Mohon tunggu...
MK
MK Mohon Tunggu... Freelancer - Cahaya Bintang

Saat diri dapat katakan CUKUP di saat itu dengan mudah diri ini untuk BERBAGI kepada sesama:)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

45 Hari Isoman Bersama Lansia Penyintas Kanker dan Penderita Pneumonia

14 Agustus 2021   17:55 Diperbarui: 27 Juni 2023   20:41 1090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi isolasi mandiri di rumah | Sumber: shutterstock via kompas.com

Mama penyintas kanker payudara dari tahun 2002. Waktu itu seluruh payudara kanan diangkat, dan saat terapi sinar di RS milik pemerintah di Jakarta, terjadi kecelakaan medis karena petugas dan mama tidak teliti cek ulang nama pasien.

Pasien di depan mama tidak datang. Saat masuk ruang penyinaran, petugas tanpa tanya cek ulang nama langsung set ke arah paru sesuai penyakit pasien yang tidak datang. 

Di tengah jalan, mama kesakitan dan petugas tersadarkan salah terapi lalu segera matikan listrik dan minta maaf.

Mama dengan tulus memaafkan dan beri doa, "Semoga kejadian ini jadi injakan untuk membuat kamu tumbuh lebih teliti dan banyak berkarya."

Selesai terapi langsung batuk dan keesokan hari pergi cek dokter kanker. Dokter beri obat batuk 30 hari tetapi, dokter menyerah setelah 2 kali pemberian obat dosis sama. Penyakit mama selain kanker payudara bertambah paru bagian kanan rusak.

"Obat penyakit ini adalah membiarkan kebakaran di paru mati sendiri," kata dokter.

Setelah 24 jam batuk dan mengeluarkan dahak tanpa henti selama hampir 3 tahun, batuk tiba-tiba lenyap. 

Saya baru lulus kuliah dan dapat pekerjaan, dalam sekejap harus adaptasi dengan pola tidur mama yang baru. Tiap malam sebentar pindah berbaring dari ranjang ke sofa, kemudian duduk. 

Berkali diusir mama, tapi tidak saya turuti. Karena batuk itu, walau tidak bikin sesak tetap harus dibantu dengan tepukan di punggung supaya cepat berhenti.

Tetangga kami (almarhum) seorang dokter spesialis penyakit dalam di RS milik pemerintah, tapi di rumah praktek jadi dokter umum dan juga dokter keluarga. Riwayat penyakit sekeluarga diketahui beliau sehingga saat saya terkena influenza diperingati keras.

"Pakai masker saat batuk, pilek, bersin meski ringan selama di rumah. Paru mama kamu rentan kena pneumonia. Usahakan tidak membuat dia dan lain tertular karena kamu," kata dokter. Dan nasehat itu saya turuti sejak 2008.

ANAK TIDAK SAYANG KELUARGA

Mama memiliki 3 orang anak dan saya paling bungsu. Saat terkena kanker, hanya saya anak yang sedang kuliah tinggal di rumah. 

Kakak pertama menikah dan tinggal beda kota, sedangkan kakak kedua kerja di luar kota. Papa kerja di luar kota dan pulang seminggu sekali. Saya sejak SMP lebih banyak tinggal berdua mama.

Kakak kedua setelah belasan tahun kerja di luar kota mendadak memutuskan pulang dan tinggal bersama kami beberapa tahun lalu. Kepulangan dia mengubah banyak kondisi kesehatan mama.

Mama memiliki prinsip pantang tidur sebelum anak sampai di rumah sehingga selarut apapun pasti selalu ditunggui. Padahal, semua penghuni memiliki kunci rumah.

Kakak karena pergaulan dan pekerjaan sering pulang larut. Pertengkaran ibu dan anak hampir tiap hari terjadi. Tekanan darah mama naik tidak karuan akibat kurang tidur dan sering marah.

Setiap hari mama sakit kepala, batuk, dan juga pilek. Setiap minggu berobat ke dokter keluarga. Beruntung beliau ahli darah tinggi sehingga bisa dikontrol.

Puncak penyakit mama di tahun 2017. Kakak yang selama itu batuk kecil mendadak batuk, bersin, dan pilek tidak karuan.

Sejak mulai bersin sudah ditegur pakai masker, tapi dicueki. Kakak selalu berkilah ini efek alergi dari dulu begini. 

Minggu kedua karena makin parah, kakak menyerah dan pergi cek dokter. Saat itu mama dan saya mulai tertular. Tak lama, kondisi mama drop.

Suatu malam mendadak sesak nafas akut. Saya segera larikan ke UGD RS pemerintah. Dokter beri uap 30 menit lanjut oksigen karena uap tidak ampuh. Mama bisa bernafas, tapi tidak lancar. Dokter sarankan cek dokter paru esok hari karena curiga TBC.

Saya bawa mama cek ke dokter paru di RS swasta langganan kakak pertama yang tinggal beda kota. 

Hasil rontgen paru menunjukkan bekas TBC, bronkritis dan radang paru. Sekeluarga langsung cek TBC, tapi nihil. 

Mama entah kapan dan dari siapa tertular TBC. Tapi menurut saya itu bekas kebakaran yang menahun, jadi seperti bekas TBC. Perlu waktu 1,5 bulan rawat jalan untuk pulih.

Bulan Juni 2021, saya, mama, dan papa terkena Covid, tapi kakak tidak.

Kakak awal Juni vaksin dosis pertama Astrazeneca. Setelah vaksin 4 hari mulai batuk dan pilek. 

Saya yang khawatir menyuruh cek dokter, tapi dicueki. Lama-lama batuk makin parah dan dia menolak pakai masker. 

Hari keenam, pergi cek ke dokter umum dan katanya flu biasa tapi saya tidak percaya. Saya menyuruh tes swab tapi ditolak. 

Kakak selain batuk, pilek, dan bersin juga meriang seperti orang tifes. Selama 4 hari tidur terus karena lemas. Mama sejak awal dia sakit, saya perhatikan mulai lemas.

Pada Jumat, 18 Juni 2021, setelah bersihkan kebun dan mandi, mendadak saya merasa bagian kaki di bagian betis kehilangan sepertiga kekuatan. 

Saya curiga itu tanda tubuh sedang melawan sesuatu yang buruk di tubuh, saya mulai batuk pilek. Sedangkan, mama mulai jalan oleng dan sering batuk keras. 

Saya setiap tahun walau mama tidak ada keluhan sakit, rutin bawa dia untuk cek kesehatan paru, jantung, dan mata di RS almamater saya. 

September 2020, terakhir kontrol paru. Saat itu entah kenapa dokter siapkan resep untuk jaga-jaga jikalau mama mendadak batuk berderai dan sesak nafas akut.

Obat batuk hanya 1 macam tapi racikan 3 bahan. Berdasarkan pengalaman tidak banyak apotik bisa racik obat dokter paru. 

Saya meminta kakak pertama untuk beli dan segera kirim. Apoteker dekat rumahnya pandai racik obat dokter paru hingga 7 bahan. 

Kakak menolak karena obat tidak segera sampai ke rumah. Saya minta tolong tukang ojek untuk cari sekitar rumah.

Saat ketemu dan sedang menunggu, kakak telefon beritahu obat mama sudah jadi dan mau kirim. Obat yang saya pesan tidak mungkin dibatalkan. 

Batuk mama di malam hari mereda setelah minum obat yang saya beli. Keesokan hari obat dari kakak sampai. 

Obat racikan | Dokumentasi pribadi
Obat racikan | Dokumentasi pribadi

Saya saat lihat kopi resep kaget karena ada 1 obat dari kakak berdosis lebih tinggi dari yang saya beli. Memang tulisan dokter di resep asli banyak coretan sehingga tidak jelas angka 1 atau 4. Malam hari mama minum obat yang kakak beli dan batuk menjadi parah saat tidur malam.

Senin, 21 Juni 2021; saya bawa mama ke kota kakak tinggal untuk menemui dokter paru lama karena dia dokter tetap dan tiap hari praktek.

Dokter paru baru praktek Kamis dan saya tidak mau mama menunggu walau ada obat darinya. Kondisi kami diharuskan swab sebelum ketemu dokter. 

Saya pilih antigen karena 20 menit selesai. Hasilnya positif dan saya memutuskan pulang untuk besok berobat ke poli infeksi di RS almamater dekat rumah. 

TUHAN SEDIAKAN SEMUA

Pengalaman, pengetahuan, dan kesabaran sudah disediakan Tuhan. 

Selasa, 22 Juni 2021, saya dan mama berobat jalan ke poli infeksi. Papa yang terlihat tidak sehat juga saya bawa untuk swab. Dokter paru menyarankan mama rawat inap tapi ia menolak.

"Ibu mau saya rawat inap? Hasil antigen bisa dijadikan acuan rawat inap apalagi lansia dan punya riwayat kanker. Semua biaya ditanggung pemerintah. Ini meski ringan tapi kondisi lansia suka naik turun. Ibu, mau saya buati rujukan rawat inap?" 

"Ini anaknya juga sakit. Mba, lagi sakit juga nanti harus rawat 2 lansia sakit. Ini Covid, lho!"

Saat dokter beri pengertian ke mama, ingatan saya melayang ke ruang ICU saat mama dirawat paska operasi kanker. 

Ada 3 ranjang dan 2 pasien di ICU. Posisi mama paling ujung dekat tembok. Ranjang tengah kosong dan di depannya ada pos dokter dan perawat. Ranjang dekat pintu diisi kakek.

Hari itu pertama kali saya besuk mama di ICU. Kakak pertama dari kantor sudah sampai duluan tapi, menunggu saya datang. 

Kami masuk berdua. Kakak berjalan di depan. Saat pintu dibuka dan kakak masuk, kakek mendadak tunjuk-tunjuk dan bersuara, "Eng, ng, ng". 

Kakak tersenyum dan jalan terus. Kakek kembali melakukan hal yang sama saat saya masuk. 

Saya yang kebingungan berhenti di depan ranjang kosong dan berkata, "Saya bukan keluarga kakek. Itu juga bukan." Tapi, kakek terus "ng, ng, ng..."

Spontan saya memanggil dokter dan perawat yang sedang asyik ngobrol di pos, "Dokter! Orang itu kenapa? Dari tadi kenapa begitu!?"

Serempak semua menoleh lalu langsung lari dan cek ke belakang ranjang kakek. Ternyata selang oksigen yang menyambung ke hidung terlepas. Harusnya mesin bunyi bila 5 detik terlepas mendadak tapi ini tidak.

Saya yang melihat itu ketakutan mama pun mengalami hal yang sama.

Ingatan itu menguatkan saya untuk ikuti keputusan mama. Lagipula, saya yakin bila ditentang pasti mama marah. 

Kemarahan bisa meningkatkan tekanan darah. Saya sudah kenyang dibuat lelah saat mama darah tinggi.

Ketenangan sangat diperlukan saat ini. Penyakit ini memang baru, tapi cara penanganan sama seperti yang telah kami lalui.

Orang sakit perlu istirahat yang tenang. Saya yakin bila mama dirawat inap pasti menganggu ketenangan pasien lain. 

Batuk mama keras dan berderai tanpa lihat waktu. Selain batuk yang bunyi keras, saat mengeluarkan dahak pun tak kalah berbunyi keras.

Beberapa tahun setelah operasi kanker, mama jatuh dari ojek dan tulang bahu tergeser. Dokter tulang saat melihat hasil rontgen tertarik dengan paru. Paru yang bersih dari TBC dan radang. Hanya ada bekas kebakaran.

Dokter tulang sepertinya punya pengalaman dengan pneumonia. Beliau berpikir keras mencari cara supaya ada ruang bernafas bila terkena pneumonia. Setelah selesai berpikir, dokter menulis resep untuk paru. Menurut beliau, obat itu kelak bisa membantu membuka tulang sekitar paru supaya paru ada celah untuk bernafas saat terkena radang. Mama juga disarankan fisioterapi.

Kami menemukan tempat terapi dengan terapis yang tahu harus bertindak apa di dekat rumah. Mama di awal terapi dilatih proning, posisi baring, dan duduk untuk melegakan dada sesak. 

Hasilnya, mama hanya bisa satu posisi akibat kecelakaan medis. Posisi badan telengkup dan dada diganjal bantal malah bikin keselek lalu sesak nafas. Akhirnya, mama disarankan untuk rutin senam pernafasan di bawah sinar matahari pagi.

