Aku segera balik badan lari ke telefon umum. "Ma! Tenang saja asrama aman. Ada banyak tentara menjagai adek!" Ujarku bahagia lalu langsung tutup telefon dan berlari balik ke asrama untuk membangunkan suster.
Tapi, suster ternyata sudah bangun dan bersenandung ria. "Suster!" panggilku. Suster menengok ke arahku lalu ke sampingku. Spontan bola mataku mengikuti arah mata suster. Di sampingku ada seorang tentara pria dan memberi hormat ke suster. "Selamat pagi. Maaf permisi Ibu," salamnya ke suster.
Melihat itu aku segera kabur lari masuk ke asrama dan hidup seperti biasa. Tapi, karena kerusuhan sekolah libur dan hanya bisa diam di asrama. 2 hari kemudian suster kembali mengumpulkan kami.Â
"Saya sudah meminta orang tua dan kerabat kalian untuk datang menjemput karena stok makanan habis dan tidak bisa belanja."
Sore hari, papa datang menjemput. Jalanan terlihat sepi dan beberapa bangunan hangus bekas terlalap api.
Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi.Â
Waktu di rumah kira-kira jam 7 malam, papa langsung gembok dobel pintu gerbang. Mama diperintahkan untuk amani surat dan sertifikat penting. Aku disuruh ganti baju tidur dengan celana jeans, sweater, dan jaket.
"Malam ini kamu harus tidur dengan pakaian seperti itu," ucap papa. "Papa dapat kabar perusuh mau menyerang Bogor jadi kita harus siap-siap lari," lanjutnya.
Dua hari dan malam, aku dan keluarga hidup dengan ketakutan.Â
Mama cerita saat penjajahan Jepang, ibunya masih usia remaja dan tinggal di Jakarta. Untuk menghindari dibawa pergi dan diperkosa tentara Jepang, orang tua nenek menyembunyikan dia di tong sampah. Kebetulan saat itu rumah mereka dekat pasar dan banyak tong besar untuk sayur rusak.
Nenek dimasukkan tong dan ditutup sayur busuk. Entah beberapa hari nenek harus hidup seperti itu. Buyutku sangat sayang dia karena hanya anak satu-satunya. Hingga suatu hari, kakek buyut memutuskan untuk bawa pergi keluarga dengan menumpang kapal di malam hari buta. Mereka asal naik kapal karena yang penting bisa pergi dari kota penuh kekejaman ini.