"Setelah beberapa tahun kita lalui bersama kini kita telah memetik buahnya" renungan Senja di hatinya. Tertawa ketiga sahabat itu, dengan posisi dan tempat yang sama, dengan arah matahari telah berada di ufuk barat akan terbenam disela-sela air asin yang siap digeser awan petang di temani sang bulan dan bintang.Â
Senyuman itu terus menghantui setiap mereka berkumpul menikmati indahnya sore, sekian tahun telah mereka lalui dengan ketenangan diatas senyuman meski kesulitan yang menjadi latar belakang. Kulit kacang, Fanta, Sprite menemani waktu luang mereka, setelah seharian terkurung di ruangan yang gerah akan kesibukan.Â
Tertawa mereka terhenti dengan Mentari yang bertanya pada dua sahabatnya "ehh.. kawan? sudah lama kita tidak bertemu dengan Pak Bambang, apa sudah pensiun beliau?" sambil meminum Fanta dengan sangat menikmatinya. "iya, ya...tapi sudah lah bagaimana lagi, toh nomer HP saja sudah tidak aktif" sahut Ben. Mereka terdiam sejenak, Senja yang berbaring di pasir sambil menggigit kulit kacang, Mentari menikmati fanta dengan memandangi proses terbenamnya matahari, Ben bermain pasir di hadapannya.Â
Santai itu pun telah mereka sudahi ketika suara gema Adzan magrib terdengar di telinga, mereka pun menuju rumah masing-masing memanjakan tubuhnya dengar air hangat lalu bersiap menghadap sang pencipta.Â
Senja pun berbaring di atas kasur spon setelah selesai berdoa dengan apa yang dia rasakan saat ini, sejenak teringat masa itu ketika dirinya dan dua sahabat lainnya berada digaris keterpurukan.Â
Mereka hidup dengan latar belakang yang sangat sederhana serba kekurangan, kehidupan di daerah pesisir yang mayoritas penduduknya menjadi seorang nelayan, sebagian bekerja menjadi buruh tani, dan ada juga bekerja sebagai pemulung ikan dari sisa-sisa hasil nelayan yang nantinya akan di olah menjadi ikan asin. Desa Naujut tempat terpencil di Kabupaten Naipmi, sangat jauh berbeda dengan desa-desa lain, meski tidak hanya desa Naujut saja yang berada di pesisir laut namun perbedaan sangat mencolok, desa Ayak misalnya, yang berada di pesisir laut tetapi kehidupan di desa tersebut tergolong menengah ke atas.Â
Disisi lain jarak dari kota yang sangat jauh yang membuat desa  Naujut sulit berkembang, jalur menuju desa tersebut masih kurang maksimal, jalan setapak berbatu dan berpasir menjadi kendala utama. Tidak hanya itu saja, listrik dan pendidikan yang sangat terbatas menjadi penyebab perkembangan desa tersebut semakin terpuruk. Pemerintah daerah hanya bisa memajukan pusat kota dan desa-desa terdekat saja, para tikus-tikus yang memikirkan kenyamanan dan ketentraman individual memberi kesejahteraan yang sangat berbeda.Â
sifat rakus dan licik menjadi ciri dari pemerintahan ini, jika di negara lain usia dini hingga 17 tahun menerima uang dari negara, berbeda dengan negeri ini tidak pandang usia semua rata menerima kesengsaraan hanya yang berbeda pada keluarga-keluarga atas yang mengandalkan ajimumpung saja.Â
Mereka hanya berkumandang janji setelah terpilih sampah lah kami, beberapa uang bahkan puluhan juta atau sampai miliyar hingga triliun mereka hamburkan kesana-kemari dengan tujuan yang tidak jelas, sehingga apa yang dicanangkan oleh pemerintah jarang sampai ke pelosok desa. Desa Naujut hanya terlihat terang ketika waktu menunjukkan pagi, siang, dan sore, malam pun akan menghentikan aktifitas pada desa tersebut.Â
Hanya terlihat beberapa lampu listrik saja di rumah warga, Lilin pun menjadi penerangan satu-satunya bagi warga yang hidup serba kekurangan, jika terlihat dari jauh, desa ini seperti desa kunang-kunang, kedap kedip sinar lilin yang terhembus angin laut. Tak lama kemudian bedug untuk shalat isya terdengar di telinga Senja, lamunan berhenti,Â
Senja pun mengambil wudhu. Shalat isya telah selesai dilakukan, dia pun melihat Ibunya yang sedang melihat TV. Sambil berjalan menuju ruang tamu Senja menyapa "Ibu kok belum tidur? Apa sudah makan bu?" tanya Senja terhadap Ibunya yang sedang melihat TV dengan memegang tasbih, memutar dan memetik biji-biji tasbih mengumandangkan Dzikir dalam hatinya. "belum nak, kenapa? Sudah tadi sore Ibu makan sama Bapaknya, kenapa belum tidur Senja? Besok kerja mending sekarang tidur saja, tuh bapaknya sudah ngorok kayak sepur yang melintas." Sahut Ibu yang lekas menghentikan Dzikirnya. Senja duduk di sofa dengan menghisap sebatang rokok dan menikmatinya, perlahan asap keluar dari mulut Senja dengan menjawab " sebentar bu, ini masih menikmati sebatang rokok, stelah ini Senja akan tidur ". Mendangar jawaban anak semata wayangnya.
