Mohon tunggu...
MK
MK Mohon Tunggu... Freelancer - Cahaya Bintang

Saat diri dapat katakan CUKUP di saat itu dengan mudah diri ini untuk BERBAGI kepada sesama:)

Selanjutnya

Tutup

Life Hack Pilihan

Mei 1998

13 Mei 2021   18:20 Diperbarui: 13 September 2021   05:01 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keluarga aku memiliki tradisi melepas anak dari rumah begitu mengijak usia SMA. Sekolah aku ini langganan keluarga. Nenek, mama, dan kakakku dulu sekolah di sini. Sekolah yang memiliki asrama khusus putri sehingga memudahkan kami yang bukan warga Jakarta untuk belajar tanpa harus pulang pergi rumah di Bogor dan menjalankan tradisi mulai hidup mandiri.

13 Mei 1998, usiaku baru masuk 17 tahun 1 bulan dan duduk di tingkat akhir sekolah menengah atas ketika Jakarta dilanda kerusuhan.

Sore jam 4an, mendadak aku mendapat telepon dari mama. Suaranya terdengar panik sekali. "Dek! Mama baru sampai rumah dari Grogol. Jalanan minta ampun sepi dan tidak ada angkutan umum.

Entah apa yang terjadi waktu mama mau sampai di rumah tante, tiba-tiba ada seorang bapak tua mendekati mobil mama dan menyuruh cepat pulang karena nanti bisa tidak pulang kalau tidak segera pergi! Mama karena takut jadi menurut dan cepat putar balik untuk pulang. Sampai di rumah begitu buka TV, minta ampuuuun daerah kamu banyak pembakaran dan penjarahan!" Mama tanpa henti terus cerita. "Kamu jangan keluar asrama dan harus ikuti perintah suster! Jangan seenak sendiri!"

Cerita mama sama sekali tidak bisa dicerna otakku, tapi supaya tidak menambah panik mama, "Iya, ma. Aku mengerti," jawabku pendek. 

Begitu menutup telepon aku segera ke ruang tamu untuk buka TV, tapi dikunci. Rasa penasaran karena kebingungan dengan keanehan yang serba mendadak ini menyelimuti sanubari.

Jam 7 malam mendadak suster kepala asrama membunyikan bel tanda semua penghuni harus berkumpul di ruang tamu.  

Penghuni asrama semua perempuan. 30 siswi, 3 pengurus asrama, dan 1 suster kepala. Tapi tidak jauh dari asrama ini ada biara khusus biarawati dengan jumlah penghuni tidak pernah aku ketahui. 

Selain asrama dan biara juga ada sekolah dari TK hingga SMA. Total luas tanah mungkin ada 1 hektar lebih. 

Setelah semua kumpul, suster kepala dengan suara lantang berseru,"Bila asrama kita diserang, kita harus lari secepatnya ke istana negara! Hanya itu tempat yang paling aman," seru suster kepala asrama dengan wajah cemas dan ketakutan.

Sekejap hawa dingin yang hening menyelimuti ruang tamu dan semua penghuni asrama hanya tertunduk diam karena tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Aku yang tahu ada kekacauan di luar sana spontan berseru,"Suster saja yang pergi lari ke istana. Aku di sini saja tidur!" 

"Bintang! Kurang ajar kamu! Berani sekali kamu membantah..."

Aku langsung balik badan ke arah tangga yang mengarah ke kamar. Aku tahu kaki suster tidak kuat untuk naik tangga maka pasti tidak akan dikejar. 

Sesampai di kamar aku berdoa memohon pencerahan untuk kejadian aneh tapi nyata di luar asrama. Selesai doa langsung jatuh tertidur lelap hingga jam 5 pagi.

Begitu mata terbuka, aku langsung bangun dan lari turun untuk cek apa masih ada orang di sini. Ternyata semua lengkap. 

Tanpa buang waktu segera aku lari ke kamar untuk ambil uang receh untuk telefon ke rumah mengabari mama bahwa aku baik-baik saja.

Langkah kaki aku buat pelan supaya tidak membangunkan suster dan lainnya. Setelah berhasil keluar dari pintu asrama, di tengah udara yang penuh kabut dingin mendadak aku diam berdiri memantung.

Semua pintu gerbang antar sekolah terbuka lebar. Mengingat ucapan suster semalam, seharusnya semua tertutup rapat supaya tidak ada yang bisa masuk.

Dengan bingung aku berlari ke arah telefon umum di pintu keluar belakang asrama. Semakin mendekat ke telefon makin terlihat jelas ada pemandangan tidak biasa di jalanan. 

Rasa penasaran mempercepat lariku. Sesampai di pintu gerbang terlihat jelas belasan tank hijau amphibi ABRI berbaris diam di sepanjang tembok sekolah. Di atas setiap tank terlihat seorang tentara berjaga.

Aku segera balik badan lari ke telefon umum. "Ma! Tenang saja asrama aman. Ada banyak tentara menjagai adek!" Ujarku bahagia lalu langsung tutup telefon dan berlari balik ke asrama untuk membangunkan suster.

Tapi, suster ternyata sudah bangun dan bersenandung ria. "Suster!" panggilku. Suster menengok ke arahku lalu ke sampingku. Spontan bola mataku mengikuti arah mata suster. Di sampingku ada seorang tentara pria dan memberi hormat ke suster. "Selamat pagi. Maaf permisi Ibu," salamnya ke suster.

Melihat itu aku segera kabur lari masuk ke asrama dan hidup seperti biasa. Tapi, karena kerusuhan sekolah libur dan hanya bisa diam di asrama. 2 hari kemudian suster kembali mengumpulkan kami. 

"Saya sudah meminta orang tua dan kerabat kalian untuk datang menjemput karena stok makanan habis dan tidak bisa belanja."

Sore hari, papa datang menjemput. Jalanan terlihat sepi dan beberapa bangunan hangus bekas terlalap api.

Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi. 

Waktu di rumah kira-kira jam 7 malam, papa langsung gembok dobel pintu gerbang. Mama diperintahkan untuk amani surat dan sertifikat penting. Aku disuruh ganti baju tidur dengan celana jeans, sweater, dan jaket.

"Malam ini kamu harus tidur dengan pakaian seperti itu," ucap papa. "Papa dapat kabar perusuh mau menyerang Bogor jadi kita harus siap-siap lari," lanjutnya.

Dua hari dan malam, aku dan keluarga hidup dengan ketakutan. 

Mama cerita saat penjajahan Jepang, ibunya masih usia remaja dan tinggal di Jakarta. Untuk menghindari dibawa pergi dan diperkosa tentara Jepang, orang tua nenek menyembunyikan dia di tong sampah. Kebetulan saat itu rumah mereka dekat pasar dan banyak tong besar untuk sayur rusak.

Nenek dimasukkan tong dan ditutup sayur busuk. Entah beberapa hari nenek harus hidup seperti itu. Buyutku sangat sayang dia karena hanya anak satu-satunya. Hingga suatu hari, kakek buyut memutuskan untuk bawa pergi keluarga dengan menumpang kapal di malam hari buta. Mereka asal naik kapal karena yang penting bisa pergi dari kota penuh kekejaman ini.

Mama tidak menyangka sekarang harus melindungi aku dari kekejaman bangsa sendiri yang selama ini hidup bersahabat dengan damai.

Meski sudah terjadi banyak kawin campur antar suku dan ras didarahku, tapi wajahku sangat oriental.

Seminggu kemudian kehidupan kembali normal. Aku kembali ke asrama untuk sekolah. Masa sekolahku sisa seminggu.

Jam 7 malam suster kembali membunyikan bel tanda semua harus berkumpul.

"Apa ada rumah kalian atau saudara, teman yang dijarah maupun dibakar?" Tanya suster.

Semua kompak mengelengkan kepala.

Selanjutnya suster kembali bertanya,"Apa ada saudara atau kenalan kalian yang diperkosa dan dibunuh?"

Kompak wajah pucat, bingung, dan takut menghiasi semua penghuni.

"Maksud suster?" Entah siapa yang bertanya.

"Suster banyak dapat laporan dari kenalan bahwa kerabat perempuan mereka yang etnis Tionghoa diperkosa saat kejadian. Mereka diperkosa secara sadis hingga ada yang meninggal. Beberapa mengalami luka parah..." Suster tidak kuasa melanjutkan cerita.

Setelah hening beberapa saat...,"Suster minta kalian untuk mati raga selama 3 hari memohon ketenangan batin para korban. Kita sesama perempuan harus saling menguatkan. 3 hari ini kita hanya makan nasi tanpa lauk pauk dan garam. Kita semua harus hening. Jangan ada yang berbicara kecuali saat terima telefon dari keluarga."

Permohonan itu dijalankan dengan baik oleh seluruh penghuni. 

Hari ke-4, saat mau keluar untuk telefon mama setelah jam makan malam beberapa anak duduk di ruang tamu dan mengobrol seru.

"Lu tau gak kenapa waktu itu banyak tank tentara di asrama?" Tanya salah satu dari mereka. Yang lain mengelengkan kepala.

"Gue dengar pembicara suster dengan panglima waktu itu. Ternyata mereka datang karena permintaan orang dari gereja belakang. Katanya di sekolah ini ada asrama putri dan temannya ada di sini. Kira-kira siapa teman yang dimaksud itu, ya? Terus, saat tentara itu sampai di sini tidak lama ada perintah untuk menjaga tempat lain. Yang beri perintah itu kaget mereka sudah terlebih dahulu berada di sini. Panglima itu juga bilang bahwa dia kaget karena ternyata selain ada asramawati juga ada banyak biarawati,"lanjut anak itu.

Aku yang tak sengaja mendengar cerita itu langsung tersentak kaget. 

Teman yang ada di asrama ini yang dimaksud cerita itu adalah aku. Hanya aku dan Yuli yang terkadang pergi ibadah ke gereja belakang. Kami berdua saat tidak pulang ke rumah di hari Minggu dengan mengedap pergi ke gereja belakang.

Yuli sama sekali tidak memiliki teman tapi, aku punya teman dekat bernama Stefanus. Stefanus anak orang kaya 2 tahun lebih tua dariku. Kami kenalan setahun lalu saat dia sedang liburan sekolah di Jakarta. Sejak itu kami jadi dekat. 

Stefanus, tahun ini kuliah di Amerika sehingga tidak bisa ke Jakarta. Sedangkan, aku tak lama lagi lulus sekolah. Dia sebelum kami berpisah saat natal tahun lalu berjanji akan selalu berdoa supaya aku baik-baik saja. 

Ketika diriku tersadarkan akan kenyataan itu, bergegas aku lari keluar menuju gereja belakang. Tapi, saat balik badan di sana ada suster berdiri melotot.

"Bintang!! Kamu mau ke mana!? Jangan coba-coba kamu pergi!" Hardiknya. 

Suster kepala itu sejak awal aku masuk asrama tidak pernah bisa kuhormati. Suster pernah mengeluh ke papa bahwa aku tidak seperti kakakku yang ceria. Aku ini anak yang kaku dan dingin.

Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku tidak cocok dengan dia sehingga selalu menghindari masalah dengannya.

Dengan diam aku balik badan dan jalan ke arah tangga menuju kamar. Sesampai di kamar aku berjanji sebelum lulus untuk menyempatkan diri bertanya ke gereja belakang tentang kebenaran cerita itu. 

2 hari kemudian aku lulus SMA. Upacara kelulusan sangat sederhana. Di hari kelulusan itu aku terakhir tinggal di asrama dan kesibukkan membuatku lupa janji.

TAHUN 2000

Suatu hari aku harus kembali ke SMA untuk minta legalisir ijazah untuk kampus. Saat berjalan melewati gereja itu, tiba-tiba ada yang berseru,"Bintang, berdoa lha untuk Stefanus karena dia sudah tiada."

Air mataku langsung jatuh dengan deras dari pelupuk mata. Stefanus demi mendatangkan tentara untuk menjagaku saat kerusuhan Mei telah mengorbankan nyawanya dengan merendahkan hati mencari ayahnya untuk minta tolong mengunakan kekuasaan yang mereka miliki.

Beberapa tahun kemudian di suatu kesempatan saat bertemu suster, aku mendadak teringat masalah ini dan beranikan diri bertanya.

"Suster, waktu kerusuhan Mei '98 kenapa bisa banyak tentara dengan tank datang dan parkir di belakang? Apa mereka datang khusus untuk menjaga asrama?"

"Tidak! Mereka datang untuk menjaga sekolah dan belakang sekolah! Tidak hanya asrama!" jawab suster sinis.

"Suster, yakin kedatangan mereka untuk itu?"

"Memangnya Anda kenapa mendadak bertanya masalah yang sudah lewat ini!? Apa Anda mau menjadi saksi untuk kasus itu?!"

Rasa kesal memuncak di ubun-ubun kepala. Berbagai pertanyaan memuncrat di kepala tapi, tak bisa keluar dari mulut.

Sekolah aku tidak beda dengan gedung sekolah yang lain. Saat kejadian sekitar sore hari yang berarti anak sekolah sudah bubar pulang ke rumah. Untuk apa tentara datang tengah malam buta atau pagi hari hanya untuk menjaga gedung sekolah yang kosong di keesokan hari!?

Lagipula yang tahu di dalam sekolah itu ada asrama putri dan biara khusus biarawati pasti hanya kalangan tersendiri. 

Sedangkan di luar sana semua orang teriak,"Di mana negara!? Kenapa tidak ada polisi dan tentara yang turun tangan saat itu!!?

"Aku sedang mencari teman yang tiada di saat itu. Aku tahu temanku itu penyelamat kita," ucapku pendek lalu pergi meninggalkan suster.

"Memang apa yang anda mau lakukan bila ketemu dia!?" seru suster ketus, tapi aku tak peduli dan terus jalan menjauh. 

Saat berjalan menjauh mendadak aku teringat cerita papa tentang ayahnya.

Kakek dari papa adalah 100% Tionghoa, tapi dapat gelar Pahlawan Daerah. Saat penjajahan Belanda hingga Jepang, dia aktif membantu di medan perang.

Suatu hari saat penjajahan Jepang, rumahnya didatangi tentara Jepang. Di rumah ada istri hamil besar dan tua serta 5 anak kecil. 

Kakek diminta untuk beritahu lokasi kaum tentara pribumi sembunyi. Kakek bersikeras untuk diam hingga akhirnya dipukul tanpa ampun hingga hampir mati. Nenek yang berusaha melerai kena tendangan keras. 5 anak kecil menangis keras karena takut. 

Tentara Jepang pun pergi meninggalkan suami istri terluka parah penuh darah. Kelak di masa kemerdekaan jasa kakek itu membuahkan bintang Pahlawan Daerah dan anak otomatis menjadi anggota Pemuda Pancasila. 

Kakek sejak kejadian itu menjadi sangat benci Jepang dan melarang anak cucu untuk bergaul dengan orang Jepang, karena baginya orang Jepang kejam dan bengis.

Seandainya saat Mei 1998, kakek masih hidup... Pasti dia akan sangat patah hati melihat kebiadaban bangsa sendiri. 

13 Mei 2021

Hari itu sudah lewat 23 tahun dan hari ini seluruh bangsa Indonesia hidup damai menikmati libur nasional Idul Fitri dan Kenaikan Isa Al Masih.

Apa hari ini pelaku dan otak kerusuhan Mei 1998 terketuk hatinya untuk minta maaf? 

Kemudian para korban... Apa hari ini bisa membuka pintu maaf di hati untuk mereka?

Apa mereka semua selama 23 tahun ini bisa hidup dalam kedamaian?

Wallahualam Bissawab. Hanya Allah yang lebih mengetahui "kebenaran".

Semua noda hitam sejarah di negeri ini hanya tercatat secara lisan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Life Hack Selengkapnya
Lihat Life Hack Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun