KARYA#4 Publikasi Esai Mahasiswa FISIP UPN Veteran Jakarta
Penulis: Aulia Haqq, Revo Linggar Vandito dan Faiz Akmal Rafif
Program Studi Ilmu Politik Angkatan 2022
PENDAHULUANÂ
Pendidikan yang lebih tinggi seringkali menjadi latar belakang atas kesadaran politik dan aktivitas politik seseorang. Melalui pendidikan yang lebih tinggi, seseorang cenderung memiliki kemampuan yang lebih memadai untuk menerima berbagai substansi politik dengan pemahaman yang lebih mendalam.Â
Pendidikan tak hanya mengajarkan seseorang untuk membaca dan menulis, tapi juga menerima informasi, menganalisis, dan membuat keputusan. Lebih jauh lagi, pendidikan dapat membentuk pemahaman tentang isu-isu penting seperti lingkungan, kesehatan, ekonomi, dan keadilan sosial.Â
Dalam konteks politik, hal ini memungkinkan mereka dengan taraf pendidikan yang lebih tinggi, untuk melakukan analisis yang lebih baik dalam mengevaluasi kandidat atau partai politik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pendidikan memiliki hubungan yang erat dalam membentuk preferensi dan pilihan politik seseorang pada saat pemilu.Â
Pendidikan merupakan faktor penting dalam menganalisis perilaku pemilih di Indonesia dalam konteks pilihan politik. Tingkat pendidikan dapat dianggap sebagai indikator kelas sosial yang memengaruhi dinamika elektoral.Â
Geoffrey Evans, dalam bukunya "The end of class politics? Class voting in comparative context," juga menegaskan pentingnya kelas sosial dan pendidikan sebagai faktor yang signifikan dalam mempengaruhi preferensi politik, partisipasi politik, serta perilaku pemilih.Â
Tingkat pendidikan seseorang mencerminkan status sosial dan ekonomi, sehingga secara besar-besaran mempengaruhi cara pandang dan keputusan politik yang diambil.Â
Akademisi, termasuk Mujani (2018), menekankan pentingnya pendidikan dalam membentuk masyarakat yang kritis terhadap proses penyelenggaraan demokrasi.Â
Masyarakat yang kritis ini sering disebut sebagai "kaum demokrat kritis." Mereka cenderung menunjukkan perilaku oposisi terhadap pemerintah dan memiliki pengaruh signifikan terhadap preferensi dan pilihan politik masyarakat secara keseluruhan.Â
Bukti bahwa kelas sosial termasuk pendidikan menjadi faktor penting dalam konteks elektoral Indonesia adalah dengan fakta bahwa beberapa partai seperti PDIP yang mengidentifikasi dirinya sebagai "partainya wong cilik" yang identik dengan masyarakat dengan pendidikan yang lebih rendah.
Fakta di lapangan melalui sensus BPS di tahun 2020 mengungkapkan bahwa hanya 8,5% masyarakat Indonesia yang lulus dari perguruan tinggi. 29,10% tamat SMA, 21,78% tamat SMP dan 24,80 tamat SD.Â
Disparitas dalam konteks pendidikan di Indonesia turut menjadi menarik untuk dikaji mengenai bagaimana pilihan politik masyarakat yang diklasifikasikan melalui level pendidikan masyarakat di Indonesia, dengan fakta seperti ini munculah banyak asumsi tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pilihan partai politik dan pemilihan presiden dan wakil presiden di dalam masyarakat.Â
Sehingga sebenarnya turut memunculkan banyak asumsi asumsi elektoral seperti "apakah sedikitnya masyarakat Indonesia yang lulus perguruan tinggi dapat menjelaskan adidaya nya PDIP secara elektoral sebagai partai wong cilik di Indonesia?Â
B. PEMBAHASANÂ
a. Hubungan antara Taraf Pendidikan dan Preferensi Pemilih dalam PemiluÂ
Dengan fakta kuantitatif yang ada bahwa terdapat disparitas signifikan antara tingkat pendidikan masyarakat Indonesia, menjadi menarik untuk mengkaji bagaimana hubungan tingkat atau taraf pendidikan terhadap preferensi politik. Preferensi politik dalam hal ini termasuk partisipasi politik di memiliki kaitan erat dengan demokrasi karena komponen penting dalam demokrasi adalah preferensi politik dan partisipasi politik.Â
Dalam konteks demokrasi banyak akademisi yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan hal yang penting dalam demokrasi, karena dengan pendidikan seseorang memiliki kapabilitas untuk memahami konsep konsep seperti "freedom" dan "equality" sebagai bahan dasar dari demokrasi. (Shin, 1999)Â
Dalam konteks kajian perilaku pemilih seringkali faktor sosiologis menjadi faktor yang penting dalam suatu pemilihan, faktor sosiologis ini termasuk agama, etnis, kelas sosial, gender, dan umur. Dalam konteks kelas sosial terdapat salah satu sub faktor yang dianggap menjadi faktor terpenting dalam pemilu yaitu pendidikan.Â