 Ibu pun meneruskan Dzikinya dengan menikmati acara demi acara di TV. Berselang waktu 30 menit rokok yang di nikmati telah habis, dia pun menuju kamarnya dengan melihat HP yang menyala terlihat ada pesan, Senja pun membuka kemudian membaca dua pesan yang diterima dari sahabatnya. Setiap malam trio sahabat tersebut rutin memberi pesan sebelum tidur, bagi mereka rutinitas ini hanya untuk mengingatkan apapun yang mereka alami tak terkecuali baik atau buruk dalam kesehariannya perlu akan sebuah rasa syukur sehingga syukur itu lah yang mengantarkan akan rasa ikhlas dengan apa yang telah dilewatinya, mereka percaya dengan ikhlas serta bersyukur semua akan ada rahmat dalam itu semua.
Pagi pun menjemput mereka yang harus bersiap-siap untuk bekerja, Senja yang bergegas menuju kamar mandi dengan semangat dia lakukan, mandi pun selesai hanya butuh waktu 10 menit saja. Dia melanjutkan memakai pakaian kantornya, ketika memasang dasi kenangan masa kecil itu muncul di benak Senja. Pada saat itu Senja yang baru masuk di SD yang tidak jauh dari rumahnya, dia murid baru yang masih duduk di kelas satu bersamaan dengan sahabatnya Mentari dan Benam.Â
Perkenalan di kelas tidak luput menjadi momen terpenting bagi dirinya, pasalnya dari perkenalan di kelas lah yang membuat mereka bisa menjadi sahabat hingga saat ini. Mentari seorang gadis yang merupakan satu-satunya sahabat yang berlawanan jenis, dia berbeda keyakinan dengan Senja namun persahabtan mereka tidak terganggu. Dia terlahir dari seorang buruh tani, Mentari anak kedua dari dua bersaudara tetapi sebelum kelahirannya kakak kandung Mentari telah pergi jauh untuk selamanya, penyakit yang di derita membuat orang tuanya tidak berdaya karena himpitan ekonomi yang sangat mendesak, tidak lama kemudian saat Mentari masih kecil harus mengalami kenyataan yang pahit untuk kedua kali.Â
Ayahnya telah meninggal dunia ketika dia berumur 2 tahun, meski seumurannya tidak merasakan kesedihan tapi ketika dia sudah mengerti Mentari akan merintih. Mulai kecil dia sudah membantu Ibunya bekerja meski hanya sebagai penjual es lilin di sekolahan sedangkan Ibu Mentari hanya bekerja sebagai buruh tani, tanpa rasa malu dia lakukan demi kelangsungan hidup dan sekolahnya. Ketika perkenalan di depan kelas dia terlihat canggung dan malu melihat teman-teman sekelas memeperhatikannya, hingga dia hanya bisa mengatakan sebuah kata yaitu nama Mentari Aprilian.Â
Perkenalan yang sangat singkat, namun dengan itu  Senja bisa mengingat karena kelakuan lucunya meski tidak begitu akrab. Ke akraban dimulai ketika jeda istirahat yang terlihat Benam menarik dasi milik Mentari hingga putus karet didasi tersebut. Senja yang melihat hal tersebut langsung menghampiri mereka berdua hingga dia memberikan dasi miliknya terhadap Mentari, kelakuan pahlawan yang dilakukan Senja tidak berhenti disitu saja, bentakan yang menyuruh Benam meminta maaf terhadap Mentari membuat berkesan namun disisi lain Benam harus berjanji akan menjadi teman yang baik bahkan sebagai sahabat Mentari dan Senja yang akan selalu ada dalam setiap suka dan duka.Â
Kejadian itu menjadi awal persahabatan antar Senja, Mentari, dan Benam. Perkenalan selanjutnya dialami oleh Benam, dengan kepala plontos dia berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri dengan tubuh gemetar yang membuat seisi kelas tertawa dengannya, laki-laki plontos itu akrab di panggil Ben dengan bernama asli Benam Yohanes.Â
Benam yang terlahir dari keluarga kurang mampu sama halnya dengan Mentari maupun Senja, Ayah Benam bekerja sebagai nelayan namun merasa tidak puas beliau pun merantau menjadi TKI di Malaysia, kepergian Ayahnya tidak merubah kehidupan Benam.Â
Dengan kabar yang mengejutkan dari tetangga yang bekerja sebagai TKI di Malaysia juga, Ayah benam memiliki istri di Negara orang tersebut sehingga lupa akan keluarga di kampung. Ibu Benam harus memikul beban dengan sendiri, dia hanya mengandalkan pekerjaannya sebagai pemulung ikan dari sisa-sisa ikan di kapal nelayan, kemudian di proses menjadi ikan asin.Â
Benam pun tidak hanya diam melihat kerja keras Ibunya, dia membantu Ibunya untuk memunguti ikan di perahu-perahu yang bersandar. Dari tiga belas murid kelas satu, hanya tersisa satu orang yang masih belum memperkenalkan diri yaitu Senja Raditya, dia merupakan seorang anak laki-laki yang terlahir dari sebuah keluarga tidak mampu juga.Â
Ibu Senja yang bekerja sebagai buruh tani yang penghasilannya hanya pas untuk di makan dan menyekolahkan Senja saja, di samping itu Ayah senja yang mengalami penyakit hernia membuat tidak berdaya pasalnya penyakit tersebut tidak dapat beraktifitas dengan berat, hal tersebut akan membuat kelenjar penis akan besar sebelah dengan rasa sakit yang tidak biasa. Keadaan itu membuat Senja harus membantu Ibunya bekerja.Â
Dengan tekun, dia bekerja mengangkat ikan di atas kapal yang akan di timbang. Upahnya hanya bisa menambah uang jajan sekolah. Kejadian antara Benam dengan Mentari telah mempersatukan mereka meski dengan latar belakang kehidupan yang serba kekurangan, rumah mereka masing-masing berjarak 100 meter. Jika terlihat dari atas letak rumah mereka menjadi segitiga sama sisi, setiap subuh Senja dan Benam sudah parkir di pesisir menunggu perahu-perahu nelayan, meski hembusan angin yang menusuk jaring kulit di pori-pori, mereka tidak peduli.Â
Benam yang bersama Ibunya dengan gigih memungut sisa-sisa ikan yang terjatuh dari bak ikan yang akan di timbang oleh pengepul. Terkadang jika mereka berpas-pasan dengan Senja yang mengangkat bak ikan, Senja dengan sengaja menjatuhkan beberapa ekor ikan, agar Benam dan Ibunya bisa lekas mendapatkan hasil yang lumayan. Pekerjaan itu mereka lalui hingga matahari terbit, mereka akan bergegas pulang dan bersiap untuk kesekolah.Â
Senja dengan Mentari yang memiliki sifat di siplin, tergesah-gesah untuk berangkat ke sekolah, sedangkan Benam yang memiliki kebiasaan lambat membuat Senja dan Mentari harus menjemput. Mereka berjalan menuju sekolah, setiap berangkat Mentari selalu membawa termos yang berisi es lilin untuk dijual di sekolahnya. Es itu didapat setiap pagi, tetangga Mentari yang selalu mengantarkan ke rumahnya.Â
Meski penghasilan sedikit namun dia selalu senang terkadang marah jika mengalami hari yang kurang mujur. Bel sekolah pun berbunyi, mereka siap menerima pelajarannya hingga waktu untuk pulang datang.
