"Hai Rhein." Sapa Vanno mengangkat tangan. Aku diam tanpa ekspresi, kemudian aku menarik secarik kertas dari sakuku, surat Tristan. Aku memberikan surat itu pada Vanno. "Ini...apa?"ia bertanya sambil membukannya. Seperti yang kuperkirakan, sikap Vanno berubah sama seperti saat pertama aku menerima surat itu.
"Rhein." Suaranya bergetar, ia menatapku dan matanya bearir.
"Aku menerimanya tiga hari yang lalu." Kataku menahan tangis, namun aku tahu bahwa air mataku nantinya akan tumpah. Aku mengatakan semuanya... "Tadi pagi seorang perempuan datang kerumahku, ia bertanya apakah aku adalah orang yang dimaksud dalam surat itu. Aku menjawab 'Ya.' Ia mengakui bahwa ia menerima surat itu dari Tristan sejak satu tahun yang lalu. Kamu tahu, dengan mata siapa kamu bisa melihat saat ini? Tak pernahkah berniat untuk mencari tahu?" air mataku tumpah dan aku menangis.
"Rhein." Dia hanya menangis dan mengucapkan namaku.
"Apa setidaknya kamu pernah bertanya dimana Tristan?" suaraku meninggi.
"Rhein."
"Berhenti menyebut namaku dan pergilah!?" aku berteriak. "Lupakan bahwa kita pernah saling mengenal, lupakan bahwa kamu pernah mencintaiku. Maka aku akan melupakan apa yang telah ayahmu lakukan terhadapku dan keluargaku.."
"Rhein... maafin aku...." Dia menagis tersendu-sendu.
Aku meraih tangannya, menggenggamnya dan tersenyum dalam tangis. "Tak apa, Kamu akan mencintai orang yang lebih baik dariku. Aku tak ingin membenci keluargamu karena aku menyayangimu dan Tristan. Lupakan bahwa ayahmu pernah membunuh adikku, memberi suap pada ibuku agar memasukan aku kerumah sakit jiwa. Kamu...jangan pernah merasa bersalah seperti yang kakakmu lakukan-"
"Jangan lihat kebelakang dan pergilah, jangan temui aku dan teruslah bahagia." Aku melepaskan tangannya, lalu pergi.
***