Terdapat banyak akademisi terdahulu yang telah mengungkapkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang otomatis individu tersebut memahami makna demokrasi dan pemahaman akan demokrasi akan diimplementasikan dengan partisipasi politik termasuk berpartisipasi dalam pemilu, mengikuti kampanye, menyumbang dana kampanye, dan mengikuti forum forum politik.Â
Alasan yang dijelaskan mengapa tingkat pendidikan menjadi variabel penting dalam konteks partisipasi politik dan preferensi politik karena masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung mengikuti perkembangan berita-berita politik dan memiliki kapabilitas untuk menyadari dampak dari suatu kebijakan publik yang ditetapkan apakah menguntungkan atau merugikan, alasan lain adalah lingkungan dimana individu yang berpendidikan tinggi memiliki posibilitas untuk mendiskusikan isu isu politik dalam kehidupan sehari-harinya. (Almond & Verba, 1963)Â
Dalam konteks relasi atau hubungan antara tingkat pendidikan dengan preferensi politik serta partisipasi politik memiliki konteks yang sedikit berbeda dari teori dan penemuan akademisi-akademisi politik yang sebelumnya. Dalam konteks partisipasi politik masyarakat dengan level pendidikan rendah cenderung berpartisipasi secara lebih aktif baik dalam memberikan suara dalam pemilihan umum ataupun berpartisipasi dalam sebuah kampanye politik.Â
Data yang ditemukan oleh (Mujani, Liddle, Ambardi, 2018) menyebutkan bahwa masyarakat berpendidikan tinggi cenderung lebih sedikit datang ke TPS dibandingkan masyarakat berpendidikan dasar.Â
Hal ini juga koheren dengan partisipasi masyarakat dalam konteks kampanye, masyarakat berpendidikan dasar cenderung lebih aktif dalam mengikuti kampanye terutama kampanye pemilihan legislatif dibandingkan masyarakat berpendidikan tinggi, data ini setidaknya konsisten sejak 1999-2014.Â
Apabila melihat data tersebut menjadi menarik untuk melihat bagaimana relasi dan perilaku masyarakat berpendidikan tinggi yang cenderung menjadi masyarakat yang kritis dalam berpartisipasi politik dan memilih dalam pemilu. Masyarakat berpendidikan tinggi memiliki tendensi untuk menjadi "critical citizens" apabila meminjam diksi Pippa Norris dalam bukunya yang berjudul sama yaitu "critical citizens."Â
Masyarakat yang kritis akan menjadi pemilih rasional yang tidak terikat pada partai atau calon tertentu, dan mereka cenderung mempertimbangkan keuntungan ekonomi dalam proses pemilihan.Â
Dalam implementasinya, pemilih rasional seperti ini dapat memilih untuk tidak memberikan dukungan kepada partai atau calon manapun atau memilih untuk golput, karena mereka merasa bahwa tidak ada pilihan yang benar-benar menguntungkan bagi mereka. Dalam literatur politik, pemilih semacam ini sering disebut sebagai "pemilih free riders."Â
Terdapat penjelasan lain mengapa angka masyarakat berpendidikan tinggi yang mengikuti kampanye lebih rendah daripada masyarakat kelas bawah yang mengikuti kampanye. Untuk menjawab hal ini kita perlu melihat tipologi khas dari partisipasi politik di negara berkembang yang terbagi menjadi 2 yaitu partisipasi politik yang bersifat otonom serta partisipasi politik yang sifatnya mobilisasi (Budiardjo, 2008), dan dalam konteks Indonesia kampanye yang terjadi secara umum dan general merupakan kampanye yang bersifat mobilisasi. Sedangkan karakteristik masyarakat berpendidikan tinggi adalah masyarakat yang sulit dimobilisasi sehingga hal ini menjelaskan mengapa masyarakat berpendidikan tinggi memiliki angka kuantitatif lebih kecil daripada masyarakat berpendidikan dasar.Â
Sehingga dapat disimpulkan di Indonesia kelompok masyarakat berpendidikan tinggi cenderung lebih rasional dan kritis tapi belum tentu diimplementasikan dengan kampanye ataupun memilih partai politik atau calon karena berdasarkan data yang ditemukan oleh (Mujani, Liddle, Ambardi, 2018) menyatakan bahwa lebih sedikit masyarakat berpendidikan tinggi yang mengikuti kampanye ataupun pemilihan umum dibandingkan dengan masyarakat berpendidikan dasar. Hal ini disebabkan karena budaya demokrasi di Indonesia yang sifatnya masih prosedural sehingga sarat akan mobilisasi dengan imbalan materiil yang turut mencoreng substansi demokrasi di Indonesia.Â
Bagaimana dengan pengaruh tingkat pendidikan dengan preferensi politik masyarakat? Masyarakat berpendidikan rendah cenderung memilih Golkar dan PKB dan data ini konsisten sejak 2004, namun uniknya PDIP sebagai partai wong cilik mengalami regresi dalam konteks pemilih masyarakat kelas rendah dimana pada tahun 2014 pemilih PDIP cenderung merata di kalangan masyarakat berpendidikan tinggi dan masyarakat berpendidikan rendah yang mayoritas ada di pedesaan.Â
Sedangkan PKS dan PAN sebagai simbol islam modernis di Indonesia cenderung dipilih oleh masyarakat berpendidikan tinggi karena memang secara identitas PAN merupakan partai yang berasal dari organisasi islam Muhammadiyah yang merupakan simbol modernis islam yang terpelajar sedangkan PKS lahir dari organisasi di masjid-masjid universitas, namun pada tahun 2014 angka ini cenderung merata antara masyarakat berpendidikan tinggi dan masyarakat berpendidikan dasar bagi PKS dan PAN walaupun masih didominasi oleh masyarakat berpendidikan tinggi. Hal ini menunjukan bahwa kurang konsistennya variabel tingkat pendidikan masyarakat dalam mempengaruhi preferensi politik masyarakat dikarenakan semakin samarnya pengaruh pendidikan terhadap pilihan politik pada partai politik.Â
Dalam konteks pemilihan presiden terdapat pola yang cukup konsisten dimana calon presiden yang diusung PDI Perjuangan memiliki tendensi untuk dipilih oleh masyarakat dengan berpendidikan rendah, data ini konsisten sejak 2004-2014. Walaupun pada 2014 data menunjukan bahwa terdapat regresi pemilih berpendidikan rendah dalam suara elektoral PDI Perjuangan pada 2014. Megawati pada pemilu 2004 dipilih oleh sekitar 62% pemilih Megawati adalah masyarakat berpendidikan rendah. Hal itu juga menjadi faktor penting bagi capres PDIP di tahun 2009 dimana 64% pemilih Megawati-Prabowo merupakan masyarakat
berpendidikan rendah. Pada tahun 2014 mayoritas pemilih Jokowi yang didukung oleh PDI Perjuangan merupakan masyarakat berpendidikan rendah, hal ini berbanding terbalik dengan Prabowo yang pemilihnya mayoritas berasal dari lulusan universitas. Hal ini tentu menjadi menarik apabila mengingat isu pelanggaran HAM yang menjadi isu yang selalu naik setiap mendekati pemilu dan bagaimana sosok Prabowo lebih meyakinkan masyarakat berpendidikan tinggi dibandingkan Jokowi.Â
Dalam konteks pilihan politik terhadap calon presiden, level pendidikan di masyarakat menjadi faktor sosiologis yang cukup konsisten, stabil, dan independen dimana dapat dilihat pola yang jelas antara relevansi level pendidikan di masyarakat dengan preferensi pemilih dalam pemilihan calon presiden dan wakil presiden di IndonesiaÂ
b. Dampak Ketidakmerataan Akses Pendidikan dan Polarisasi Politik terhadap Preferensi PolitikÂ
1. Ketidakmerataan Akses Pendidikan dan DampaknyaÂ
Ketidaksetaraan akses pendidikan dapat menyebabkan disparitas dalam pengetahuan dan kesadaran politik seseorang. Partisipasi tiap-tiap individu dalam proses politik dapat terhambat karena adanya keterbatasan kesempatan pendidikan yang berdampak langsung pada keabsahan dan keluasan informasi yang diterima. Dalam kacamata lain, kurangnya akses ke pendidikan berkualitas dapat berkontribusi pada kesenjangan sosial dan ekonomi, yang dapat mempengaruhi preferensi politik.Â
Ketidakmerataan pendidikan berpengaruh pada politik masyarakat dan memiliki peran penting dalam mencapai kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk politik. Ketimpangan dalam akses dan kualitas pendidikan dapat mengakibatkan banyak masyarakat yang tidak dapat menikmati kesempatan pendidikan, terutama bagi mereka yang kurang mampu. Ketidaksetaraan dalam pembangunan pendidikan nasional juga dapat memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat. Hubungan sebab-akibat antara faktor sosial dan ekonomi dalam masyarakat berkontribusi pada ketimpangan kualitas pendidikan. Studi oleh Muttaqin (2018) menyatakan bahwa ketidakmerataan tersebut berasal dari perbedaan karakteristik di berbagai tingkat masyarakat serta variasi sumber daya, seperti ekonomi, manusia, sosial, politik, dan infrastruktur.Â
Sejak Indonesia mengalami transisi menuju demokrasi pada tahun 1998, ketidakmerataan kekayaan di negara tersebut telah mengalami peningkatan yang signifikan. Dampak dari kesenjangan sosial yang semakin membesar ini ternyata juga berpengaruh terhadap politik dalam masyarakat. Peran politik redistribusi menjadi semakin menonjol sebagai tanggapan terhadap ketimpangan ini, yang tercermin dari peningkatan minat pemilih pada politisi yang berkomitmen untuk menerapkan kebijakan-kebijakan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial lainnya.Â