Waktu pulang tinggal beberapa menit saja, Benam yang ramai akan ocehan agar segera pulang, membuat teman-teman sekelasnya mengikuti ocehan Ben. "pulang bu, pulang bu, pulang bu" layaknya nyanyian anak-anak. Dan akhirnya mereka pulang, namun mereka mendapatkan PR Bahasa Indonesia untuk di kumpulkan besok.Â
Trio sahabat tersebut berjalan pulang kerumah masing-masing, terlihatlah rumah Ben di ujung sana, rumah Ben terletak di depan jika di lihat dari belakang, rumah Ben 200m dari laut sedangkan Senja dengan Mentari hanya berjarak 100m dari laut. Fikiran Ben yang melayang memikirkan PR membuat dia terdiam setelah melihat rumah surganya, sebelum sampai dia langsung berbicara "teman-teman nanti sore ketemu di laut ya...?". Mendadak berhenti Senja dan Mentari "untuk apa Ben? Tidak takut jika sore berada di pesisir laut" celetus Mentari.Â
Menggeleng-geleng lah Senja melihat apa yang dia dengar. "aku tidak bisa mengerjakan PR yang diberi Ibu guru tadi, mangkanya aku ngajak kalian ketemu di laut dengan membawa buka dan PR masing-masing". "ohh begitu, aku fikir mau ngapain disana Ben Ben" serentak Senja dengan Mentari menjawabnya, "ya sudah nanti pukul 16.00 kita bertemu di laut di dekat batu besar disana ya" tambah Senja. Berpisahlah mereka Ben yang sampai di rumah sedangkan Senja dengan Mentari berjalan kearah rumah masing terbelah menjadi dua arah, Senja ke kiri dan Mentari ke kanan.Â
Mereka telah sampai di rumah masing-masing, makanan pun menjemput mereka, meski hanya dengan lauk seadanya mereka selalu menikmati apa yang dihidangkan. Sore telah datang, berangkat lah trio sahabat itu menuju tempat yang sudah mereka sepakati siang tadi, dengan pamit ke orang tua masing-masing berlari lah Senja, secara mengejutkan Ben telah datang terlebih dahulu bersama Mentari.Â
Berkumpul kembali sahabat-sahabat tersebut, membahas PR, bercanda, dan bercerita tentang diri masing-masing di depan matahari yang sedang mengarah ke celah air asin di ujung barat. Merasakan kenyamanan serta keindahan sore hari bersantai di tepi laut mereka menekuni hal tersebut, hingga pertemuan mereka dengan sastrawan kota yang sedang meneliti kehidupan pesisir pantai tersebut.
Kenaikan kelas 6 menjadi momen terpenting bahwa persahabatan mereka sudah menginjak pada umur 5 tahun, sore itu mereka duduk di tepi pantai dengan tempat yang sama di dekat batu besar dengan melihat sunset. Terlihat sesosok orang yang sedang menuju mereka, tidak lama kemudian dia berkenalan. Entah apa maksut dan tujuan beliau, secara tiba-tiba duduk di dekat mereka dengan menjulurkan tangan kearah Senja, Mentari, dan Benam. Namanya Pak Bambang dia hidup di kota, profesinya sebagai seorang sastrawan yang memiliki beberapa ragam karya yang mengangkat dari kehidupan nyata.Â
Pak Bambang bertanya berbagai macam pertanyaan mulai dari nama, rumah dimana, profesi keluarga, dan cita-cita mereka, namun di sela-sela Pak Bambang membujuk serta melucu di hadapan mereka. Dengan hal tersebut beliau telah menguras banyak informasi tentang mereka serta warga desa. Pertemuan kita berakhir ketika awan malam telah datang, mereka pun menuju kerumah untuk mandi kemudian melanjutkan aktiftas sehari-hari. Pak Bambang telah banyak berfikir mendengar cerita yang di peroleh dari Senja, Mentari, dengan Benam.Â
Rupanya kehidupan desa Naujut sangat rendah, hanya beberapa orang yang bisa merasakan kenyamanan, hingga beliau memiliki fikiran yang bisa memajukan desa agar terlihat tidak kalah saing dengan desa yang pernah dia datangi. Pada akhirnya beliau harus memberi tunas-tunas yang bisa memajukan desa, melalui trio sahabat itu, kebetulan mereka juga memiliki cita-cita yaang beragam, salah satunya merubah kehidupan keluarga menjadi lebih baik dengan begitu trio sahabat itu bisa menjadi awalan atau contoh bagaimana melewati derita hidup yang semakin lama semakin kejam jika hanya mengikuti arus.Â
Setiap sore Pak Bambang harus menemui mereka yang sering duduk dan bersantai di tepi pantai yang tidak jauh dari tenda beliau. Hingga motivasi-motivasi yang terucap dari beliau terhadap trio sahabat tersebut bisa diserapnya, melalui profesinya dia mengajarkan bagaimana cara untuk menjadi sukses namun bukan berarti hanya dengan sastra yang bersangkutan dengan karya akan membawanya menjadi sukses, masih banyak jalan menuju hal tersebut. Usaha beliau telah membawa hasil yang sangat mengejutkan, Senja yang tertarik dengan profesi beliau memberikan semangat agar bisa menyetarakan dengan beliau atau bisa melebihinya.Â
Kelas 2 SMP mulai lah Senja berkarya hingga puluhan karya puisi yang telah dia buat, melihat semangat Senja Pak Bambang langsung merespon karya yang menurutnya bagus, dengan diam-diam Pak Bambang pergi dan mengambil keseluruhan karya Senja untuk dikirim di sebuah radar ternama di negeri ini. Tidak terasa perkenalan mereka dengan Pak Bambang sudah memakan waktu 6 tahun tepatnya kelas 2 SMA, berkat beliau mereka sekolah hingga SMA, Senja yang bersekolah di SMA PGRI 01 Ayak jurusan Bahasa, Mentari dan Benam di SMKN 01 Ayak dengan jurusan Sekertaris dan TKJ (Teknik Komputer Jaringan).Â
Sekolahan trio sahabat itu sangat jauh dari rumah masing-masing sehingga setiap hari mereka harus membawa kendaraan sepeda gunung yang butut. Meski mereka terpisah oleh sekolahan namun persahabatan mereka yang membuat ke eratan terjaga, aktifitas yang mereka lakukan mulai kecil masih tersirat hingga remaja mulai dari bekerja, bersekolah, dan berkumpul di tepi laut pada sore hari.Â
Perkenalan Pak Bambang dengan trio sahabat itu membuat dia betah tinggal di pesisir laut meski penelitian beliau selesai 4 tahun lalu tapi beliau masih tetap berada di dekat mereka untuk terus memberi semangat agar kelak bisa merubah kehidupan desa yang di tempatinya. Hari minggu yang sangat menyenangkan bagi trio sahabat itu, dimana mereka bisa bertemu dengan Pak Bambang untuk seharian dan bercerita, mendengarkan motivasi dari beliau.Â
Namun ketika mereka menghampiri tenda Pak Bambang ternyata dalam keadaan kosong, dengan bingung mereka mencari kesana kemari namun keberadaannya tidak di temukan. Hingga seminggu mereka tidak pernah bertemu dengan beliau sampai akhirnya sebulan mereka masih belum bertemu, setiap sore trio sahabat mencarinya namun tidak ketemu, pencarian mereka berakhir ketika mereka dipukul dari belakang dengan glintiran koran yang dipegang Pak Bambang.Â
Dengan terkejut mereka berbalik arah ternyata Pak Bambang datang, dengan senyum-senyum dia mengajak trio sahabat tersebut santai ditempat biasanya, beliau menjulurkan koran tersebut ke arah Senja. Tidak menunda waktu Senja membukanya, terpampang sebuah karya
"Senja, Mentari terbenam"
Oleh : Senja raditya
Dunia telah banyak anugrah Tuhan yang tidak pernah terlewatkan
Meski terkadang menyakitkan namun bisa menyenangkan
Perjalanan manusia sangat lah panjang tidak bisa diukur dan tidak bisa ditimbang
Menyakitkan  jika dirasakan, coba hilangkan asik akan datang
Prinsip hidup sudah ditunjukkan Tuhan, jika tidak melewatkan
Sadar, tidak tergantung perjalanan jika tersesat akan menyulitkan
Fajar sudah menunjukkan, untuk menerangi dan memberi cahaya umat Tuhan
Gigih tanpa keluh dilewatkan dengan tegar agar mencapai dan dirasakan
Senja memberi tanda bagaimana keindahan
Perlakuan terlihat menyenangkan dengan hasil memuaskan
Tergantung bagaimana mengartikan kehidupan, bahwa hidup sebuah pilihan
Fajar akan terus menerangi keseharian, hingga muncul senja indah kehidupan
terkejutlah Senja melihat sebuah karyanya terbit di radar ternama di negeri ini. "apa ini benar? Pak ini benar karyaku?" tanya Senja terhadap Pak Bambang dengan perasaan yang bercampur aduk. Beliau hanya menganggukkan kepala saja, berebutlah Mentari dan Benam untuk melihat koran tersebut. Setelah dua sahabat membaca karya Senja, mereka memeluk Senja dengan memberi ucapan selamat, tiba-tiba Pak Bambang memberi sebuah rekening BANK diserahkan kepada Senja.Â
Beliau menerangkan "jika dalam satu minggu setelah karya dimuat akan mendapatkan honor", dengan wajah tersenyum. "Semoga ini menjadi awal untuk kalian bertiga, kebanggaan ini tidak akan pernah saya lupakan, terus mengejar impian kalian, rubah desa kalian untuk menjadi lebih baik" sambil berjalan meninggalkan trio sahabat itu.Â
Disela-sela kegembiraan itu Senja heran bagaimana cara beliau mendapatkan karyanya, sedaangkan beliau hanya sebatas mengetahui jika Senja mulai menulis, dengan penuh rasa curiga mimik wajah yang terus memandangi langkah kaki Pak Bambang, " sebelumnya minta maaf, Bapak mengambil karya Senja pada saat kamu sekolah namun Ibumu mengatahui rencana bapak" tercuat pengakuan beliau dengan berjalan dia berteriak. Sudah berulang kali karya Senja dikirim di media cetak namun dari puluhan karyanya baru satu karya yang terbit.Â
Senja pun terkejut dengan kelakuan beliau namun disisi lain dia merasa berterima kasih karenanya lah sebuah karya Senja muncul di media cetek ternama di negeri ini, Senja pun langsung memaafkan beliau dan banyak berterima kasih meski hanya terlintas di fikirnya saja.
Jam menunjukkan pukul 07.00 Senja pun berpamitan ke kedua orang tuanya. Dia bekerja di media cetak ternama di kota, pekerjaan tersebut didapat ketika lowongan kerja dibuka yang membutuhkan orang-orang yang ahli dalam bidang sastra untuk memilih karya-karya pengirim untuk di terbitkan, di dukung karya Senja yang telah beberapa kali terbit sehingga dia dipercaya untuk bekerja disana.Â
Lambat tahun desa yang mereka tempati telah mengalami perubahan sedikit demi sedikit, jalan yang mulai baik, listrik yang mulai masuk, banyak remaja-remaja yang bersekolah hingga kejenjang perkuliahan, apa yang di harapkan oleh Pak Bambang telah memberi perubahan, semua itu tidak lain dari peran penting trio sahabat tersebut yang bisa menjadi figur masyarakat desa Naujut.Â
Dalam perjalanan trio sahabat bertemu, Benam yang sudah mempersunting Mentari dengan mesrah menyapa Senja yang sendiri menikmati jalan menuju tempat pekerjaannya. Dua sahabatnya bekerja di Telkom dengan keahlian masing-masing tak jauh dari ilmu yang mereka dapat di SMK. Di atas sepeda motor trio sahabat berteriak mengatakan pesan yang sering dikatakan oleh Pak Bambang yang telah meninggalkan mereka dengan diam-diam.
"hiduplah seperti mentari tanpa pamrih, dengan gigih dan tegar agar mencapai senja indah kehidupan" .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H