Keistimewaan mama itu bila tidak ditangani orang yang tepat bisa bahaya. Saya putuskan lebih baik hak rawat inap mama diberi ke penderita gejala sedang dan berat.

Rela Menanggung Sakit adalah Cinta

Hasil swab papa keluar esok hari dan positif. Saya tak ada tenaga untuk antar papa ke poli infeksi cek darah, rontgen, dan berobat. Dua hari saya dan mama lelah antri 3-4 jam hingga tidak makan siang. 

Kemarin papa hanya diberi obat flu dan vitamin yang sama dengan kami. Obat saya dan mama sama. Kebetulan obat anti virus dan antibiotik belum saya minum sehingga bisa beri papa untuk minum. 

Saya mengandalkan jamu flu kemasan dan vitamin dokter untuk bertahan. 

Kakak menganggap sakit kami bertiga karena saya bawa swap antigen bukan PCR makanya parah dan repot begini. Kakak pun cuek dengan urusan rumah.

Saya yang sakit harus masak, cuci baju pakai tangan, pel sapu, dan bersihkan garasi kandang anjing. 

Semua itu saya kerjakan tanpa mengeluh karena sudah terbiasa sejak kecil sendirian bantu mama urus rumah karena dua kakak dari dulu galak luar biasa setiap dimintai tolong.

Anjing yang biasa melihat saya keluar rumah pasti langsung serbu ajak main, tetapi di awal saya sakit tiba-tiba berubah. 

Mereka awalnya mendekat tapi, begitu dekat langsung endus cepat lalu menjauh. Di hari keempat, begitu melihat saya langsung jaga jarak tidak mendekat sedikit pun. 

Kamis, 24 Juni 2021 sekitar jam 11-an, saat saya sedang buat makan siang, mama yang duduk sendiri nonton TV berdiri dari kursi, kehilangan keseimbangan dan jatuh. 

Pergelangan tangan kiri memar biru dan tangan bengkok. Saya mau segera bawa ke UGD tapi ditolak dia. Keesokan siang baru ke UGD. 

Kakak pertama marah besar saat diberitahu karena baginya sejak awal rawat inap adalah yang terbaik. Kakak menyuruh untuk minta rujukan rawat inap.

UGD penuh dan perawat menyarankan ke poli infeksi. Poli infeksi tidak ada dokter tulang. Mama kontrol dokter paru yang beda dengan hari Selasa. Hasil cek darah terlihat jelas ada virus corona. Kondisi paru masih sama ada luka lama. Virus tidak sampai paru.

Dokter paru buat surat rujukan rontgen tangan dan sarankan telekonsul dokter tulang. Kami putuskan langsung pulang karena jam rontgen masih lama dan kondisi di poli banyak orang sesak nafas. Saya tidak meminta rujukan rawat inap ke dokter.

Nyeri di tangan memperburuk batuk. Mama kehilangan nafsu makan dan saturasi dari 98 turun setiap hari. 

Puncaknya saat obat anti virus dan antibiotik habis. Obat batuk dan antioksidan paru membuat batuk makin parah. 

Selasa, 29 Juni 2021, saya hentikan mama minum obat batuk dan daftar telekonsul dokter paru poli infeksi pertama kali. Jadwal dokter yang tidak tiap hari dan kesibukkan membuat susah diatur. 

Saturasi mama dalam 3 hari turun jadi 88. Mama makin susah jalan karena sesak akibat asma kambuh. Tiap jalan harus saya topang, begitu juga saat mandi dan buang air pun harus dibantu. 

Di saat frustasi tidak ada obat dan dokter, mendadak saya teringat cerita mama waktu saya umur 3 bulan.

"ASI mama berhenti. Kamu alergi susu formula. Dokter Widhodho menyuruh beri susu kedelai, tapi mama tidak tahan baunya. Akhirnya dicoba air kacang hijau dan kamu cocok."

Dokter Widhodho adalah dokter anak. Bagi saya beliau dokter yang sangat terhebat dan terbaik di dalam hidup saya. Saya berobat ke beliau dari usia 15 hari hingga 21 tahun. Beliau tahu penyebab sakit dan obat yang tepat hanya dengan menyentuh sumber sakit saya.

Segera saya pesan daring kacang hijau mentah. Keesokan hari langsung masak dan beri gula merah sedikit. Selesai masak pesan layanan PCR ke rumah untuk seisi rumah dengan harapan keluar hasil negatif sehingga mama bisa ke rumah sakit bertemu dokter tulang. 

Kamis, 1 Juli 2021, seisi rumah PCR. Hasilnya hanya kakak yang negatif. CT mama 21.54, papa yang April sudah 2 kali vaksin sinovac - 27.81; dan saya 31.01.

Saya memaksa kakak pertama untuk besok bawa hasil cek darah, rontgen, dan PCR mama ke dokter paru lama. 

Kakak awalnya menolak dan suruh telekonsul tapi saya jelaskan sudah coba dari minggu lalu dan dapat minggu depan. Mama tidak mungkin dibiarkan menunggu lama.

Dokter paru lama ketua satgas Covid di tempat itu. Beliau tidak menyarankan mama rawat inap. Obat terapi Covid diganti baru dan beri surat rujukan cek darah 10 hari lagi. Mama disarankan banyak makan dan tidak minum. 

Sejak sakit, saya selalu buat makanan lembek dan berkuah lalu atur frekuensi minum mama. Orang asma tidak bisa banyak minum karena bisa bikin makin sesak. 

Polemik rawat inap mama antara saya dan kakak terhenti. Tetapi, setelah konsul kondisi mama keesokan melemah. Obat dokter susah dicari di apotek hingga minta tolong teman yang tinggal luar kota untuk beli. Kabarnya stok obat anti virus secara nasional pun habis.

Obat anti virus akhirnya saya dapat dari teman yang dokter satgas covid yang kebetulan saat ditanya baru kedatangan pesanan obat untuk kliniknya di pagi hari dan sudah dihitung ada sisa sesuai yang saya mau sehingga bisa langsung dikirim.

Polemik rawat inap muncul kembali. Kakak sibuk keliling apotik dan RS cari obat dan ranjang kosong. Sore hari saya sarankan pulang dan berhenti cari. 

Saturasi turun 78 tanpa sesak dan saya putuskan untuk tidak ukur dan beli oksigen. Beruntung temannya teman penjual tabung serta isi mau lepas dengan harga wajar dan langsung kirim. 

Mama sudah 2 hari rutin tiap 3-4 jam minum air kacang hijau. Saya sangat yakin minuman itu bisa membuat mama sehat seperti saya dulu. 

Setiap beri minum selalu berdoa ke Tuhan bilang saya yakin lewat ini mama pasti bisa sehat seperti saya yang dulu lemah.

Minggu pagi, 4 Juli 2021, sebelum beri sarapan saya kuatkan ukur saturasi dan hasilnya 76. Setiap pagi saya masak bubur, air kacang hijau, telur rebus.

Selama sakit, mama tidak saya kasih susu karena bikin parah batuk. 10 menit selesai makan, saya ukur lagi dan secara ajaib angka di oximeter dari 76 ke 75 lalu hitungan detik naik ke 88. Sejak itu saya putuskan untuk ukur sebelum dan sesudah makan. 

Senin, obat lengkap di rumah, saturasi naik ke 93. Mama disarankan dibantu oksigen oleh teman saya yang dokter tapi karena tidak tahu cara pasang dan takut salah, saya tidak ikuti. 

Hampir 3 minggu berlalu dan mendadak kakak menyuruh saya untuk memastikan mama banyak makan karena ibu dan ayah teman baiknya meninggal malnutrisi, kurang tidur, marah-marah dan lainnya saat rawat inap, padahal mereka pasien tanpa gejala atau gejala ringan. Saya dan kakak berhenti total ribut rawat inap. 

Mama sejak obat habis di tanggal 28 Juni 2021, saat malam batuk hingga sesak. Untuk bantu membuat dada lega, saya minta mama duduk di kasur lalu rebah ke dada saya yang duduk di belakang. 

Perlahan badan saya jatuhkan 45 derajat ke belakang. Walau pinggang sudah diganjal bantal tetap terasa sangat sakit. Mama bisa tidur pulas tapi tidak lama karena tidak enak dengan saya. 

Selama 3 malam kami pakai cara itu. Rasa sakit di pinggang ditambah nyeri di perut karena memasuki masa haid membuat saya cari cara lain, yaitu duduk dengan punggung menempel lalu saya merunduk turun 45 derajat. 6 hari cara itu dipakai, nyeri di perut dan pinggang serta batuk saya makin parah. 

Saat nyeri dan sakit melanda, saya selalu alihkan pikiran ke posisi mama saat saya usia 3 bulan. Mama sendirian urus 3 anak dan rumah. Papa sibuk kerja, doa, dan kuliah. Mama jungkir balik urus 2 anak usia SD dan bayi sakit-sakitan. 

Terbayang rasa lelah, kesal, dan marah ke papa yang mama alami. Tapi, dia tidak mengeluh selalu berusaha masak enak dan menjaga rumah serta anak supaya sehat. 

Selain pikiran itu, saya pun dibuat sangat mengerti kenapa ribuan tahun lalu ada pria yang rela menanggung sakit dan beban kayu berat di punggung hingga didera sampai mati. 

Semua karena cinta

Setiap siklus haid selain nyeri perut bila ada batuk pasti makin parah. Semua itu biasa hilang sendiri setelah selesai haid. Tapi kali ini saya tidak yakin batuk hilang dan memutuskan berobat ke dokter paru yang sama dengan mama.

Rabu, 14 Juli 2021, mama kontrol dan saya perdana berobat ke dokter paru itu. Saya memutuskan untuk mengobati penyakit Covid karena sudah saatnya saya dan mama pulih total. 

Saya yakin tubuh sehat saya bisa jadi obat untuk mengobati mama serta yang lain. 

Kata kakak, dokter paru kagum tubuh saya sangat kuat lawan virus corona baru. Meski terlihat baik tapi saya dianggap parah karena telat minum obat dan kurang tidur parah. 

Saya mendapat obat sangat banyak. Dokter menyuruh istirahat cukup dan makan banyak.

Saat sakit normal saya mengerti makna istirahat cukup. Tapi, selama 45 hari itu bagi saya bisa tidur nyenyak 3 menit sebanyak lebih 10 kali dalam 24 jam sudah cukup.

Mama tiap jam 21:00 - 02:00 batuk parah hingga susah tidur. Kaki lemas dan nyeri tangan membuat saya tiap malam harus bangun temani ke toilet. 

Entah sudah berapa ribu kali kepala saya keleyengan karena harus segera berdiri dari kasur saat tidur nyenyak untuk menepuk pundak dan pijat kepala serta angkat bantu mama bangun kemudian jalan. 

Terkadang saya masak sarapan di jam 3. Paling rutin jam 5 pagi. Jam 7 cuci garasi kandang anjing lanjut pekerjaan lain.

"Jadi ibu rumah tangga adalah pekerjaan tidak ada batas waktu tanpa waktu istirahat yang jelas seumur hidup"

Itu ucapan mama saat di awal kami sakit dan dia juga pernah bilang saat saya mandikan bahwa semua orang pada akhirnya akan kembali seperti bayi lagi.

Ucapan mama itu menambah kekuatan diri saya untuk bertahan. Tapi, ini bukan pertama kali tubuh saya dipuji kuat oleh dokter.

Hari pertama masuk kuliah di kampus jaket kuning untuk ospek, seluruh mahasiswa demo menentang kenaikan uang kuliah. Jalan masuk kampus ditutup total hingga membuat orang satu kota marah karena bikin macet.

Saya yang pakai baju putih rok hitam naik ojek supaya sempat sampai. Tapi, persis di depan halte bis, motor kami ditabrak mobil dari belakang gara-gara supir kaget dihadang pedemo untuk putar balik.

Saya duduk serong dan tidak pakai helm terpental ke belakang dan kepala membentur keras aspal. Orang banyak teriak histeris. Seorang bapak tua berlari dekati saya.

"Kamu ingat nama kamu dan orang tua? Alamat dan nomor telepon rumah, ingat? Meski kamu terlihat tidak apa-apa, tapi luka dalam yang tak kelihatan itu sangat bahaya. Kamu cepat ke dalam. Di sana ada dokter jaga anak ospek dan dia pasti tahu harus berbuat apa."

Bapak itu memarahi pendemo dan mengancam bila sesuatu yang buruk terjadi pada saya, maka semua pendemo hari ini dipastikan dikeluarkan dari kampus. Pintu pun dipaksa buka supaya saya beserta mobil penabrak bisa masuk.

Di dalam mobil saya menyesali diri lulus ujian masuk kampus ini. Sepertinya keputusan ikut ujian masuk universitas negeri ini adalah kesalahan besar. Hari pertama sudah sial begini.

Dokter jaga terpesona melihat saya luar biasa sehat tapi penjelasan si penabrak sangat mengerikan. 

Dia bilang seandainya saya yang datang dan cerita sendiri pasti tidak percaya.

Kami pun langsung berdebat sengit karena saya tidak percaya benar sehat. Dokter itu kesal dan bilang ingatan yang bagus, tak ada rasa sakit di kepala, muntah, pusing dan lecet di kulit sudah bukti nyata saya tidak apa-apa.

Tapi, saya tidak percaya dan terus berkata,"periksa yang benar!! Nggak percaya!! Mau pulang!!" 

Dokter karena kesal terpikir untuk acak-acak rambut saya untuk cari luka di kulit kepala. 

Saat dia mulai membuka helaian rambut, hati saya terenyuh melihat kegigihannya dan mulai merenungkan perkataannya yang mengatakan saya ini aneh karena sudah jelas jatuh dan kepala membentur aspal dengan keras, tapi bukan nangis atau meringis kesakitan malah marah-marah ga jelas begini. Saya mulai terpikir untuk mengakhiri keanehan hidup ini.

Di saat mulai mencari cara untuk keluar itu,terdengar dia mengeluh, "Udah, ah!" Lalu, di depan saya berdiri dokter berwajah sangat frustasi.

"Eh, kamu ngaca sana! Ngaca!! Itu kulit muka kamu mulus ga ada lecet sedikit pun! Tadi saya uda cek kepala kamu juga sama!! Kalau masih nggak percaya juga kamu ini nggak apa-apa!! Besok kamu ganti jurusan dan belajar sendiri ilmu kedokteran. Nanti saya pinjami semua buku kedokteran yang saya miliki. Biar kamu gak usah beli lagi. Itu semua buku mahal tahu!!" Serunya kesal.

Mendengar itu spontan saya bilang bahwa selama ini masih berobat ke dokter anak. 

Dia kaget karena usia saya bukan anak-anak. Singkat cerita ternyata dia memiliki ayah seorang dokter anak. 

Tak lama lagi dia lanjut kuliah spesialis anak karena kagum dengan teman ayah yang juga dokter anak, yaitu dokter Widhodho. Baginya dokter itu dosen dan dokter yang luar biasa hebat.

Kesamaan yang kebetulan ini membuat saya langsung tenang dan tersenyum. Saya langsung mempercayainya dan yakin sedetik ke depan semua baik.

Terakhir saya dipuji kuat oleh dokter saat sekolah dan kerja di Jepang, tahun 2018. 

Januari 2018 mulai sekolah bertepatan 50 tahun siklus musim dingin ekstrim Kyoto. Pertengahan Februari saya terkena influenza.

Selesai sekolah saya naik bis 30 menit ke RS terbesar kota itu. Dokter kaget, saya demam 41 derajat tapi masih kuat. 

Sebenarnya saat ukur suhu ada kesalahan. Tapi, suster saat alat bunyi dan lihat angka langsung sangat panik. Waktu mau ukur ulang tidak dikasih.

Dokter makin kaget saat tahu riwayat alergi obat. Saya sejak datang ke Kyoto sudah tidak sehat dan sering berobat ke RS dekat sekolah. Ternyata ada beberapa obat menimbulkan alergi. 

Perlu waktu 1 bulan untuk pulih dari influenza. Setelah itu makan 1 bulan menderita flu susulan. 

Dokter THT dan penyakit dalam dibuat debat karena obat dokter THT membuat saya lumpuh sementara, tapi dokternya bersikeras itu tanda saya mau sembuh. Sedangkan saya dan dokter lain berpendapat beda. 