Tingkat pendidikan pemilih dalam pemilu memiliki implikasi sosial dan politik yang signifikan. Pemilih dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih aktif dalam partisipasi politik. Meskipun beberapa kelompok pendidikan rendah mungkin terlibat dalam kampanye, motivasinya seringkali didorong oleh bayaran dan kurangnya pemahaman tentang calon yang mereka dukung. Di sisi lain, kelompok pendidikan tinggi cenderung lebih berpartisipasi secara langsung dalam politik, seperti terlibat dalam parlemen atau menjabat dalam pemerintahan. Kelompok pemilih dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung membuat pilihan politik dengan kesadaran, pertimbangan, dan pemahaman yang matang terhadap pemimpin yang mereka dukung.Â
2. Efek Polarisasi PolitikÂ
Polarisasi politik dapat diartikan sebagai perbedaan pilihan politik yang menyebabkan terjadinya perpecahan pada masyarakat dan menghadirkan permusuhan seperti rasa saling tidak percaya dan kebencian (Mansyur, 2023). Polarisasi politik sering ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya yang menganut sistem demokrasi karena setiap warga memiliki kebebasan dalam hal preferensi politik. Atas beragamnya preferensi politik yang hadir, tidak jarang kita menemukan berbagai perdebatan mengenai preferensi manakah yang lebih baik dan hal ini seringkali menimbulkan perpecahan dan akhirnya terjadi polarisasi politik. Selain itu, polarisasi politik merupakan senjata bagi aktor politik karena mereka bertujuan mengejar tujuan politik mereka melalui strategi polarisasi seperti memecah belah pemilih, menyebarkan ujaran kebencian, dan memanfaatkan keresahan masyarakat (Mccoy, Somer, 2019).Â
Jika kita analisis dan kaitkan dengan ketidakmerataan pendidikan dan preferensi politik, seorang aktor politik dapat melakukan polarisasi dan mempengaruhi preferensi politik dengan membawa isu dan propaganda terhadap aktor politik oposisi dan menciptakan sebuah framing yang mencelakakan kepada warga yang memiliki tingkat pengetahuan dan pendidikan yang berbeda. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang rendah dengan yang tinggi tentunya memiliki cara penangkapan dan pemahaman informasi yang berbeda. Apabila seseorang tidak memiliki cara pemahaman informasi yang baik, mereka sangat rentan untuk terpolarisasi oleh propaganda yang dibawakan oleh aktor-aktor politik tersebut. Sebaliknya dengan seseorang yang dapat mengkaji, meneliti, dan memahami secara cermat sebuah isu dan propaganda politik yang sedang beredar tidak akan mudah terprovokasi dan tergiring oleh polarisasi yang dilakukan aktor-aktor politik tersebut.Â
Ketidakmerataan pendidikan memang sejatinya dapat dilihat sebagai eksploitasi bagi seorang aktor politik untuk melakukan polarisasi. Seorang aktor politik yang licik namun cerdik tentunya ingin memanfaatkan warga yang memiliki tingkat pendidikan rendah untuk mendulang suara karena mereka mudah disusupi dan tidak memiliki pengetahuan politik yang mendalam. Selain itu jika kita kembali hubungkan dengan isu preferensi politik, tidak jarang kita temukan banyak sekali warga, baik yang berpendidikan rendah maupun tinggi masih tidak memiliki preferensi politik atau dikenal sebagai undecided voters. Hal ini tentu pula berpengaruh terhadap polarisasi yang dapat dijalankan oleh aktor-aktor politik untuk mencapai tujuan politiknya.Â
KESIMPULANÂ
Melalui tulisan ini, dapat kami simpulkan bahwa faktor pendidikan memiliki peran dalam sebuah pilihan politik seseorang. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi tentu memilki preferensi, analisis, dan cara memandang politik yang berbeda dengan seseorang dengan tingkat pendidikan yang rendah. Selain itu, ketidakmerataan pendidikan juga berpengaruh terhadap beberapa hal, seperti tinggi-rendahnya partisipasi politik menjadi salah satunya. Polarisasi politik sebagai dampak dari ketidakmerataan pendidikan juga dapat terjadi melalui celah yang dapat dieksploitasi oleh aktor politik untuk melakukan polarisasi demi menambah suara sang aktor politik tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H