Mohon tunggu...
MK
MK Mohon Tunggu... Freelancer - Cahaya Bintang

Saat diri dapat katakan CUKUP di saat itu dengan mudah diri ini untuk BERBAGI kepada sesama:)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pintu Depan 42

3 Mei 2022   19:06 Diperbarui: 4 Mei 2022   07:15 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Wiwi mengajak masuk ke dalam halaman monas yang dipenuhi anak kecil berlarian kencang riang gembira. Sepeda kami tuntun dan berjalan pelan untuk menghindari kecelakaan. 

"Aku masih ingat betul waktu pertama kali ke Jakarta dengan bunda," kata Wiwi sambil menatap ke arah stasiun Gambir.

Mereka sampai stasiun Gambir sekitar jam 6 pagi. Wiwi yang mengenakan pakaian seragam SD sejak dari rumah, diajak bunda ke toilet untuk dilap badan dan mukanya. Setelah itu mereka duduk di teras bagian ujung dekat parkiran belakang untuk sarapan.

"Bun, monas! Itu monas!!" teriak Wiwi dengan gembira sambil menunjuk ke arah tugu monas. Saat sedang disuapi bunda, mata Wiwi melihat seorang anak laki seusianya berjalan membawa karung di pundak dan berhenti di setiap ada tong sampah.

"Bunda, anak itu kenapa bawa karung dan periksa tong sampah?"tanya Wiwi dengan berbisik pelan dan menatap bunda.

Bunda menoleh ke belakang dan melihat anak yang dimaksud Wiwi.

"Dia itu pemulung cilik," jawab bunda sambil menyuapinya.

Wiwi yang baru pertama kali mendengar istilah itu menjadi semakin penasaran dan terus bertanya, "apa itu... dan kenapa begitu..."

Bunda dengan sabar dan lembut menjawab semua pertanyaannya. 

"Aku ingat betul bunda menjawab bahwa hidup di kota Jakarta tidak seperti kita di kampung yang dikelilingi sawah dan kebun yang subur serta sungai melimpah ikan. Hidup di kampung asal mau kerja keras mengolah hasil alam, tanpa keluar uang bisa makan enak dan sehat. Tetapi, tidak dengan Jakarta yang tidak memiliki semua itu. Hidup di Jakarta perlu banyak uang dan kalau tidak punya pekerjaan maka, harus mengaduk tong sampah mencari sisa makan untuk dimakan atau dijual lagi untuk dapat uang," kata Wiwi dengan mata berkaca-kaca.

"Bunda bilang untuk dapat pekerjaan bagus harus sekolah di tempat yang bagus hingga setinggi mungkin. Karena itu aku harus mengambil kesempatan beasiswa ini. Kelak aku harus bisa menjalani hidup di kota besar dengan memiliki pekerjaan yang bagus," lanjutnya dengan tersenyum menoleh ke arahku.

Selesai makan, gigi Wiwi disikat bunda dan muka kembali dilap supaya segar. Selagi menunggu waktu jam kedutaan buka, mereka jalan-jalan di halaman monas dekat stasiun Gambir. Wiwi dengan gembira langsung berlarian tetapi, segera ditegur bunda untuk berhenti karena nanti baju basah penuh keringat dan bau.

Sampai di kedutaan, muka dan badan Wiwi kembali dilap setengah jam sebelum jam tes dimulai.

Selesai tes, para ibu yang sedang menunggu kaget mendengar Wiwi memanggil bunda dan langsung saling mengunjing.

"Itu anaknya beda banget!"

"Masih muda tapi punya anak sebesar itu." 

Wiwi yang mendengar itu tidak ambil pusing karena sering melihat foto keluargaku yang juga beda warna kulit dan banyak ibu-ibu di kampung yang memiliki anak di usia muda. 

Bunda segera pamitan dan bawa Wiwi pergi dari sana menuju pasar baru untuk beli sepatu.

"Bunda! Itu mesjid Istiqal! Dan lihat gereja Katedral!" serunya riang saat bajaj melewati kedua tempat ibadah itu.

"Kita kalau tinggal di sini bisa ke Istiqal sembahyang dan eyang ke katedral, misa!" lanjutnya dengan wajah berbinar.

Eyang pernah cerita waktu setelah sembuh dari sakit ketika ditinggal aku, saat hari Minggu ketika eyang mau pergi misa ke gereja, Wiwi merengek untuk ikut. Sewaktu masih ada aku, dia tiap hari Minggu juga ikut sekolah minggu. 

"Wiwi menangis mau ikut ke gereja untuk sekolah minggu tetapi, eyang tolak dan bujuk supaya nanti pergi sekolah minggu waktu Bintang pulang," kata eyang dengan tersenyum.

Wiwi yang digendong bude menurut dan dengan tatapan sedih mengantar eyang hingga teras depan.

"Di pasar baru juga ada toko es Shanghai. Kami makan siang mie ayam dan es Shanghai," cerita Wiwi.

Selesai makan, Wiwi saat menunggu bajaj lewat melihat seorang anak perempuan usia 5 tahun duduk bersama ibu di pinggir trotoar. Di depan mereka di atas trotoar ada mangkuk alumunium berisi uang receh. Wiwi kembali bertanya, "Mereka kenapa?" 

Hari itu Wiwi pulang dengan membawa kata baru pemulung dan pengemis.

Sewaktu di Singapura setiap ada libur, Wiwi selalu menginap di rumah majikan bersama bunda. Nyonya besar sangat menyayanginya. Setiap imlek, Wiwi diberi angpao 500$S dan menyuruh para cucu mengajaknya bermain video games.

Wiwi sangat suka bermain nintendo dan penasaran cara membuat video games sehingga memilih kuliah di bidang teknologi informasi.

Setelah jalanan sepi anak kecil, kami kembali mengayuh sepeda menuju mesjid Istiqal dan gereja Katedral melewati stasiun Gambir.

"Kamu tidak shalat?" tanyaku.

"Mau tapi sayang Jason tidak meminjami kunci sepeda jadi tidak bisa ditinggal. Dan aku tidak mungkin membiarkan kamu menjaga sendirian di parkiran," jawabnya.

"Kamu sendiri tidak misa?" balasnya bertanya.

"Aku tidak mungkin misa dengan kondisi bau keringat begini. Lagipula, kemarin sore sudah misa," jawabku.

Wiwi memintaku untuk jalan di depan saat kembali menuju rumah Jason.

"Hey! Ayo, lunch dulu di dalam," ajak Jason ketika kami tiba. 

"Lain kali. Dia lagi mau makan mie ayam pinggir jalan," tolak Wiwi dengan menunjukku.

"Wow! Street food emang the best," jawabnya dengan tertawa lalu membiarkan kami pergi.

Kami sampai di rumah jam 2 siang lebih. Aku segera mandi, keramas dan tidur karena lelah. Saat sedang terlelap, dari arah dapur tercium wangi masakan sehingga membangunkanku jam 18:30.

"Wi, masak apa?" tanyaku.

Wiwi sejak kecil diajak eyang untuk bantu masak seperti ayah dulu. Lama-lama jadi jago masak.

"Fuyunghai dan sup ayam," jawabnya tanpa menoleh ke arahku. "Nanti habis makan, aku mau petik anggur di atas untuk besok bawa pulang Singapura," lanjutnya dengan menoleh sebentar ke arahku.

Sejak ditanam dia, pohon anggur itu sudah sering berbuah ranum dan manis.

Selesai makan jam 19:20, Wiwi naik ke kebun atas membiarkan aku sendirian membereskan meja dan piring. 

"Ini aku bawa wadah untuk taruh anggur yang kamu petik," kataku begitu sampai ke kebun atas menyusulnya.

Aku sambil duduk membereskan anggur yang diletakkan di atas meja. Wiwi selesai mengunting batang terakhir, ikut duduk.

"Bintang, cantik!" katanya dengan menatap ke langit.

"Eh?" Aku ikut menatap ke langit. "Iya, hari ini tumben banyak bintang," jawabku asal.

Wiwi menarik nafas lalu menatapku.

"Aku sudah putuskan untuk berhenti kerja," katanya dengan tenang tetapi sangat mengagetkanku.

"Kenapa? Bude tahu soal ini?" tanyaku penasaran dan bingung dengan membalas menatapnya.

"Aku juga mau pulang kampung seperti kamu," jawabnya.

Untuk beberapa saat kami saling diam.

"Apa kamu tidak sayang melepas pekerjaan sebagus itu?" tanyaku dengan hati-hati.

"Tidak! Karena seumur hidup aku tidak pernah berdoa meminta ke Tuhan untuk jadi direktur eksekutif. Aku hanya berdoa minta pekerjaan dan alhamdulilah diberi pekerjaan itu," jawabnya lalu menatap ke langit.

"Menjadi kuli bagiku juga pekerjaan.  Rumah ini tanpa mereka, tidak mungkin berdiri. Tanpa petani tidak mungkin ada beras, sayur. Tanpa nelayan juga tidak mungkin ada ikan... Aku yakin nanti Tuhan pasti kasih aku pekerjaan lagi," lanjutnya dengan menatapku.

"Seumur hidup, aku hanya berdoa yang jelas meminta pasangan hidup. Setelah kamu menghilang ke dalam stasiun waktu pertama kali kita bertemu, aku berdoa minta ke Tuhan mau istri seperti Bintang, sepupuku. Tetapi, saat tahu kita bukan sepupu... Aku setiap melihatmu pasti berdoa, "Tuhan, bila aku boleh meminta... Aku mau minta Bintang jadi istriku." Doa itu selalu kupanjatkan tanpa bosan," katanya dengan terus menatapku hingga membuat aku kikuk dan terdiam menundukkan kepala melihat lantai.

Aku teringat wajah bersinar Wiwi setiap menyapa di pintu depan. Wajah itu adalah bentuk doa dia.

Tiba-tiba, Wiwi berdiri lalu jongkok di depanku.

"Tapi sekarang aku tidak mau berdoa untuk meminta karena mau minta langsung ke kamu. Mau tidak menikah denganku? Kita pulang dan bekerja bangun kampung sambil merawat orang tua dan kakek nenek kita. Aku yakin dengan pengalaman yang kita miliki pasti kita bisa membuka lapangan pekerjaan di kampung."

Wiwi berdiri dan kembali duduk di kursi lalu cerita.

Kabar aku yang memutuskan Cahaya dan pekerjaan didapat saat Wiwi sedang ada di Nevada dan dijamu ke tempat hiburan malam di Las Vegas. Bunda yang luar biasa panik dan hancur hati ketika tahu keputusanku karena sangat khawatir aku tidak menikah seumur hidup, dalam sekejap langsung murka ke Wiwi begitu tahu dia lagi di Las Vegas.

"Wi, cepat pulang hotel. Untuk apa ke tempat maksiat begitu. Bunda tidak rela kamu menjadi seperti bapakmu!!" bentak bunda di telepon. 

Wiwi yang penurut segera pamit dengan alasan ada kabar keluarga mengalami kecelakaan. Alasan itu terus dipakai setiap diajak ke tempat hiburan malam hingga pulang Singapura.

"Aku saat mendengar itu juga luar biasa kaget. Bagaimana mungkin Cahaya yang hebat dan seiman yang selalu kamu mimpikan jadi suami bisa ditolak. Bunda juga lupa kalau ada aku yang masih lajang. Padahal, dulu waktu kita kecil sering jodohi kita dan membayangkan betapa seru jadi besan dengan bude. Tidak kusangka dia bisa lupa," kata Wiwi dengan terus menatapku.