Akhirnya saya putuskan berhenti ke dokter dan minum obat. 1 minggu setelah itu di tengah jalan ketemu teman sesama orang Indonesia yang saya kenal saat baru sebulan di kota ini.

Ternyata dia punya banyak stok jamu flu kemasan dan pelega tengorokan kesukaan saya. 

Suatu hari karena tekanan pekerjaan dan pelajaran membuat saya marah besar ke Tuhan dan kembali menyesali keputusan hidup untuk datang ke kota ini.

Tapi, saat marah itu dari hati kecil terdengar suara berkata, "Kamu tenang. Anggap ini latihan supaya saat ada virus flu baru, kamu tidak apa-apa".

Jamu pemberian teman cukup untuk 3 minggu. Di minggu ke-2, secara ajaib seiring perubahan musim dari dingin ke semi, semua keluhan lenyap.

Pada 23 Juli 2021 saat kontrol dokter paru bersama mama, hasil darah dan rontgen menunjukkan saya sehat total. Saya dinyatakan sembuh tanpa gejala dan tidak perlu swap.

Mama harus tes lab dan PCR 10 hari lagi karena mau berobat tangan. Selasa, 3 Agustus 2021, hasil mama tidak terdeteksi ada virus lagi.

Papa 2 minggu sejak berobat sudah sehat tidak batuk, pilek, dan bersin. 

Kakak yang tinggal bersama kami tanpa pakai APD dan masker di 10 hari pertama kami sakit, serta makan masakan saya yang sakit Covid, setiap PCR selalu keluar hasil tak terdeteksi. Dia, 21 hari setelah PCR pertama tes lagi. 

Mama sejak Jumat, 13 Agustus 2021 mulai pengobatan pra operasi tangan karena 1,5 bulan tidak diobati.

Timur Barat

Saya tahu hati kakak kedua pasti hancur lebur setelah 45 hari ikut isoman. Hati yang hancur tidak boleh dipandang hina. 

Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah harus dibuang jauh bagai dari timur ke barat. 

Semua terjadi atas ijin-Nya. Saya sebelum sakit sudah 3 minggu lebih diam di rumah. Mama dan papa sudah bulanan tidak keluar rumah. 

Penyakit ini menambah pengalaman, pengetahuan, dan keyakinan bahwa Tuhan selalu menyertai dan tidak pernah meninggalkan saya sendiri. Seluruh keluarga pasti segera dipulihkan.

Penutup

Sewaktu membawa mama cek jantung pertama kali, dokter jantung yang bergelar profesor saat kami mau pulang memanggil seluruh perawat masuk. 

Menurut beliau, "Perbuatan saya walau sibuk mau sediakan waktu temani mama ke sana ke mari hingga cek kesehatan selama mama masih sehat, menurut ajaran agama dokter berarti saya sudah membuka satu kunci pintu surga. Surga itu di bawah telapak kaki ibu. Para suster juga harus mencontoh cara memperlakukan ibu di rumah seperti ini apalagi saat masih sehat." 

Saya tahu mama begitu diberi tanggung jawab menjadi ibu langsung dijalankan sepenuh hati tanpa peduli rasa sakit, lelah, kesal, dan marah demi kenyamanan hidup anak. 

Mama selalu bangun paling pagi dan tidur terakhir. Saya yakin mama tulus menjalankan tanggung jawab tanpa mengharapkan balasan dari anak.

Saya pun melakukan semua ini tanpa mengharapkan apa pun. Melihat mama tertawa bahagia, makan lahap dan jalan lincah sudah memuaskan hati.

Di lain sisi, sosok tenaga kesehatan yang rela kepanasan, tahan haus, lapar, dan buang air saat pakai APD demi melayani yang sakit sangat menyejukkan hati. 

Saya dapat sangat memahami betapa lelah batin dan fisik saat merawat orang sakit Covid. Apalagi, orang yang mereka rawat pasti banyak yang tidak dikenal. 

Sakit ini membukakan mata saya bahwa benar kita manusia harus memperlakukan sesama sesuai perlakuan yang ingin diri sendiri dapatkan dengan tulus ikhlas. Harus ada yang mau berkorban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun