berpendidikan tinggi, data ini setidaknya konsisten sejak 1999-2014.Â
Apabila melihat data tersebut menjadi menarik untuk melihat bagaimana relasi dan perilaku masyarakat berpendidikan tinggi yang cenderung menjadi masyarakat yang kritis dalam berpartisipasi politik dan memilih dalam pemilu. Masyarakat berpendidikan tinggi memiliki tendensi untuk menjadi "critical citizens" apabila meminjam diksi Pippa Norris dalam bukunya yang berjudul sama yaitu "critical citizens."Â
Masyarakat yang kritis akan menjadi pemilih rasional yang tidak terikat pada partai atau calon tertentu, dan mereka cenderung mempertimbangkan keuntungan ekonomi dalam proses pemilihan.Â
Dalam implementasinya, pemilih rasional seperti ini dapat memilih untuk tidak memberikan dukungan kepada partai atau calon manapun atau memilih untuk golput, karena mereka merasa bahwa tidak ada pilihan yang benar-benar menguntungkan bagi mereka. Dalam literatur politik, pemilih semacam ini sering disebut sebagai "pemilih free riders."Â
Terdapat penjelasan lain mengapa angka masyarakat berpendidikan tinggi yang mengikuti kampanye lebih rendah daripada masyarakat kelas bawah yang mengikuti kampanye. Untuk menjawab hal ini kita perlu melihat tipologi khas dari partisipasi politik di negara berkembang yang terbagi menjadi 2 yaitu partisipasi politik yang bersifat otonom serta partisipasi politik yang sifatnya mobilisasi (Budiardjo, 2008), dan dalam konteks Indonesia kampanye yang terjadi secara umum dan general merupakan kampanye yang bersifat mobilisasi. Sedangkan karakteristik masyarakat berpendidikan tinggi adalah masyarakat yang sulit dimobilisasi sehingga hal ini menjelaskan mengapa masyarakat berpendidikan tinggi memiliki angka kuantitatif lebih kecil daripada masyarakat berpendidikan dasar.Â
Sehingga dapat disimpulkan di Indonesia kelompok masyarakat berpendidikan tinggi cenderung lebih rasional dan kritis tapi belum tentu diimplementasikan dengan kampanye ataupun memilih partai politik atau calon karena berdasarkan data yang ditemukan oleh (Mujani, Liddle, Ambardi, 2018) menyatakan bahwa lebih sedikit masyarakat berpendidikan tinggi yang mengikuti kampanye ataupun pemilihan umum dibandingkan dengan masyarakat berpendidikan dasar. Hal ini disebabkan karena budaya demokrasi di Indonesia yang sifatnya masih prosedural sehingga sarat akan mobilisasi dengan imbalan materiil yang turut mencoreng substansi demokrasi di Indonesia.Â
Bagaimana dengan pengaruh tingkat pendidikan dengan preferensi politik masyarakat? Masyarakat berpendidikan rendah cenderung memilih Golkar dan PKB dan data ini konsisten sejak 2004, namun uniknya PDIP sebagai partai wong cilik mengalami regresi dalam konteks pemilih masyarakat kelas rendah dimana pada tahun 2014 pemilih PDIP cenderung merata di kalangan masyarakat berpendidikan tinggi dan masyarakat berpendidikan rendah yang mayoritas ada di pedesaan.Â
Sedangkan PKS dan PAN sebagai simbol islam modernis di Indonesia cenderung dipilih oleh masyarakat berpendidikan tinggi karena memang secara identitas PAN merupakan partai yang berasal dari organisasi islam Muhammadiyah yang merupakan simbol modernis islam yang terpelajar sedangkan PKS lahir dari organisasi di masjid-masjid universitas, namun pada tahun 2014 angka ini cenderung merata antara masyarakat berpendidikan tinggi dan masyarakat berpendidikan dasar bagi PKS dan PAN walaupun masih didominasi oleh masyarakat berpendidikan tinggi. Hal ini menunjukan bahwa kurang konsistennya variabel tingkat pendidikan masyarakat dalam mempengaruhi preferensi politik masyarakat dikarenakan semakin samarnya pengaruh pendidikan terhadap pilihan politik pada partai politik.Â