Aku ingat bude pernah cerita saat kami lahir, aku yang sedang menyusu di gendongan ibu mendadak melepas puting susu ibu dan menatap ke arah mereka yang menangis.

Wajahku yang sedang melet-melet lidah terlihat menyejukkan di mata bude.

"Anak mbak cantik putih seperti bintang," gumam bude pelan. 

Wiwi yang menangis mendadak berhenti ketika ibu duduk di sampingnya dengan aku dalam gendongan.

Bude saat itu entah mengapa menginginkan aku juga menjadi anaknya.

"Kalau lamaranku ditolak pun tetap aku berhenti kerja dan pulang kampung untuk menemanimu di sana," lanjutnya lalu berdiri membawa anggur turun ke bawah.

Setelah dia pergi, air mataku jatuh karena merasa bahagia dan lega. Aku segera tahu harus menjawab apa.

Sampai di bawah, Wiwi memelukku erat dan menyarankan untuk telepon orang tua mengabarkan kabar gembira ini.

"Puji Tuhan! Bintang dan Wiwi mau menikah," teriak ibu kegirangan.

"Alhamdulilah!! Anak-anakku menikah," pekik bude kegirangan.

6 bulan kemudian, 3 hari sebelum pernikahan kami diadakan, Kakek dan nenek Hika serta orang tua Cahaya datang membawa lobster seberat 100 kilo.

"Bintang itu sudah kami anggap anak. Wajar kami bawa lobster terbagus di hari bahagianya. Nanti saat Cahaya menikah belum tentu bisa makan lobster seperti ini di hari pernikahannya," kata om Heri. 

Paman Wiwi dari Probolingo membawa satu ton anggur dan mangga terbaik.

Kak Milah sejak seminggu yang lalu sudah datang bersama Bagas putranya berusia 3 tahun dan suami. Paras wajah londo Bagas membuat dia jadi rebutan gendong.

"Sayang anakku juga laki-laki. Kalau perempuan bisa kita jodohi," keluh Bulan yang baru pulang dari Praha menemani tugas suami.

Sehari sebelum aku menikah, pak Ma dan istri serta Cahaya, DX, Kang Xi Ka, Mao Hui, Shidd dan Shotaro datang.

Cahaya memeluk erat Wiwi dan berpesan untuk menjagaku dengan baik.

"Dulu tidak mungkin ada mesjid bernama Cheng Ho," kata pak Ma sambil menatap peta wisata Semarang yang diberi ayah. "Impian anak muda sekarang tidak seperti dulu. Sekarang banyak yang mau jadi pengusaha," lanjutnya dengan tertawa.

Sehari selesai pernikahanku, kami semua mau berlibur mengunjungi candi Borobudur dan Prambanan dengan ditemani Riana.

Setelah semua tamu pulang, aku bersama Wiwi mencuci gelas dan piring bekas tamu pakai.

"Ini calon pengantin kenapa malah masih sibuk di dapur? Sana pergi istirahat. Besok hari pernikahan kalian," tegur ibu.

"Tidak apa, bu. Anggap ini kami sedang latihan berbagi tugas rumah tangga," jawabku dan diiyakan Wiwi.

Ibu menyerah dan pergi mandi.

"Wi, nanti anak kita seperti apa?" tanyaku sambil lap piring.

"Anak yang pasti tumbuh jadi pemimpin terbaik serta terpercaya di dunia," jawabnya dengan tersenyum lebar.

"Wi, apa kamu masih ingat kejadian kamu bertanya kenapa harus dilahirkan dan untuk apa hidup, di malam saat kamu menanam pohon anggur?" tanyaku lagi sambil menaruh lap piring ke meja.

"Masih," jawab Wiwi sambil menaruh piring cucian terakhir ke rak.

"Apa kamu sudah menemukan jawabannya?" tanyaku dengan menatap lembut lurus ke dalam bola matanya.

-TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun